PROF YUSRIL DALAM PUSARAN KONFLIK PARTAI DEMOKRAT

Posted on

Oleh: Muhammad Syukur Mandar

“MELEMBAGAKAN konflik merebut kekuasaan partai dengan cara politik jalanan tidak menyehatkan demokrasi, dan itu bukan langkah tepat melawan oligarki partai”.

Membaca beberapa pernyataan Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM) tentang alasan hukum mengapa Prof selaku kuasa mengajukan judicial review terhadap AD/ART Partai Demokrat. Hemat saya, Prof Yusril secara sengaja tidak fungsikan kepakaran Prof dalam hal itu. Sebab terobosan hukum yang Prof maksudkan, dan menjadi dalil hukum, bagi saya kurang bobot hukumnya dan lebih padat dalil politik. Sebab menabrak norma dan selain itu objek dan termohon judicial review tidak sesuai syarat undang-undang.

Undang-undang telah mengatur dengan jelas mengenai syarat judicial review, objek apa saja yang dapat di-judicial review dan siapa saja para pihak dalam judicial review, termasuk kewenangan Mahkamah Agung, semuanya secara tegas, jelas diatur pada Pasal 24A UUD 1945, UU No 2 Tahun 2011 tentang Parpol, UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dan Perma No 1 Tahun 2011 sebagai landasan hukum dan acuan hukum acaranya. Tidak ada kekosongan hukum di sana, pertanyaannya apa yang mau di terobos sela hukum judicial review AD/ART Partai Demokrat?

Saya yakin Prof Yusril tahu betul filosofis dan kerangka organik mengenai kedudukan AD/ART suatu parpol dan mengapa diatur dalam undang-undang sebagai salah satu syarat berdiri dan disahkannya parpol. Oleh karena Prof pernah menjabat sebagai Menkumham dan melakukan tindakan hukum mengesahkan status hukum parpol dan sekarang sebaliknya Prof sedang menggugat atau persoalkannya. AD/ART parpol secara kelembagaan parpol lebih berfungsi internal (ke dalam), tidak berlaku untuk umum, hal itu, karena bersesuaian dengan sifat dasar pendirian parpol menurut undang-undang. Artinya dalil hukum apa pun, AD/ART secara hukum tidak dapat di-judicial review.

Sebab pertama, AD/ART parpol bukan produk hukum, melainkan peraturan partai yang ketentuannya diatur berdasarkan kehendak kelompok (pendiri dan para anggota) dan diputuskan melalui forum internal (munas/kongres) sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat (1 dan 2) UU No 2 Tahun 2011 tentang Parpol.

Bahwa AD/ART parpol secara kelembagaan tidak tepat, bila ditarik keranah publik dan apalagi dipersoalkan oleh orang yang bukan pendiri dan anggota parpol. Itu prinsip etiknya, dan apabila ada konflik internal, maka undang-undang praktis telah sediakan ketentuan bagi mahkamah partai untuk menyelesaikannya. Dan bila ada pendiri atau anggota merasa putusannya tidak adil, maka ada pengadilan perdata baik PN maupun PTUN untuk menggugatnya.

Artinya dengan dalil apa pun, AD/ART parpol tidak dapat di-judicial review, karena tidak terkategori sebagai peraturan perundang-undangan. Karena bukan badan lembaga berwenang yang menyusunnya. Tindakan Prof Yusril itu melawan kodrat hukum pendirian parpol, dan juga mencederai norma hukum yang telah diatur secara tertulis untuk itu.

Di kebanyakan negara demokrasi, kedudukan lembaga parpol itu lebih bersifat wadah perjuangan politik untuk kelompok dan karena itu ranah hukumnya menjadi hukum privat. Sebab menjadi tidak ideal, ketika lembaga parpol dijadikan lembaga publik. Selain akan menghilangkan eksistensi politik kepartaiannya. Akan pula mengaburkan maksud dan tujuan berdirinya partai politik dalam suatu negara demokrasi.

Bagi saya, kedudukan parpol dalam undang-undang sudah ideal, yakni sebagai lembaga politik yang mewadahi aspirasi dan hak rakyat memilih dan dipilih dalam pemilu. Karena itu aturan AD/ART partai bukan pintu masuk oligarki dikukuhkan, melainkan prinsip dan sifat pendirian partai oleh undang-undang itu sendiri. Karena itu melawan oligarki partai harus dilakukan melalui perbaikan regulasi hukum dan sistem politik kepartaian kita, bukan dengan cara menyoal AD/ART suatu partai atas nama terobosan hukum.

Karena itu Prof, cara melawan oligarki dan politik dinasti partai adalah mengampanyekan untuk tidak dipilih rakyat (sanksi sosial). Bukan sanksi hukum, karena oligarki dalam praktek politik agak abu-abu untuk ditelisik secara hukum, sebab oligarki lebih pada terminologi politik teori dan politik praktis.

Di Indonesia, parpol dengan sistem internalnya yang demokratis pun, banyak yang tidak diminati, apalagi parpol yang sikapnya ambigu pada rakyat dan pemerintah, selain tidak ada tokoh sentralnya. Agak kompleks ruang gerak partai jika ingin diterobos dan upaya itu memerlukan kehati-hatian. Karena sangat tidak relevan, judicial review ini karena alasan oligarki dan atau AD/ART melanggar UU. Bagi saya judicial review itu lebih tepatnya dilihat sebagai upaya hukum untuk melembagakan konflik partai.

Prof YIM, saya selalu serius mengikuti pikiran-pikiran Prof pada masalah masalah Hukum Tata Negara (HTN). Dari situ saya banyak belajar tentang HTN. Tetapi kali ini, nalar hukum saya terganggu dengan kerja dan narasi hukum yang Prof lakukan. Saya menjadi minder dengan pandangan hukum Prof soal judicial review AD/ART Partai Demokrat, terlebih dengan dalil membuat terobosan hukum.

Pada konteks ini, hemat saya Prof tidak objektif berselancar dalam pakem HTN. Saya menduga narasi penemuan hukum lebih pada strategi untuk melembagakan konflik Partai Demokrat, memancing perhatian negara pada perseteruan ini, sayangnya gestur Presiden Jokowi melalui Menko Polhukam Mahfud MD, justru dianggap langkah sia-sia. Wacana kusutnya AD/ART Partai Demokrat bertentangan dengan UU tidak lebih sekadar menjadi pintu masuk mendapatkan perhatian dan apresiasi publik. Padahal sama sekali tidak ada korelasi hukum antara AD/ART dan undang-undang, selain bukan penjabaran undang-undang, AD/ART asasnya tidak sebagaimana asas suatu peraturan perundang-undangan berlaku.

Harusnya objektif Prof, bahwa pelembagaan konflik partai melalui jalur hukum sudah tersedia dalam UU Parpol, ada mahkamah parpol di sana dengan segala wewenangnya diatur UU untuk menyelesaikan pertikaian/konflik internal, selain jalur perdata melalui PN dan PTUN yang juga terbuka untuk itu. Dalil terbosan hukum dibangun dalam imajinasi hukum terlalu lemah, baik secara formil maupun materil.

Lebih tepat disebut dalil liar, karena untuk mencapai keadilan substantif, tidak mengabaikan keadilan formal, karena itu pengatur narasi hukum bekerja. Karena itu bagi saya, judicial review lebih berpotensi merusak tatanan hukum, mencedrai sistem politik dan juga etika, selain tidak dapat memperbaiki sistem hukum kepartaian.

Sebagai negara berbudaya, negara yang tumbuh dan merdeka dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, setiap orang harus mampu membangun dan menjaga ‘self control’ dan ‘social control’, karena itu fondasi moral bagi setiap orang dan fondasi bangsa, apalagi pada orang-orang yang memiliki kompetensi keilmuan, sudah sepatutnya menjadi teladan bagi masyarakat (ulil amri minkum).
Apa pun dalilnya, publik melihat Prof Yusril pada beberapa sisi, sebagai kuasa hukum (lawyer), sebagai ahli HTN, pada suatu sisi, dan pada sisi lain publik melihat Prof juga sebagai salah satu ketum parpol, artinya semua cukup alasan bagi publik membuat dugaan atas keikutsertaan Prof Yusril dalam konflik Partai Demokrat pada banyak motif.

Bagi saya, kepakaran Prof Yusril terlalu mahal dan bila sekadar dikompensasi dengan konflik partai demokrat sangat tidak sepadan dengan ekspektasi publik pada kepakaran Prof sebagai ahli hukum. Sangat disayangkan, apalagi sekadar membuat antitesis dengan argumen penemuan/atau terobosan hukum. Semua kembali kepada Allah Swt, karena Dialah Yang Mahatahu. (Penulis adalah Praktisi Hukum)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *