MEMAHAMI REVOLUSI PEREMPUAN PEJUANG JIHAD DI BAWAH PENGARUH ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS)

Posted on

Oleh: Ulta Levenia CCPS, SIP

PERAN perempuan dalam kelompok terorisme sebagai aktor pengemban tugas domestik seperti menjaga keutuhan doktrin dalam lingkup keluarga dan mempersiapkan pejuang jihad masa depan (future jihadist), bukan lagi medium yang popular dalam lingkup internal kelompok perempuan pejuang jihad. Menggunakan niqab dan menyandang AK-47, saat ini telah menjadi bagian dari life style perempuan pejuang jihad, di samping tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai perempuan yang hidup di kalangan dengan gender bias yang tinggi. Eksistensi perempuan dalam aksi kekerasan yang terinspirasi oleh kelompok ekstremis radikal bukanlah hal yang baru dalam organisasi terorisme, dan bukan bentuk baru dari salah satu strategi yang digunakan oleh kelompok tersebut. Pada perang Irak, pendukung Saddam Hussein mendorong partisipasi perempuan sebagai pejuang dan melakukan bom bunuh diri untuk melemahkan kekuatan musuh. Kemudian gerakan ini berlanjut dengan tercatat sebanyak 62 serangan bom bunuh diri dilakukan oleh perempuan dan Al-Qaeda in Iraq (AQI) bertanggung jawab atas empat serangan dari tahun 2005-2007. Pada tahun 2008, tercatat 32 serangan bom bunuh diri dilakukan oleh perempuan. AQI merupakan pecahan kelompok Al-Qaeda pertama yang menggunakan perempuan sebagai salah satu strategi terror. Dibentuk oleh militan Jordan, Abu Musab al-Zarqawi, AQI memberikan warna baru dalam aksi terorisme di Irak yang kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Islamic State of Iraq dan ISIS pada saat ini.

Zarqawi telah membuka keran partisipasi perempuan dalam melakukan aksi terorisme, yang pada kenyataannya memang diinginkan oleh para perempuan pejuang Jihad tersebut. Zarqawi bertanggung jawab atas tren perempuan dalam aksi teror yang meluas pada masa ISIS. Zarqawi melihat menyadari bahwa dari beberapa kali percobaan bom bunuh diri dalam 2005-2007 yang diklaim oleh AQI, atensi media meningkat secara signifikan terhadap eksistensi AQI. Hal ini berguna bagi AQI untuk meluaskan pengaruhnya dan menekan oponen pada saat itu untuk memperoleh massa atau partisipan (jihadist). Selain atensi tersebut, Zarqawi menggunakan perempuan dari Eropa seperti Muriel Degaque, perempuan berdarah Belgia yang melakukan serangan bom bunuh diri di Jordan dan bagian dari AQI, untuk memperoleh simpatik dari pejuang jihad di daerah Eropa untuk memiliki aliansi dengan AQI. Strategi ini kemudian juga menghindari alienasi dari masyarakat lokal yang pada awalnya dikritik oleh mentor ideologis Zarqawi, Abu Muhammad al-Maqdisi. Lebih jauh, Zarqawi juga bertanggung jawab atas culture of violence kemudian menjadi medium yang dapat diterima oleh masyarakat untuk membalaskan dendam terhadap musuh.

Kesuksesan Zarqawi yang dilanjutkan oleh Al Baghdadi ini menjadikan ISIS saat ini kuat dan memiliki pengaruh destruktif di beberapa negara termasuk Indonesia yang beberapa kali diserang oleh aksi terorisme yang diklaim sebagai afiliasi ISIS. Kemudian meskipun bukti nyata bahwa perempuan digunakan sebagai tameng manusia dalam peperangan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap perempuan dilakukan oleh anggota ISIS, tidak menghentikan para perempuan pejuang ISIS untuk turut serta dalam aksi terorisme di bawah bendera ISIS, juga tidak menghentikan upaya Hijra ke wilayah kekuasaan ISIS.

Jika Zarqawi menunjukkan motif internal kelompok menggunakan perempuan sebagai bagian dari aksi teror, maka perempuan pejuang jihad juga memiliki push and pull factors untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Push factors di antaranya perasaan isolasi dari masyarakat, terutama bagi muslim minoritas yang hidup di Eropa, kemudian persepsi yang diakibatkan oleh propaganda ISIS bahwa masyarakat muslim di seluruh dunia sedang diserang, dan frustrasi akibat minimnya aksi internasional dalam menyuarakan pembelaan terhadap minoritas muslim. Di sisi lain, pull factors-nya dapat berupa insentif positif jika berjuang bersama ISIS termasuk memenuhi hasrat untuk membangun kekhalifahan Islam, perasaan memiliki yang absen terutama bagi muslim minoritas generasi kedua di Eropa yang teralienasi dari lingkungannya, kemudian romantisme hidup di bawah kekuasaan ISIS yang melalui propaganda menebar perasaan kehidupan pada masa kenabian.

Pada umumnya tidak terdapat perbedaan antara motivasi laki-laki dan perempuan pejuang jihad. Namun, motif afeksi dan romantisme lebih berpengaruh bagi perempuan untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari ISIS. Begitu juga dengan pilihan bagi perempuan pejuang Jihad untuk turut mengangkat senjata dan melakukan aksi terorisme, hal tersebut sesungguhnya telah ada dalam diri perempuan itu sendri, ISIS hanya membukakan keran bagi hasrat tersebut terpenuhi dan memanfaatkannya sebagai salah satu strategi terorisme. Oleh karena itu, upaya untuk merangkul perempuan mengingat peran strategisnya sebagai aktor pemangku tugas domestik dan juga aktor pejuang jihad dengan mengangkat senjata perlu perhatian lebih oleh setiap entitas yang bertanggung jawab. Kegagalan pemerintah Irak, Suriah, Inggris, Prancis dan lainnya dalam merangkul perempuan-perempuan tersebut telah memunculkan fenomena meluasnya perspektif peran perempuan dalam terorisme, bukan hanya sebagai bentuk aksi namun juga secara ideologis. Tidak menutup kemungkina bahwa peran ini terus meluas hingga tingkat kepemimpinan oleh perempuan setara dengan laki-laki dalam kelompok teroris yang terinspirasi dari ekstrimis radikal. (Penulis adalah Reasearcher of Center of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS) dari
Associate of Indonesia Research Centre for Terrorism and Security (REACTS))

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *