HARIANTERBIT.CO – Percepat proses Sertifikasi Kompetensi Keprofesian Bidang Konstruksi, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) melakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama dengan Himpunan Profesi Tenaga Konstruksi Indonesia (HIPTASI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) HIPTASI. Kesepakatan kerjasama tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum APTISI Pusat Prof. Dr. Ir. H. Budi Djatmiko, MSi, MEI, Ketua Umum DPP HIPTASI Hengki Hamino dan Ketua LSP HIPTASi Multi Konstruksi Dr. Ir. Robert Purba Mangapul Sianipar di sela seminar bertema “Akselerasi dan Optimalisasi Proses Sertifikasi Kompetensi Kerja Melalui Teknologi Digital“ yang digelar di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Ketua Umum APTISI Prof Budi dalam keterangannya mengatakan kerjasama ini menjadi bagian dari upaya me-link and match-kan antara pendidikan tinggi dengan pelaksanaan di lapangan dalam hal ini bidang konstruksi. “Inti dari kerjasama ini supaya nyambung antara yang diajarkan di perguruan tinggi dengan praktik dilapangan,” kata Prof Budi.
Diakui Prof Budi, saat ini tercatat ada 4.500 perguruan tinggi swasta di Indonesia, dimana 500-an diantaranya memiliki program studi teknik sipil dan arsitektur. Dengan jumlah lulusan sekitar 1 juta sarjana teknik sipil dan arsitektur setiap tahunnya, meningkatkan mutu dan kualitas arjana teknik sipil dan arsitektur menjadi sebuah tantangan yang cukup besar.
Karena itu APTISI menggandeng HIPTASI dan LSP HIPTASI terus berupaya meningkatkan mutu lulusan teknik sipil dan arsitektur. Salah satu upaya yang bisa dikerjasamakan adalah melalui sertifikasi kompetensi sarjana bidang konstruksi. Mekanismenya HIPTASI, LSP HIPTASI dan APTISI bekerjasama untuk menyusun kurikulum pembelajaran bagi mahasiswa Teknik sipil dan arsitektur. “Dari perguruan tinggi membuat suatu program dimana konsep kurikulum kita susun disesuaikan dengan uji kompetensi yang dikeluarkan LSP,” jelasnya.
Berkaca dari metode yang dilakukan sejumlah perguruan tinggi negeri seperti ITB, maka mekanisme uji kompetensi ini bisa dilakukan sejak mahasiswa masih semester tiga. Dengan demikian nantinya ketika mahasiswa lulus sudah siap kerja dan tidak perlu melakukan uji kompetensi di lembaga LSP konstruksi lainnya. “Kami berharap HIPTASI dapat menjadi motor penggerak dari uji kompetensi tenaga konstruksi ini,” tegas Prof Budi.
Ia juga berjanji akan mengumpulkan ketua prodi teknik sipil dan ketua prodi arsitektur dari berbagai perguruan tinggi swasta di Indonesia untuk bersama-sama menyusun kurikulum yang sesuai dengan kategori yang sudah ditetapkan oleh BNSP.
Di tempat yang sama, Ketua Umum DPP HIPTASI Hengki Hamino mengatakan jumlah tenaga konstruksi di Indonesia yang memiliki sertifikat kompetensi masih sangat sedikit. Data BPS menunjukkan dari 12 juta tenaga konstruksi yang dibutuhkan di Indonesia, baru sekitar 720 ribu yang mengantongi sertifikat uji kompetensi.
Menurutnya ada dua persoalan mendasar yang menyebabkan sertifikasi kompetensi tenaga kerja bidang konstruksi berjalan sangat lamban. Pertama terkait peta jalan tranformasi digital di Indonesia yang sedikit terlambat dan kedua persoalan budaya dari tenaga kerjanya itu sendiri. “Sebagian besar tenaga kerja kita maunya gampang, tidak mau hal-hal yang berbelit, sejenis uji kompetensi. Meski uji kompetensi ini sangat menguntungkan bagi pekerja itu sendiri,” jelasnya.
Untuk mendorong percepatan uji kompetensi dan sertifikasi tenaga konstruksi ini, Hengki menilai perlunya kolaborasi antar pemangku kepentingan. Selain itu perlu juga sebuah perangkat teknologi yang memudahkan bagi tenaga kerja konstruksi untuk melakukan uji kompetensi dengan mekanisme mudah dan tingkat keakuratan yang tinggi.
“Kami sendiri sedang menyiapkan dua software untuk uji kompetensi tenaga konstruksi ini. Jika nanti sudah beroperasi, kami berharap uji komptensi bidang konstruksi bisa dipersingkat. Karena idealnya 60 persen tenaga konstruksi kita harusnya sudah tersertifikasi,” tandasnya.
Senada juga disampaikan Ketua LSP HIPTASi Multi Konstruksi Dr. Ir. Robert Purba Mangapul Sianipar. Menurutnya kebutuhan akan sertifikasi tenaga konstruksi sangat besar. “Dan untuk mempercepat penambahan tenaga konstruksi yang tersertifikasi, maka digitalisasi sertifikasi menjadi sebuah keharusan. Digitalisasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, akurasi dan juga efektifitas proses uji kompetensi tenaga konstruksi,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar setiap LSP terkoneksi dengan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan tenaga konstruksi seperti LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) PUPR dan BNSP. “Jadi proses digitalisasi nantinya harus dilakukan dari ujung ke ujung, bukan proses mengubah dari manual ke system computer saja,” katanya.
Adapun ruang lingkup kerjasama antara APTISI, HIPTASI dan LSP HIPTASI meliputi 6 poin penting. Yakni pemberdayaan dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan APTISI sebagai Asesor Kompetensi di LSP HIPTASI Multi Konstruksi, pembentukan Tim Bersama menyusun Materi Uji Kompetensi (MUK) yang akan digunakan dalam Proses Sertifikasi Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi, pemanfaatan fasilitas kampus sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK).
Lalu pembentukan Tim Konsultan Sertifikasi Komptensi Kerja (SKK) Konstruksi, kerjasama penyelenggaraan kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Sektor Jasa Konstruksi skala nasional dan internasional, serta kerjasama pembangunan Platform Digital Sertifikasi Kompetensi Kerja (SKK) HIPTASI dan APTISI