ilustrasi ist

KISAH-KISAH UTAMA DARI MAHABARATA (BAG.3)

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Mahabarata yang ditulis resi Wiyasa begitu panjang sarat pelajaran akan kehidupan dan keutamaan. Memahami Mahabarata yangblebih dari 60 garis keturunan ada yang meyakini sebagai catatan peristiwa nyata dengan detail. Kisah kisah utama dari Mahabarata setidaknya dapat dipahami dan dikategorikan sbb :

31. Pembuangan dan Penyamaran Pandawa:
Ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun lagi dengan menyamar tanpa ketahuan, setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan gara-gara kalah berjudi dengan Korawa.

Pandawa dan Drupadi menyamar ke Kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di Wirata Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Bima menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi bernama Wrahanala.

Nakula menjadi seorang penggembala kuda bernama Grantika dan Sadewa menjadi penggembala sapi bernama Tantipala. Drupadi menjadi seorang perias bernama Sarindri, melayani ratu Sudesna.

Patih Wirata, Kicaka jatuh cinta kepada Sarindri dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan. Kematian Kicaka didengar oleh raja Susarma dari Trigarta yang kemudian datang membujuk para Korawa menyerbu Wirata yang dalam keadaan sangat lemah.

Lalu negeri Wirata diserang para Kurawa dari Hstinapura. Para Pandawa ikut berperang membela Wirata. Serangan Kurawa gagal, mereka kalah oleh orang-orang yang tidak dikenal dan membuat mereka curiga. Setelah perang usai, kedok Pandawa terbuka. Tetapi mereka sudah bersembunyi genap selama setahun, jadi tidak apa-apa. Wirataparwa diakhiri dengan kisah perkawinan Abimanyu, anak Arjuna, dengan Utari, puteri raja Wirata.

32. Baratayudha:
Bharata Yudha, digubah Pujangga Besar Empu Sedahdan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri. Baratyudha menceritakan perang keluarga antara Pandawa dan Kurawa. Disusun dengan sekar ( puisi ) dan( digubah berdasarkan kitab Maha Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab Astadasa Parwa ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.
Perang besar berlangsung 18 hari. Menurut cerita, korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatang-binatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya.

33. Bhagawadgita:
Bhagawadgita adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Sri Krishna, personalitas Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah “Nyanyian Sri Bhagawan” (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).

Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada “Bhismaparwa”. Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Sri Krishna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.

34. Bisma gugur:
Bisma adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita Mahabharata, putra dari Prabu Santanu dan Dewi Gangga. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata (Dewanagari), tetapi berganti nama menjadi Bisma semenjak bersumpah bahwa ia tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala senjata peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Kurawa. Menurut Mahabharata, ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurusetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. Dalam kitab Bhismaparwa dikisahkan bahwa ia tidak meninggal seketika. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Kurawa. Bisma menghembuskan napas terakhirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

35. Begawan Durna gugur
Kekuatan fisik dan keahlian bertanding ditopang dengan kesaktian yang tinggi, belum menjamin sebagai suatu kekuatan yang prima tanpa ditunjang aspek kejiwaan seperti ketenangan, ketahanan mental dan kewaspadaan atin. Maha resi / Begawan / Guru Durna seorang pakar straegi perang dan ahli menggunakan senjata masih terpancing oleh berita provokasi hingga terpecah konsetrasinya melemah daya juangnya. Ini terjadi dalam perang barata ketika bertarung dengan Pandawa bekas muridnya.

Kesaktiannya tak tertandingi, hanya Arjuna yang sanggup menyaingi walau pasukannya tetap tak memperoleh kemajuan. Krisna yang mengawasi dari jauh cukup waspada, bahwa Dorna sulit ditandingi dengan cara biasa.

Satu-satunya cara untuk dapat melemahkan daya juangnya harus dibohongi, seolah-olah anak tunggalnya Aswatama yang sangat dikasihi telah mati di medan laga. Kebetulan ketika itu di medan perang Prabu Gardapati tengah bertarung dengan mengendari gajahnya yang kebetulan namanya Estitama. Segera Krisna menyuruh Bima membunuh raja dan gajahnya dan kemudian menyebarkan berita bahwa anaknya telah mati, tetapi tidak dengan nama Estitama melainkan dengan nama Aswatama mati.

Berita itu digemakan pula oleh para prajurit dengan teriakan: “Aswatama mati… Aswatama mati!”. Gema berita itu sampai ke telinga sang resi dan seketika ia tersentak seraya berucap: “hah, anakku mati? Ah, tidak, tidak, tak mungkin, dia gagah sakti,” ucapnya setengah tak percaya.

Belum sempat Samiaji / Yudistira menjawab, Guru Durna telah datang dan berkata: “Angger, bumi dan langit menjadi saksi, bahwa angger adalah mustikaning manusia yang anti untuk berbohong. Angger akan mengatakan putih pada yang putih, dan hitam pada yang hitam tanpa direkayasa apa pun. Nah, kini aku sangat membutuhkan jawaban yang murni semurni sikap dan watak angger dengan sebuah pertanyaan: “Benarkah anaku Aswatawa sudah mati?” tanyanya harap-harap cemas.

Samiaji / Yudistira termenung terjadi perang sabil dalam dirinya tapi kemudian ia menjawab: “Masihkan Guru percaya kepada orang yang sedang guru musuhi?” “Olalala, aku tidak bertanya kepada musuh, tapi bertanya kepada manusia Samiaji yang tidak pernah mengingkari keteguhan imannya,” ujarnya memberi keyakinan. Maka dengan mengingatkan hati sang Pandu putra menjawab: “Guru , Esti Aswatama sudah mati.” Hanya dalam mengatakan Esti sangat perlahan hampir tidak terdengar, tetapi jawaban itu sudah cukup bagi Guru Durna untuk mempercayainya. Seketika itu ia terpaku bagai patung. Air mata meleleh menyusuri celah-celah pipi yang keriput seraya berucap tersendat: “Duh anakku, kini aku sadar, bahwa manusia itu ada tapi tidak sempurna. Memang kita berada di pihak yang salah dan salah akan kalah. Kini aku rela untuk mati menyusul engkau anakku,” ujarnya sangat memelas. lalu bagaimana dengan Samiaji. Ia tampak termenung karena, bagaimanapun juga, dia telah berbohong. Akibatnya kereta yang biasa ia kendarai sejengkal tidak menapak tanah, mendadak anjlok menapak bumi.

Tiba-tiba Drestajumena sesumbar menantang Durna ingin membalas kematian ayahnya, Drupada. Sementara di angkasa Sukma Ekalaya juga siap akan memebalas atas kematiannya akibat ibu jarinya dipotong oleh Durna, sewaktu adu ketangkasan melepas anak panah dengan Arjuna. Maka masuklah sukma Ekalaya ke dalam tubuh Drestajumena, hingga satria Pancala itu menjadi berignas.

Dan tak lama kemudian puluhan anak panah dilepas mengarah pada Guru Durna. namun hanya sebuah yang mengenai dada sang Guru, sedang lainnya berhasil ditepisnya. Durnapun tak tinggal diam, dilepasnya puluhan anak panah dan mengenai kuda serta keretanya hingga hancur berantakan, bahkan nyaris membinasakan satria Pancala itu jika tidak segera melompat dari keretanya.

Menyaksikan perang yang tidak seimbang, Bima naik pitam dan memaki sang resi: “Hei, ternyata engkau brahmana licik perang seperti prajurit mencabut nyawa orang seenaknya. Padahal engkau tukang ibadah, anak sendiri mati tidak kau hiraukan, saksinya Samiaji orang yang pantang berbohong.

Seperti itukah sikap seorang Brahmana?” Mendengar makian itu hati sang resi terasa pedih. Hati kecilnya membenarkan makian itu. Seketika gendawa dan jemparingnya ditaruh dan ia bersidakep sinuku tunggal meleng anteng mengheningkan cipta kepada Dewa Wisnu.

Tak lama kemudian dari tubuhnya keluar cahaya menyilaukan, sukmanya melayang munggah ke alam nirwana disambut dewa apsara dan dewi apsari sambil menaburkan wewangian. yang tinggal hanya jasadnya terpaku bagai patung. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa dia telah tiada.

Tiba-tiba Drestajumena dengan pedang di tangannya menghampiri dan menebas kepala sang Guru hingga menggelinding jatuh ke bumi. Para Pandawa sangat menyesalkan tindakannya. Tetapi Krisna menjelaskan, bahwa maha resi adalah manusia yang bijaksana dan banyak jasanya, tetapi tak lepas dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Mungkin kejadian itu sebagai hukumannya.

36. Karna Tanding:
hari ke-17 Perang Bharatayudha, disitulah saatnya raja Angga Karna bertanding melawan Arjuna, sebagai panglima atau Senapati, Karna memiliki misi khusus untuk membunuh Arjuna di hari itu juga untuk memastikan kemenangan pihak Kurawa, sedangkan Arjuna wajib membunuh Karna sebagai langkah utama dalam misi Bima membunuh Duryudana, karena Karna adalah pelindungnya. Di tengah dilema yang sudah dialami Karna, pada akhirnya panah pasupati Arjuna berhasil menembus leher Karna dan membuat sang Ksatria Suryaputra gugur sebagai pahlawan kebenaran, karena mengorbankan nyawanya untuk kejayaan Pandawa.

37. Salya Gugur:
Di Kurusetra tampak ribuan manusia menggelepar ambruk di tanah. Prabu Salya tersenyum menyaksikan kejadian yang mengerikan itu. Tujuannya adalah, menunggu lawan seimbang yang akan dimajukan oleh pihak Pandawa. Ajian pamungkasnya itu dikeluarkan semata-mata untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tahu, bahwa ajian Candrabirawa miliknya itu tentu ada yang bisa menangkalnya. Namun, dia tak tahu siapa yang dapat menanggulanginya.

“Kini, saatnya kau maju ke Medan peperangan, wahai adikku Yudhistira. Tak ada yang dpt menandingi kakek Nakula dan Sadewa itu kecuali dirimu.” Kata Krisna.
“Lihatlah perbuatannya yg begitu kejam membantai orang-orang tanpa belas kasihan lagi,”
“Mengapa harus aku yang maju, kangmas Krisna?” tanya Yudhistira.
“Apa yang kau lihat itu, hai adikku?” Krisna balik bertanya.“Itulah kedasyatan Candrabirawa. Prabu Salya dulu mendapatkannya dari Resi Bagaspati, mertuanya, dan mertuanya itu memperolehnya dari wejangan arwah Sukrasana saat dia bertapa.”
“Hanya manusia yang berjiwa tenanglah yg sanggup menghentikan.”
“Majulah, hadapi kakekmu itu tanpa harus melawan. Turuti apa yg dikehendakinya. Bawalah panahku ini jika beliau memang menghendakinya,” kata Krisna.
Yudhistira menerima sebuah panah bermata cahaya dari tangannya, lalu maju ke tengah kecamuk perang yang mengerikan dan aneh itu.

Dada Prabu Salya bergetar ketika Yudhistira maju dihadapannya dalam jarak beberapa puluh meter dalam sikap menyebah sebagai tanda bakti dan hormat.
“Mengapa yang maju justru engkau, hai anakku Yudhistira? Aku menginginkan yg melawanku adalah adikmu si Bima yg gagah perkasa atau Arjuna yg pandai dlm hal memanah,” kata Salya.
“Aku datang menghadap hanya minta tolong untuk menghentikan penyakit yang kau tebarkan itu, kek. Aku tak tega menyaksikan ribuan orang yang menjadi korban keganasannya.”
“Kalau kau tak mau, segera bunuhlah aku daripada orang yang tak berdosa itu terbunuh.”

“Jika aku mati, maka pihak Pandawa kalah. Itu sudah cukup,” jawab Yudhistira.
“Oh, Yudhistira. Tidak semudah itu dalam peperangan ini. Jika kau ingin mati, maka panahlah aku dengan senjata di tanganmu itu, biar aku pun akan memanahmu dengan senjataku,” kata Prabu Salya.
Maka, dengan setengah hati Yudhistira menyanggupi tantangannya.
Senjata CakraBaskara pemberian Kresna dilesatkan tanpa semangat, pun tak ditujukan ke arah lawannya melainkan hanya menghadap ke bawah.
Matanya terpejam ketika senjata itu melesat lemah dari gandewa di tangannya.
Ajaib, panah itu justru melesat secepat kilat ketika terantuk tanah dan menghujam tepat di dada prabu Salya yang meremehkan semangat perang Yudhistira si lelaki lemah lembut itu.
Terdengar suara menggelegar dan seketika dia tersungkur tewas.
Pasukan manusia kerdil tak kasat mata yang sedang menyerang semua orang itu menjadi terkejut dan menghentikan perbuatannya.
Tampaklah manusia dengan sinar suci berdiri, dengan tenang hingga membuat mereka menjadi lemah dan akhirnya musnah.
Sejak kematian prabu Salya itu maka berangsur-angsur wabah aneh itu lenyap.

38. Sangkuni Gugur:
Berkali kali senjata senjata Pandawa mengenai badan Sangkuni namun, tidak satupun dapat melukainya. Bahkan masih melepaskan banyak sekali panah ke arah Arjuna dan Sangkuni berhasil mematahkan serangan panah Arjuna. Bima mencegat kereta perang Sangkuni. Dan memaksa Sangkuni turun dari Kereta perang.Terjadilah perkelahian antara Bima dan Sangkuni Berkali-kali Bima memukul badan Sangkuni dengan Gada Rujakpolo. Namun Sangkuni hanya ketawa-ketawa, seolah tidak kesakitan.

Bima kelelaham menghadapi Sangkuni. Tiba-tiba Bina ingat, bahwa kulit Sangkuni amat licin, dan peluhnya berbau lengo tolo (mungkin, minyak tanah), ini niscaya ada hubungannya waktu Kurawa dan Pandawa masih kecil bermain di sumur bau tanah menemukan cupu lengo tolo milik kakek Abiyasa yang berisi minyak kesaktian. Yang kesudahannya lengo tolo diambil Sangkuni dan dilumurkan keseluruh tubuhnya.

Bima meraih leher Sangkuni, kemudian dihimpitnya dengan lengannya besar lengan berkuasa kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas. Bima memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sangkuni dan dengan mudah dirobek robeknya hingga kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Sangkuni masih hidup. Ia mengerang kesakitan. Krisna meminta Bima dapat menyempurnakan kematiannya. Bima membuat Sangkuni terkelupas kulitnya, dan Sangkuni pun Gugur.

39. Dursasana Gugur :
Perilaku buruk Dursasana yang sering menghina para Pandawa semakin memperburuk keadaan. Terlebih ketika Para Pandawa berhasil membangun sebuah istana yang megah yang diberi nama Indraprastha, dan berkat bantuan Sangkuni, Kurawa berhasil mendapatkan istana megah itu melalui permainan dadu.

Meski kehilangan kerajaannya namun Yudhistira tetap masuk dalam perangkap Sangkuni, ia justru mempertaruhkan adik-adiknya dalam permainan dadu tersebut, termasuk juga mempertaruhkan sang isteri Drupadi setelah adik-adiknya kehilangan kemerdekaan akibat kalah taruhan.

Drupadi menolak dijadikan sebagai taruhan dan menolak keluar dari kamarnya, meskipun sang suami telah kalah taruhan dalam permainan dadunya itu. Akibatnya Duryudana pun murka dan menyuruh adiknya Dursasana untuk menyeret Drupadi kehadapannya.

Dengan kasar, Dursasana menjambak rambut Drupadi sambil terus menyeretnya ke ruang sidang tempat berkumpulnya pada petinggi Hastinapura termasuk Bisma, Drestarata, Widura, Durna, dan lain-lainnya yang hanya menjadi penonton dan diam saja melihat perlakuan tidak adil tersebut.

Duryudana yang pernah dipermalukan oleh Drupadi pun membalas semua hinaan yang pernah diterimanya dari Drupadi dengan cara mempermalukan Drupadi di depan umum. Ia menyuruh Dursasana untuk melucuti gaun yang dikenakan Drupadi. Namun berkat bantuan Sri Krishna gaun Drupadi tidak bisa dilucuti, tetapi justru semakin ditarik gaunnya semakin banyak pula gaun yang menutupi tubuh Drupadi.

Akibat peristiwa tersebut Drupadi bersumpah tidak akan menggulung rambutnya sebelum dicuci dengan darah Dursasana, begitu juga Bima yang bersumpah akan memotong kedua tangan Dursasana lalu meminum darahnya.

Sumpah Drupadi dan Bima akhrinya tersampaikan dalam peperangan di Kurukshetra yang terkenal sebagai Perang Bharatayuddha. Pada hari ke-enam belas, Dursasana gugur di tangan Bima setelah Bima memotong kedua tangannya dan menghancurkan dadanya lalu mengambil darah dari jantungnya untuk diminum dan diberikan pada Drupadi sebagai pelunasan sumpah Drupadi yang akan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.

40. Duryudana Gugur:
Menurut kepercayaan Hindu, Duryudana merupakan penjelmaan dari Iblis Kali. Ia diceritakan bersikap layaknya seorang kesatria, tetapi mudah terpengaruh hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yang licik dan suka memprovokasi pihak Kurawa dengan pihak Pandawa (anak-anak Pandu), sepupu para Kurawa. Selain itu, Duryudana terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya.

Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona, dan Balarama/ Baladewa, Duryidana menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, seorang Pandawa yang hebat dalam kekuatan fisik. Perseteruannya dengan para Pandawa berujung kepada perang besar di Kurusetra, yang juga dikenal sebagai Bharatayuddha. Dalam perang, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.(CDL) Lorojongrang 210921.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *