Ilustrasi: Tangkapan Layar Forum Keadilan TV

Pakar Usulkan Tim Audit Independen Proyek KCJB, Bongkar Ada Tidaknya Mark Up dan Keterlibatan Pejabat

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang selama sepekan lebih terus menjadi sorotan masyarakat awam, para pakar, ahli, aktivis dan politisi, terutama karena belum terlihatnya upaya pemerintah serta apa sikap jelas KPK dan DPR terhadap proyek hasil sesat pikir era Presiden Jokowi itu.

Proyek KCJB bukan sekadar persoalan infrastruktur, tapi juga simbol dari kesalahan berpikir dan tata kelola yang menyesatkan era pemerintahan sebelum ini, yang menurut ekonom senior, Anthony Budiawan, harus dikawal terus.

Anthony Budiawan juga menyinggung tentang sesatnya Jokowi.Untuk mencari pembenaran — kalau seandainya sejak awal Agus Pambagio saat itu mengatakan …oh ya pak ini boleh…dia lah yang akhirnya akan jadi korban. Artinya Agus Pambagio jadi calon korban.

Sebelumnya, pemberitaan menyebut setidaknya dua figur, Agus Pambagio — pakar kebijaan publik dari UI dan Menteri Perhubungan Ignasiius Jonan sudah menyatakan proyek KCJB tidak layakdilanjutkan, namun menurut Agus ketika itu Presiden Joko Widodo tidak mau menengarkan penjelasan dia dan Jonan.

Saat ditanya, bukankah seharusnya Jokowi diperiksa, untuk membuka persoalan ini, Anthony membenarkan. Hanya Jokowi yang Presiden pada waktu itu yang berwenang memutuskan.

Hanya dia yang mengatakan, OK ini harus jalan, karena menurut Anthony, sudah ada beberapa pembicaraan di China. Lalu dikatakan itu waktu sudah ada uang mengalir ke pejabat di Indonesia. “Nah….inikan harus diusut,” tegasnya.

Terkait penegasan Menkeu Purbaya yang tidak membenarkan APBN digunakan membayar KCJB, “Penggunaan uang negara untuk mengatasi masalah proyek KJCB memang tidak boleh. Ini yang harus terus kita suarakan,” simpul Anthony menjawab host Madilog Channel di Forum Keadilan TV, jurnalis senior Darmawan Sepriyossa yang dikutip HARIANTERBIT.CO, Senin (20/10-2025).

KCJB kembali menjadi sorotan sejak pekan lalu Menteri Keuangan RI yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan, APBN kita jangan sekali-kali dipakai untuk menalangi utang KCJB yang tadinya adalah proyek B to B ini.

Saat ditanya apa artinya dan implikasi pernyataan Purbaya ini, Anthony Budiawan mengatakan memang ini bukan permasalahan bisnis.

Bagi Anthony, permasalahan KCJB yang sekarang bernama Whoos itu, bukan permasalahan bisnis. Tapi permasalah sejak awal, sejak proyek ini mau diluncurkan, sejak diinisiasi, banyak sekali orang-orang yang sudah memberi masukan bahwa proyek ini tidak visibel, tidak bisa untuk dilakukan.

Budiawan menyinggung, awalnya proyek ini Jakarta – Surabaya, lalu kemudian dialihkan menjadi proyek Jakarta – Bandung yang tetap menyertakan pihak Jepang. “Yang saya curigai, untuk mengkatrol harga,”duga Anthony.

Lalu kemudian Jepang digugurkan, karen Jepang minta jaminan dari pemerintah, sementara China minta urusan proyek ini menjadi b to b alias bisnis ke bisnis.

“Nah ini yang harus benar-benar kita harus tegakkan atau luruskan terus. Jangan sekarang lalu melenceng menjadi urusan goverment alias tanggungjawab pemerintah,” katanya.

Yang kedua adalah, proyek ini harus diusut tuntas, apakah ini hasil mark up atau tidak. Karena proyek sejenis di China, itu harga atau biayanya hanya 17 sampai 31 juta dolar per kilometer, di kita harga menjadi 52 juta dolar per kilometer.

Bandingkan harganya, dengan harga terendah yaitu 17 juta dolar menjadi tiga kali lipat (51 juta dolar). Nah…klo medan Jakarta – Bandung tidak terlalu susah. Dengan harga 25 juta dolar sebenarnya sudah bisa. Berarti ini (51 juta dolar) menjadi dua kali lipat.

Ini yang harus diselidiki kenapa proyek ini harganya menjadi dua kali lipat dari yang di China,itu yang pertama. Seharusnya ketika di 6 juta dolar, tahap awal, ketika penawaran, itu kemudian ada pembengkakan sampai 7,2 juta dolar, pembengkakan biaya ini tidak normal, ini harusnya ditanggungoleh siapa? Oleh kontraktor atau oleh perusahaan konsorsium ini

“Dan ketiga adalah beban bunga,untuk operasioal ini sangat memberatkan. Jika dengan Jepang baban bunganya 0,1 persen, dengan China menjadi 2 persen. Jadi 20 kali lipat.”

Kemudian pembengkakan biayanya menjadi 34 kali, kenapa ini bisa diterima? Seharusnya proyek infrastruktur dengan harga sedemikian besar menurut Anthony, tidak bisa dibebankan bunga yang sedemikian.

Menurut Anthony, yang terpenting lagi adalah, ini proyek yang mereka lakukan dan kita beli juga dari mereka dengan harga 7,2 juta dolar. Jadi tidak bisa dibebankan dengan bunga proyek 2 persen per tahun.

“Bayangkan, kalau dengan Jepang kita harus bayar 4,5 juta dolar versus 12 juta US dolar dengan China. Jauh sekali jarakanya, makanya di sinilah kita kesulian membayar bunganya.” papar Anthony.

Ia menyebut proyek tersebut sebagai “monster ekonomi” yang terus membebani keuangan negara, sementara pemerintah dinilai berupaya mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahan kebijakan.

“Kita sempat menganggap bahwa persoalan kereta cepat itu wajar. Padahal, ini bahaya laten, monster yang tiap tahun akan datang karena bunganya saja harus kita bayar,” ujar Anthony.

Menurut Anthony, proyek KCJB menunjukkan bagaimana arah pembangunan lebih dikendalikan oleh citra politik ketimbang kalkulasi ekonomi yang sehat.

Ia menilai keputusan memilih kerja sama dengan China dibanding Jepang adalah langkah yang tidak berpijak pada asas efisiensi, tetapi lebih pada kepentingan kekuasaan jangka pendek.

Anthony menilai proyek ini sejak awal cacat secara konseptual. Studi kelayakan yang seharusnya menjadi dasar perencanaan tidak pernah dibuka secara transparan.

Anggaran awal yang diperkirakan sekitar 6 miliar dolar AS kini membengkak menjadi lebih dari 7,2 miliar dolar AS. Pemerintah pun akhirnya harus menyuntikkan dana penyertaan modal negara (PMN) untuk menutup kekurangan, meski sejak awal proyek itu disebut murni bersifat business to business tanpa beban bagi APBN.

“Ini yang saya sebut kesesatan berpikir. Jokowi selalu cari pembenaran. Kalau ada masalah, dia cari kambing hitam. Setelah itu, dia lepas tangan. Ini pola yang berulang,” ujar Anthony.

Menurutnya, persoalan KCJB tidak bisa dilihat hanya dari sisi teknis. Proyek ini merupakan cermin dari pola pembangunan nasional yang menekankan kecepatan fisik, tetapi mengabaikan arah ekonomi.

“Kecepatan tanpa arah itu berbahaya. Negara ini jadi seperti mobil balap tanpa rem,” tambahnya.

Anthony menegaskan perlunya audit investigasi terhadap seluruh aspek proyek kereta cepat. Ia menduga kuat adanya praktik mark-up dan permainan harga yang dilakukan secara sistematis.

Ia menyebut solusinya cuma satu, melakukan audit investigasi. Harus jelas, apakah mark-up itu dinikmati oleh pejabat Indonesia sendiri, atau ada kerja sama dengan kontraktor dari China.

Audit biasa saja tidak cukup. Pemerintah harus membuka seluruh kontrak, struktur biaya, dan pihak-pihak yang terlibat. Dalam kaitan ini, Anthony mengusulkan pembentukan satuan tugas investigasi khusus yang melibatkan unsur independen, akademisi, dan masyarakat sipil.

Di bagian lain analisisnya, Anthony juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga kini, ia melihat belum ada langkah nyata dari kedua lembaga itu untuk memeriksa potensi penyimpangan dalam proyek bernilai triliunan rupiah tersebut.

“DPR belum bulat menjadi lembaga pengawas, dan KPK pun seolah tidak berdaya. Padahal, hampir semua kementerian yang terkait dengan proyek ini punya potensi keterlibatan,” katanya.

Dalam pandangannya, proyek-proyek besar di era Jokowi dijalankan lebih untuk tujuan politik ketimbang kebutuhan publik.

“Inilah sesatnya Jokowi,” ujarnya lantang. “Bukan karena dia jahat, tapi karena cara berpikir menyesatkan. Negara ini berjalan berdasarkan keinginan satu orang, bukan sistem.”

Ia menilai obsesi membangun proyek fisik besar seperti bendungan, jalan tol, dan ibu kota baru hanya menjadi simbol, bukan solusi terhadap persoalan ekonomi rakyat.

“BUMN yang menanggung, tapi uang BUMN juga uang rakyat. Jadi akhirnya tetap rakyat yang bayar,” ujarnya.

“Sebelum semuanya diambil atau dibebankan ke negara, lakukan audit investigasi. Setelah itu baru bicara solusi. Kalau hasil audit membuktikan ada penyimpangan, harus ada penegakan hukum, jangan berhenti di opini publik,” tegasnya. (lia)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *