HARIANTERBIT.CO – Dua bulan sebelum beliau meninggal saya sering dimintai oleh peserta Sespati G 13 dan Sespim angkatan 45 untuk menghubungi Prof. Parsudi. Beliau sangat antusias dan penuh semangat membantu dan menyumbangkan pemikirannya. Prof. Parsudi juga sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Antropologi dan masalah-masalah sosial.
Di akhir hayatnya banyak pemikirannya yang menjadi bahan masukan untuk peningkatan kualitas kinerja Polri. Terlebih yang berkaitan dengan Polmas. Polmas merupakan kebijakan Kapolri tetapi di sana-sini banyak yang latah dan bahkan mencibir, tidak yakin atau sebagai sikap defensif.
Namun tatkala Kapolri menanyakan hasilnya atau menanyakan programnya baru semua gedandapan, seperti mau cari top sendiri, semua sibuk seolah-olah memang melakukan, tetapi setelah tidak ditanya ya lupa lagi. Dalam menindaklanjuti kebijakan pimpinan, maka Polmas diupayakan agar dapat dilaksanakan secara cepat atau upaya-upaya mendiskusikan Polmas dengan istilah percepatan dan sebagainya.
Pada saat saya meminta beliau untuk menjadi nara sumber diskusi dan kuliah umum Sespati G 13 beliau menulis dalam makalahnya bahwa percepatan untuk implemenasi Polmas adalah susah dan sangat susah. “Bagaimana mau cepat konsepnya saja salah, pendekatan yang digunakan juga tepat, percepatan hanya sebagai istilah agar kelihatan serius ini tidak mungkin.
Betulkan dulu konsepnya, baru tentukan langkah-langkah yang jelas dan pasti”. Walaupun tidak setuju dengan berbagai konsep Polmas beliau tetap berupaya untuk memberikan masukan atau saran. Diskusi dan kuliah umum Sespati G13 tentang percepatan Polmas dilaksanakan di kantor Ditlantas Polda Metro Jaya yang berada di Pancoran. Saat beliau hadir di ruang transit, tampak gelisah.
Saya tahu beliau ingin merokok, lalu saya ajak naik ke lantai empat di ruangan kerja saya. Saat di ruangan kerja saya beliau tampak tenang dan berbahagia karena bisa merokok kebetulan ditemani oleh Polwan-Polwan Dikyasa. Beliau saya ajak ke gudang penyimpanan produk-produk Dit Lantas Polda Metro Jaya sebagai bentuk implementasi Polmas pada fungsi lalu lintas.
Beliau sangat senang dan merasa bangga apa yang diajarkan kepada saya, banyak yang telah diimplementasikan melalui produk-produk tersebut. Pada diskusi round table sebagai pra seminar beliau juga diundang lagi sebagai nara sumber untuk menanggapi karya peserta Sespati dan Pasis Sespim. Malam sebelum menanggapi produk tersebut beliau mengirim SMS Bakharudin untuk meminta saran untuk bicara apa tentang naskah ini. Dan Bakharudin menelpon saya.
Beliau menilai lucu naskah tersebut, dan saya sarankan untuk disampaikan apa adanya dan yang terpenting ada solusinya. Namun pada saat round table beliau memang banyak mengkritik tetapi beliau memuji karya itu untuk diapresiasi dan inilah sebetulnya beliau menghargai suatu karya, dan mendorong untuk maju meskipun banyak kekurangan.
Setelah melalui beberapa kali rapat dan diskusi antara EO (event Organiser), panitia seminar, dan Widya Iswara Sespati dan Sespim, Prof. Parsudi ditunjuk sebagai nara sumber, pemapar dan penanggap sekaligus serta membuat makalah. Pada mulanya beliau menolak tidak bisa, karena ada seminar di Bangka Belitung, atas undangan Kapolda Bangka Belitung.
Tetapi setelah saya yakinkan karena di Bangka Belitung tanggal 20 dan 21 Nopember sudah di Jakarta dan Seminar Sespati-Sespim tanggal 22 Nopember 2007, akhirnya beliau menyetujui dan bersedia mengirim makalah lewat email. Legalah hati para panitia karena Prof. Parsudi sudah bersedia untuk menjadi nara sumber.Tanggal 11 Nopember 2007 ada rapat tentang Polmas yang diselenggarakan oleh Staf Ahli Kapolri, beliau hadir waktu itu, dan dengan semangat beliau menyampaikan saran-sarannya.
Saat istirahat saya berbincang-bincang dengan beliau dan saya bertanya : “ Sehat Prof?”. “ Saya sehat sekali “ jawab beliau berapi-api, sambil terus merokok Gudang Garam Kretek Merah kesukaannya. “ Saudara kapan ke Bogota?”. “tanggal 12 Nopember Prof, tetapi ini belum ada kepastian, karena dari ITDP masih simpang siur beritanya”.
Beliau menyarankan saya untuk menulis tentang lalu lintas yang didiskusikan dalam sebuah TV swasta :” Konsep dan teori yang saudara sampaikan itu lengkap dan sangat bermanfaat untuk Polantas dan kegiatan saudara di Bogota”.Tanggal 12 Nopember 2007 saya akhirnya ikut berangkat ke Bogota. Pada tanggal 18 Nopember 2007 Prof. Parsudi mengirim SMS ke Bakharudin yang menyampaikan tidak bisa berangkat ke Bangka Belitung karena sakit dan beliau juga tidak bisa membuat makalah karena jarinya teriris pisau.
Dan SMS terakhir di Hand Phone beliau sebagai berikut : Saudara B (Bakharudin) kapan Saudara C (Chryshnanda) pulang (dari Bogota). Telah menjadi kebiasaan Bakharudin jika di SMS Prof. Parsudi langsung beliau di telepon dan Bakharudin menyampaikan akan mengantar ke dokter, dan mencarikan tukang ketik, tetapi semuanya ditolak.
Bakharudin juga menyampaikan : Bang Chrysh pulang Senin dan Selasa sampai di Jakarta. “ Baik saya tunggu”, kata beliau. Ternyata terbang dari Bogota ke Jakarta tidak ada penerbangan yang langsung tetapi dua kali transit dan total perjalanan adalah 38 jam.
Saya tiba di Jakarta Rabu malam jam 21.30 WIB tanggal 21 Nopember 2007. Tanggal 22 Nopember 2007 pelaksanaan seminar Sespati dan Sespim di Hotel Arya duta Jakarta. Tim penjemput sudah datang sejak jam enam pagi karena Prof. Parsudi sebagai pemapar pertama.
Tetapi sampai jam 7 pagi belum ada jawaban, diketok-ketok tidak ada jawaban, TV hidup, AC kamar hidup. Tim penjemput yang terdiri dari satu pengemudi mobil kijang dan satu petugas Patroli dan pengawalan Dit Lantas Polda Metro Jaya. Tim penjemput menelpon AKP Endang (anggota Dikyasa Ditlantas Polda Metro Jaya) untuk meminta saran atau petunjuk. AKP Endang menelpon Bakhrudin dan Saya untuk meminta saran.
Hand Phone Prof. Parsudi di telpon Bakharudin dan terdengar oleh tim penjemput tetapi juga tidak ada jawaban. “Bagimana kalau didobrak lewat pintu belakang?” tanya AKP Endang. Saya dan Bakhrudin punya pengalaman dengan Prof. Parsudi kalau tidak dijawab ya sudah berarti sakit.
Tetapi AKP Endang juga punya pengalaman anggotanya pernah juga diketok tidak membuka dan didobrak ternyata telah meninggal. Akhirnya tim penjemput bersama ketua RT setempat nekad mendobrak lewat pintu belakang, ternyata Prof. Parsudi sudah meninggal dunia.
Saya bersama Bakharudin menuju rumah duka dan kami berunding dengan Sukarman, Helmi Santika, Kadenma Mabes Polri, tim dari UI untuk mengatur tata upacaranya. Akhirnya disepakati, setelah diidentifikasi oleh tim dari Polres Jakarta Selatan, jenazah dibawa ke rumah sakit Fatmawati.
Setelah disucikan di rumah sakit Fatmawati, Jenazah di sholatkan di Masjid UI, dan di semayamkan di FISIP UI dan dimakamkan di taman makan kehormatan Polri Cikeas dengan upacara kebesaran Polri. Selama dalam perjalanan menuju tempat pemakaman : saya, Yaya Ahmudiarto, Sukarman dan Rudi Indratno di mobil jenazah menerawang, sedih, bangga, dan terkenang akan masa yang penuh suka duka bersama beliau.
Kini kami hanya berhadapan dengan peti jenazah beliau, yang di dalamnya terbujur kaku jasad orang tua, guru, sahabat yang sangat kami cintai dan kami banggakan. Kenangan tinggal kenangan. Upacara pemakaman dipimpin oleh Irjen Pol Drs Alantin Simanjuntak, dan dihadiri oleh Kapolri, Jenderal Sutanto dan beberapa perwira tinggi serta pejabat Polri.
Saya terkesan dalam mengantar beliau di tempat peristirahatan yang terakhir semua berjalan lancar tanpa halangan, cuaca cerah. Kamipun penuh haru, melihat beliau hidup seorang diri tidak mau merepotkan orang lain, bahkan mungkin saudaranya.
Keinginan untuk kembali kepada sang Penciptapun beliau tak mau orang repot, tanpa sakit panjang, walau sanak saudara jauh tetapi Tuhan menunjukkan dan memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada beliau. (bersambung)