HARIANTERBIT.CO – Putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) dinilai telah merugikan pihak penggugat. Pasalnya, hakim telah salah menafsirkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Akibatnya, bukti-bukti autentik yang telah diajukan ke persidangan dikesampingkan.
“Putusan hakim tidak sesuai dengan diktum gugatan yang dilayangkan oleh Lianawati Nurmawan (penggugat). Hakim mempersoalkan hal lain yang justru tidak menjadi substansi gugatan,” kata Dr Rully Simorangkir kuasa hukum Lianawati dari Kantor Hukum Rully Simo & Partners, pada Sabtu (17/9/202), dalam rilis yang diterima HARIANTERBIT.CO, Minggu (18/2/2022).
Rully menjelaskan, yang dimintakan kliennya terkait pengosongan rumah yang telah dibeli Lianawati dari Hanapi Nurmawan, ayahnya. Sebelumnya, lanjut Rully, pihaknya telah menyomasi Hanapi karena dianggap ingkar janji (wanprestasi). Namun, Hanapi bersikeras tidak mau menyerahkan rumah dan tanah seluas 2000 meter persegi yang telah dibeli Lianawati, putrinya. Malah, Hanapi melaporkan Lianawati ke polisi dengan tuduhan melakukan pemalsuan dokumen.
Kecewa dengan sikap Hanapi, Lianawati menempuh jalur hukum ke pengadilan, disertai bukti-bukti autentik, termasuk surat kuasa yang dibuat oleh Hanapi dan istrinya Meilisa Nurmawan, saat tengah menjalani pengobatan di Singapura.
Saat menjalani pengobatan ke Singapura, pada 5 Mei 2011, Hanapi dan istrinya telah sepakat memberikan kuasa kepada Lianawati untuk menjual, mengalihkan, dan atau menghibahkan sebidang tanah berikut bangunan seluas 2000 meter persegi yang terletak di bilangan Sunter, Jakarta Utara, kepada anaknya.
Atas dasar surat kuasa itu, oleh Lianawati dibuatkan akta notaris dengan Notaris/PPAT Sindian Osaputra di Jakarta. Setelah selesai, sertifikat tanah pun dibalik nama, menjadi atas nama Lianawati.
Sekembalinya ke Jakarta, Hanapi justru ingkar janji dan tidak mau menyerahkan tanah dan bangunan tersebut kepada Lianawati. “Esensi gugatan tidak dibahas, justru malah surat kuasa yang dijadikan dasar bagi Hakim PN Jakut memutuskan menolak gugatan secara keseluruhan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dengan dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, hakim menilai surat kuasa yang dibuat Hanapi di Singapura tidak sah. Dengan tidak sahnya surat kuasa tersebut, maka hal-hal sebagai akibat turunan dari surat kuasa itu dinyatakan batal demi hukum. “Inmendagri 14/1982 tersebut tidak mengatur tentang pembatalan terhadap jual beli yang sudah terjadi. Lagi pula BPN sendiri sudah mengesahkan jual beli dengan diizinkannya melakukan balik nama terhadap sertifikat,” ungkap Rully.
Dia mengatakan, pertimbangan hakim yang didasari pada Inmendagri No 14/1982 tersebut tidak pas. Sebab, aturan tersebut bukan ditujukan untuk individu, melainkan kepada gubernur, wali kota, sampai camat sebagai instruksi untuk tidak menerima surat kuasa mutlak.
Rully mengaku heran dengan analisis hakim yang di luar konteks gugatan. “Kami tidak ada minta kepada pengadilan untuk menyatakan bahwa jual beli sah demi hukum. Begitu juga pihak tergugat tidak pernah meminta supaya jual beli dianggap tidak sah. Yang tergugat katakan gugatan itu prematur karena laporan polisi di Polda Metro Jaya tengah berproses,” tandasnya.
Anehnya, sambung Rully, kok malah hakim PN Jakpus memutus lain. “Hakim memutuskan berdasarkan analisisnya sendiri, di mana menyebut surat kuasa yang dibuat di Singapura itu adalah surat kuasa mutlak,” ucap Rully.
Dia menegaskan, dalam memutus suatu perkara perdata, hakim harusnya bersikap pasif. “Hakim hanya mempertimbangkan segala sesuatu yang diajukan oleh para pihak. Dalam perkara ini, para pihak tidak ada bicara tentang sah atau tidaknya jual-beli tersebut,” katanya.
Tak hanya itu, ujar Rully, pembuktian dalam perkara perdata bersifat formal. Dalam hal ini penggugat membuktikan seluruh surat asli. Ada surat kuasa, AJB, dan sertifikat yang sudah balik nama, dan sudah terjadi pembayaran, termasuk bayar PPH dan BPHTB. Sementara pihak tergugat hanya membuktikan bahwa mereka bikin laporan di Polda Metro Jaya. (*/rel/dade)