Ilustrasi

Kritikan Amnesty (2): Setahun Prabowo-Gibran, Meluasnya Peran Militer di Ruang Sipil

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Dalam catatan setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Amnesty Internasional Indonesia menyebut situasi HAM mengalami erosi terparah di mana hak-hak sipil dan politik disebut mengalami erosi, sementara hak ekonomi, sosial dan budaya semakin tergerus

Dengan erosi terparah atas dua rumpun hak asasi di atas, Amnesty memperkirakan bahwa erosi atas hak asasi akan semakin parah. Salah satu faktornya adalah meluasnya peran militer di ruang-ruang sipil.

Alih-alih memperkuat supremasi sipil, pasca Revisi UU TNI, kebijakan pemerintah membuka jalan bagi dwifungsi militer kemasan baru.

Rinciannya jumlah jabatan bagi perwira aktif meningkat 10 menjadi 16. Pembentukan 100 batalyon teritorial pembangunan, 20 brigade infanteri teritorial pembangunan, pelatihan transmigran sebagai komponen cadangan (Komcad), dan kompi produksi.

Amnesty mencatat, jumlah komando teritorial bertambah dari 15 menjadi 21 Kodam bahkan menjadi 37 Kodam pada 2029. Setahun ini, ada 6 Kodam baru yaitu Kodam XIX/Tuanku Tambusai – meliputi Riau dan Kepulauan Riau, Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol – meliputi Sumatera Barat dan Jambi.

Selanjutnya Kodam XXI/Radin Inten – meliputi Lampung dan Bengkulu, Kodam XXII/Tambun Bungai – meliputi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Kodam XXIII/Palaka Wira – meliputi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, Kodam XXIV/Mandala Trikora – berpusat di Merauke, Papua Selatan.

“Semua kebijakan itu menegaskan pola militerisasi pemerintahan yang mengaburkan area pertahanan dan non pertahanan. Belajar dari pengalaman, implikasi negatif bagi HAM-nya cukup serius,” demikian catatan Amnesty.

TNI kini bahkan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan sosial, mulai dari bertani, berternak, hingga memproduksi obat dan multivitamin. Padahal Indonesia tidak menyatakan keadaan darurat militer sehingga tugas itu semestinya dan sudah dijalankan oleh lembaga sipil.

Kecenderungan ini diperparah dengan keterlibatan TNI di proyek-proyek strategis nasional (PSN). Begitu pula penempatan purnawirawan militer di berbagai posisi strategis, dari 15 posisi kabinet hingga 5 dari 10 pimpinan Badan Gizi Nasional yang mengurusi MBG.

Di tingkat daerah, praktik-praktik seperti pengiriman siswa ke barak militer dan penerapan jam malam anak sekolah memperlihatkan perluasan logika militer ke ranah kehidupan warga sipil.

Tak hanya itu, sudah muncul upaya menjadikan TNI sebagai penyidik tindak pidana umum, yang seharusnya menjadi kewenangan aparat hukum sipil seperti polisi dan jaksa.

Upaya ini terlihat dalam perumusan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (2)) serta Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (Pasal 56 ayat 1 huruf d).

“Menguatnya militerisasi atas ruang sipil ini mengikis profesionalisme militer, supremasi sipil, dan prinsip dasar HAM,” kata Usman Hamid.

Sebagai penutup, Amnesty menyimpulkan bahwa kebijakan maupun pernyataan pejabat negara cenderung mengabaikan aspirasi rakyat, dari resentralisasi ekonomi sampai pada remiliterisasi politik pemerintahan.

Negara seharusnya menjamin partisipasi rakyat, terutama dalam berekspresi. Berbagai kebijakan seperti proyek pembangunan dan industri ekstraktif yang mengancam alam dan masyarakat adat seharusnya dibenahi karena memperburuk ketimpangan sosial ekonomi.

Dalam menghadapi ketidakpuasan, negara cenderung membenarkan pendekatan represif bahkan menuduh pengunjuk rasa dengan label-label negatif yang semakin membenarkan pemolisian yang represif. Selain unjuk rasa akhir Agustus lalu, contoh lainnya adalah unjuk rasa bertema Indonesia Gelap yang juga dituduh didanai oleh koruptor.

Akar dari erosi hak asasi saat ini adalah arah kebijakan pemerintah saat ini yang pro-elite, menonjolkan praktik-praktik otoriter, militerisasi atas ruang sipil, efisiensi anggaran yang tidak tepat hingga mengenalkan kebijakan-kebijakan populis yang membebani anggaran seperti program makan bergizi gratis, sekolah rakyat, dan koperasi merah putih.

“Pemerintah pun kerap membungkam suara-suara warga yang mengritik kebijakannya lewat pemolisian yang represif. Jika tren ini berlanjut, maka Indonesia berisiko terperosok dalam otoritarianisme baru yang terus menindas hak-hak warga,” kata Usman.

Kebijakan negara dibuat tanpa partisipasi bermakna masyarakat, termasuk tanpa proses musyawarah mufakat yang memadai dari para wakil rakyat di parlemen. Ini diperburuk oleh pernyataan pejabat yang tidak berhati-hati dan tanpa kepekaan sosial.

Akibatnya terjadi erosi hak asasi manusia. Dari hak-hak sipil warga yang mengkritik dan protes lewat demonstrasi di perkotaan hingga hak-hak sosial masyarakat adat yang mempertahankan hak ulayatnya di pedesaan. (lia)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *