HARIANTERBIT.CO – Saya sedang menunggu kereta dari bandara Soekarno Hatta di Cengkareng menuju ke Manggarai, tak lama setelah mendarat di Tanah Air, ketika mendapati dua pernyataan tendensius dan provokatif dari HM Jusuf Kalla – Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 – yang meminta Presiden Joko Widodo agar tidak ikut campur dalam kontestasi politik jelang Pemilu 2024 di akhir jabatannya.
Seketika tercetus tanggapn spontan, apakah Pak JK juga meniru Wakil Presiden Budiono dan Wapres Hamzah Haz yang tak mengurusi pemilihan presiden, setelah tak lagi menjabat?
Kapan JK tidak menyampaikan pernyataan tendensius dan provokatif, dalam bungkusan pencerahan dan pidato – dengan kembali mengusik kembali masalah mayoritas dan minoritas, dengan menyebut; “etnis Tionghoa yang ada di Indonesia tak lebih dari 5 persen namun bisa menguasai 50 persen perekonomian di dalam negeri” sebagaimana dia sampaikan di acara halal bihalal Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat malam (12/5).
Kita tahu, JK menikah dengan wanita berdarah Minangkabau (Ibu Mufidah Kalla), yang terkenal dengan ‘pepatah petitih’ (nasehat kaum bijak bestari), di antaranya : saat jari menunjuk, ada empat jari terkait. Maknanya: sebelum menuding, hendaklah berkaca diri, intropeksi.
Nampaknya Pak JK luput pada pepatah itu. Dan memang dia bukan orang Minang. Konglomerat berdarah Bugis – Makassar ini, sedang galau dan risau dengan elektabilitas jagoannya, Anies Baswedan yang merosot terus di peringkat ke tiga, saat Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo terus bergantian bersaing di peringkat pertama dan kedua dalam survey beberapa lembaga kredibel.
JK menyampaikan pernyataannya, merespon langkah Jokowi yang tidak mengundang Ketua Umum NasDem Surya Paloh dalam pertemuan Parpol Koalisi Pemerintah di Istana Merdeka, Selasa (2/5) lalu.
“Presiden seharusnya seperti ibu Mega, SBY, ketika itu akan berakhir maka tidak terlalu jauh melibatkan diri, suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis,” katanya.
“Karena ini di Istana membicarakan tentang urusan pembangunan atau apa itu wajar saja. Tapi kalau bicara pembangunan saja mestinya NasDem diundang. Berarti ada pembicaraan politik,” ujarnya dalam konferensi pers, Sabtu (6/5) malam.
Jokowi memang mengumpulkan petinggi partai politik di Istana Kepresidenan, Jakarta. Jokowi mengatakan pertemuan dengan sejumlah pemimpin partai politik sebatas diskusi, termasuk saat mengumpulkan pejabat teras partai politik di Istana beberapa hari lalu.
“Bukan cawe-cawe, wong itu diskusi saja kok cawe-cawe, diskusi,” kilah Jokowi di Sarinah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/5).
Jika menyimak rekan sekondan – yang kemudian jadi musuhnya, DR. Rizal Ramli, JK sangat dominan di sidang kabinet dan banyak memasang orangnya di pemerintahan Jokowi periode pertama.
Antara lain itu, sebabnya, mengapa di kabinet berikutnya JK tak diajak serta.
Nampaknya dengan pemerintah sebelumnya, SBY, JK juga mempunyai reputasi yang sama.
JK adalah pengusaha, pewaris Kalla Grup yang menguasai bisnis menggurita, terutama di wilayah Indonesia Timur. Keterlibatannya di politik di Golkar maupun di pemerintahan juga di kegiatan sosial seperti PMI dan Dewan masjid – tak lepas dari ambisi bisnisnya, meraup banyak proyek raksasa APBN untuk perusahaan-perusahaannya.
Nyaris seluruh pembangunan di Indonesia Timur ada di tangannya.
Namun dalam pemerintahan Jokowi, bisnisnya tidak berkembang. Akibatnya, JK mencari jagoan untuk menggantikan Jokowi agar bisa melanjutkan dominiasi pohon perusahaannya. Dan memprovokasi masyarakat akar rumput dengan mengungkap isu SARA.
DR Rizal Ramli, ekonom yang kini jadi oposan, menuturkan, saat dia ada di dalam kabinet Jokowi, mengaku pernah mengkandaskan sejumlah proyek strategis yang dilirik JK sehingga gagal dieksekusi. Salah satunya, proyek pembangunan senilai USD 600 juta. Juga proyek jaringan pipa BBM sepanjang Jawa. Nilai investasinya USD 3 miliar. Semua sudah setuju tadinya (tapi) RR menggagalkannya.
Tak jelas benar omongan RR. Namun di media sosial, keduanya memang terlibat silang pendapat secara terbuka. Saling memburukkan satu dengan yang lain.
Pernyataan provokatik Jusuf Kalla dapat dibaca sebagai kode dan ungkapan kegalauannya karena tak mendapatkan keuntungan dari bisnis dan politik yang tengah berjalan di negeri ini, sebagaimana yang diharapkan.
JOKOWI berkepentingan untuk mencapat pengganti yang akan melanjutkan proyek proyek jangka panjangnya, sebab banyak pihak yang berupaya menggagalkannya.
Termasuk JK yang menyebut pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ke depan akan bermasalah. Mega Proyek di kawasan Penajam Paser Utara – Kalimantan Timur itu akan bermasalah terkait dana pembangunan.
“Ini akan bermasalah, karena sampai sekarang kita belum belum melihat ada komitmen dari investor luar. Sulit investasi di suatu Ibu Kota, tidak mudah.
Konsekuensinya mungkin pemerintah akan memperlambat pembangunan. Artinya tidak sesuai jadwal semula akan merayakan di istana di sana pada tahun 2024. Jadwal pembangunan akan tertunda,” jelas JK dikutip dari Bisnis, Kamis 22 September 2022.
JK juga menyinggung berdasarkan pengalaman negara lain seperti Brasil, Myanmar butuh waktu 20 tahun untuk melengkapi pemindahan Ibu Kota.
Selain itu, tidak seluruh lembaga pindah, dan idealnya jarak pindah sekitar 30 kilometer seperti Ibu Kota Kuala Lumpur di Malaysia pindah ke Putra Jaya.
Pendeknya JK skeptis. Pesimis. Dan hampir pasti, jika jagoannya, Anies Baswedan menang, proyek IKN dimangkrakan. Digagalkan. Boleh jadi akan menjadi bahan untuk kasus hukum.
Hal itu mencemaskan dan membahayakan, bukan hanya untuk kepemimpinan Jokowi, melainkan bagi bangsa dan negara dalam jangka panjang.
Sebab, reputasi Anies Baswedan sebagai politisi cenderung tidak peduli pada pembangunan berkelanjutan (‘sustainable’) – lantaran terobsesi pada perubahan (‘change’). Yang penting berubah, mengganti, membongkar, dan membangun yang baru – entah akan jadi apa nantinya.
Sekadar berubah, sekadar berbeda kini ditunjukkan oleh Anies baswedan yang memiliki pengikut militan. Misalnya dia mengritik kebijakan mobil listrik, padahal sebelumnya dia menyelenggarakan balap E-formula, yang bertujuan mensosialiasikan energi listrik.
Dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) merespon apa yang disampaikan Anies berbahaya dan bisa merugikan negara.
“Kita sudah rugi berapa triliun (dari kendaraan bensin), kalau dia terusin begitu, gimana masa depan kita?” ujar Juru Bicara Aismoli, Peter Kho saat ditemui detikOto di Jakarta, Rabu sore (10/5).
Sebagai pendiri Komunitas Motor Listrik (Kosmik) Peter Kho menegaskan, pemberian subsidi kendaraan listrik bukan lagi sekadar opsi atau pilihan, melainkan menjadi keharusan. Sebab, tren kendaraan dunia memang mengarah ke elektrifikasi.
Anies Baswedan, meski lulusan AS, tak berpikir ke depan. Dia bicara bernuansa populis untuk menyenangkan pendukungnya yang kebanyakan awam dan jelata, penuual isu agama, sektarisnistik. Dengan cara begitu dia memenangkan Pilkada 2017 lalu dan dia mengulanginya kini. Dengan dukungan JK. Sama seperti di Pilkada 2017 lalu juga.
Anies Baswedan juga membanggakan bahwa kontestasinya di panggung Pilpres dalam rangka “melawan oligarki”.
Jelas itu pengelabuan dan pembodohan publik. Sebab JK dan Surya Paloh, dua konglomerat, yang mensponsorinya adalah oligarki juga.
Baik JK maupun Surya Paloh sama sama memiliki pohon perusahaan, memiliki induk perusahaan dengan cabang cabangnya, yang menguasai bermacam ragam bisnis: transportasi dan logistik, kontruksi, otomotif, property, energy, manufaktur, perhotelan, hingga pendidikan.
Grup Kalla – melalui Bukaka Teknik Utama (BUKK), yang bergerak di sektor infrastruktur, konstruksi dan rekayasa sipil, juga sudah melakukan ekspansi ke bisnis energi baru dan terbarukan (EBT) setelah mengumumkan pendirian perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).***https://www.facebook.com/supriyanto.martosuwito