HARIANTERBIT.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Alasannya, Jokowi ingin Badan Riset dan Teknologi (BRIN) yang selama ini satu lembaga dengan Kemenristek, berdiri sendiri. DPR sendiri telah menyetujui keputusan mantan Wali Kota Solo.
Rektor Universitas Indraprasta (Unindra) PGRI Prof H Sumaryoto mengatakan, peleburan dua kementerian ini dinilai mencerminkan pengambilan keputusan yang kurang cermat. Sebab, sebelumnya dua institusi tersebut dahulu dipisah, namun kini disatukan kembali.
“Cuma saya menilai ini sesuatu yang kurang baik ya, dipecah, digabung. Ini menunjukkan keputusan yang tidak matang,” kata Sumaryoto, Minggu (18/4/2021), dalam keterangan tertulis yang diterima HARIANTERBIT.co.
Sumaryoto mengungkapkan, turut mengritisi sikap DPR. Sebab, seharusnya lembaga legislatif bisa mempertanyakan perubahan kebijakan tersebut. DPR memberikan persetujuan itu mesti digali dulu. Bagaimana plus dan minusnya. Walaupun ini hak Presiden, tapi DPR juga punya hak untuk memberikan suatu pendapat.
“Seharusnya, perubahan ini bisa dilakukan setelah lima tahun kemudian atau ketika pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin berakhir. Sehingga semangat efisiensi bisa tetap dijalankan,” ujarnya.
Meski begitu, penggabungan tersebut diyakini Sumaryoto tak berdampak pada kinerja Kemendikbud ke depan. Mengingat, kedua kementerian sebelumnya pernah bersatu. Kinerja Kemendikbud, terutama yang terkait dengan Perguruan Tinggi (PT), menurutnya, takkan terpengaruh dengan peleburan itu. Kalau untuk perguruan tinggi saya yakin tidak ada masalah. Ada-tidak ada kan kita sudah punya rule.
“Bergabung atau berpisah nggak ada masalah, kan undang-undangnya sudah ada, kita tinggal melaksanakan peraturan,” ungkap Sumaryoto.
“Kalau soal perguruan tinggi, insya Allah tidak ada masalah. Mau dipecah tiga menteri, yang penting UU-nya sudah ada, peraturan sudah ada. Kan kita menjalankan peraturan, bukan menjalankan instruksi lisan dari seorang menteri, tidak. Aturan yang kita lakukan,” tandasnya.
Meski begitu, pemilik gelar profesor ini menilai tak tepat jika nantinya akan ada badan riset yang terpisah dari Kemendikbud. Karena, ia memandang riset atau penelitian, tak bisa dipisahkan dengan dunia pendidikan tinggi.
“Bahkan sekarang di tataran internasional, menilai peringkat perguruan tinggi itu dari riset, bukan dari yang lain. Bukan gedung, mahasiswa, tapi riset. Inovasinya, riset yang inovatif, menemukan keterbaruan segala macam. Itu yang justru menjadi skor dalam penilaian peringkat,” ujarnya.
Terkait reshuffle, Sumaryoto enggan mengomentari isu sosok yang pas memimpin Kemendikbud ketika resmi digabung dengan Kemenristek. Termasuk apakah Nadiem Makarim masih layak menjadi Mendikbud setelah itu. Menurut dia, siapa pun menterinya, harus merupakan sosok yang terbaik.
“Saya tidak dalam kapasitas menilai orang. Saya tidak berani, karena setiap orang punya plus dan minusnya. Tinggal plusnya cocok tidak dengan tempatnya itu saja, semua orang pasti begitu. Makanya ada istilah “the right man on the right place”, karena plusnya cocok. Tapi kan dia punya minus, jadi tidak ada satu pun manusia yang tidak punya minus,” ungkapnya.
“Yang penting menteri siapa pun secara jujur, bertanggung jawab untuk melaksanakan peraturan yang berlaku,” kata pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah ini mengakhiri. (*/rel/dade)