SLOGAN SANG CALON WALI KOTA

Posted on

Cerpenis: Benny Hakim Benardie

SIANG itu, seorang turis turun dari pesawat di Bandara Padang Kemiling, Selengek Kota. Ia terlihat celingak-celinguk sembari mengerek tas, di bawah terik matahari Negeri Selengek sesekali turis berwarna rambut nyaris mirip kuah lontong itu, menuntup mata saat melihat pantulan fatamorgana mirip air yang ada di landasan pesawat.

Is this Bencoolen Country? The fantastic country seems to be Mister Catair,” tanya seorang turis bertanya pada temannya, saat melangkah menuju ruang tunggu bandara.

True…. a country that once wet the blood of your forefathers and me, while giving birth to our grandparents. Thank god,” jawab teman di sebelahnya, dengan logat Inggris sepertinya kurang pas.

Dengan lagak dan gaya sepeti penduduk pribumi, dua turis itu langsung ke pelataran sembari teriak, “Taksi”.

Man Mckldi, seorang sopir taksi gelap yang dari awal memperhatikan dua turis itu bergegas menghampiri. “Iyes dan oke mister…. siap,” kata Man yang membuat kening dua turis itu berkerut.

“Bisakah kami antar kamu ke hotel dekat titik nol kota ini? Upss…. sorry salah. Kamu antar kami,” tanya seorang turis yang rupanya sedikit pandai berbahasa Melayu tinggi, meskipun sempat keliru pengunaan kata kamu dan kami.

Gagal Fokus
Man Mckldi sempat binggung, bukan karena sang turis salah menggunakan kata, tapi saat menyebutkan titik nol kota yang notabene tak pernah terucap dari mulut warga pribumi sendiri. Untunglah salah seorang rekan sopirnya berteriak memberi tahu. “Daerah Tapak Paderi maksudnyatu Man”.

Usai transaksi, cocok kesepakatan harga, perjalanan dimulai. Kedua turis itu meminta Man agar kendaraan melaju berlahan. Keduanya sempat membuka seperti peta. Teryata mereka merupakan turis dari Inggris dan Belanda. Tak jelas benar siapa nama mereka. Sesekali terdengar turis rambut warna seperti kuah lontong itu, Mister Catair memanggil turis berambut warna perak dengan sebutan Mister Vancrut.

Baru satu kilometer perjalanan, mereka tak terdengar membahas peta yang dikeluarkannya dari dalam tas Mister Catair. Ternyata konsentrasi gagal fokus saat beberapa kali melihat pajangan baliho kandidat wali kota Selengek.

Sesekali mereka ketawa, entah apa yang ada di dalam pikiran dua turis yang mengaku kalau nenek moyang mereka lahir di Negeri Selengek ini kurun waktu abad 17 dan 18 silam. Mereka merupakan mahasiswa strata tiga yang sudah 12 tahun menetap di Ibu Kota Jakarta, dan baru kali ini mereka berkesempatan melakukan riset tentang Negeri Selengek ini.

Setibanya di daerah Pagar Dewa, dua turis itu meminta diberhentikan di restoran. Man Mckldi sang sopir pun diajak makan siang. Ia duduk dalam satu meja sembari bercerita. Bukan main bangga dan riangnya hati Man, seakan dirinya bagian dari komunitas turis itu.
“Tuan sopir, apakah yang terpajang itu calon wali kota?” tanya Catair sembari menunggu makanan dihidangkan. Man hanya menganggukkan kepala. Sesekali ia menjawab “yes, no yes no”, saat ditanya.

Bahas Slogan
Makan siang pun usai, secangkir kopi panas tanpa gula ditawarkan pemilik restoran. Percakapan soal baliho rupanya berlanjut. Hanya saja kali ini mereka membahas menggunakan bahasa Melayu tinggi.

Man hanya menjadi pendengar yang baik saat berdialog. Satu persatu slogan kandidat dibahas dan dipertanyakan. Mulai dari kota maju makmur dan berbudaya, sayangi yang dibumi, yang dilangit akan menyangimu, hingga saatnya rakyat berdaulat.

“I just want to say, kalau kota ini tidak akan maju dan makmur, kalau Indonesia sendiri belum maju dan makmur. Soal berbudaya, bukankah kota ini sudah lama berbudaya? Sejak sistem residentie diterapkan tahun 1939, bahkan sejak nenek moyang kami berada di sini beberapa abad silam,” kata Mister Vancrut sembari melihat Man Mckdi yang dari tadi melongo saja.

“Right,” timpal Mister Catair. “Slogan sayang dan cintai yang dibumi, dilangit akan menyayangi dan mencintai, secara terminologi tidak tepat diterapkan dalam politik”.

Politik itu soal kepentingan, kata Mister Catair sesekali tampak menyeruput kopi panas tanpa gula. Dalam pemerintahan itu ceritanya, saat memimpin juga tak lepas dari kepentingan pribadi. Contoh kecil saat dilakukan mutasi dan rotasi itu juga bagian dari kepentingan tanpa hati nurani.

“Sebaiknya slogan APBD untuk rakyat misalnya, di mana setiap kelurahan dibagikan uang satu miliar. Akan membuka 50 ribu lapangan pekerjaan atau bila terpilih nanti tidak akan ada penggusuran”, lagi-lagi mata dua turis itu mengarah ke Man Mckldi yang tampak bertambah kikuk.

Mister Vancrut kembali tersenyum. “Tapi yang unik lagi ada dua baliho itu kalau saya amati. Itu yang menulis program RT mandiri. Kalau saya pelajari di Jakarta Raya, RT itukan bukan bagian pemerintahan terendah di sistem negara ini Mister Catair. Selanjutnya, masyarakat dikasih kartu peduli dan terakhir panggil dokter. Selanjutnya saya juga mau tanya sama tuan sopir, apakah selama ini Selengek Kota ini tidak berdaulat? Karena itu akan merebutnya kembali. Tentunya slogan itu incumbent tentunya”.

Man Mckldi masih tetap menggangguk-anggukan kepala meskipun dalam hatinya ia menggeleng.

Berang
Raut muka Man Mckldi memerah. Memang dari tadi ada getaran yang terjadi di meja makan. Mendadak Man berdiri, dan satu tinjuan keras menghantam meja makan dan jungkir balik, membuat kaget dua turis itu.

“You terlalu jauh dan menyinggung calon saya. Sekadar kamu tahu, calon saya siap membangun kepercayaan dengan kerja keras yang tinggi bila terpilih nanti. Setiap mereka yang melanggar janji, akan memberi retakan pada kepercayaan rakyat Negeri Selengek ini. Mereka akan menjadi jadi wali kota mulia saat menepati satu janji, bukan saat mengucapkan seribu janji. Rakyat di sini sadar, antara janji besar dan janji kecil tidak terlalu berbeda. Saat tidak ditepati kedua-duanya berpotensi menyebabkan suatu kerugian yang besar untuk wali kota terpilih. Itu sudah ada contoh,” suara Man Mckldi berapi-api dan menarik perhatian warga sekitar.

“Sabar pak,” bujuk salah seorang pegawai restoran, tapi bujukan itu tak digubris Man.

“Sebaiknya tuan Mister tahu, beberapa orang orang dimulikan, meskipun tidak memenuhi janjinya. Mereka adalah orang yang telah berusaha dengan semaksimal mungkin. Sebaliknya, berjanji satu atau dua hal adalah hal bagus. Tapi memenuhi hari dengan janji-janji yang sulit dipenuhi adalah bentuk bunuh diri. Hanya wali kota pembohong yang terlalu mudah untuk mengucapkan janji. Dan jika dia ternyata orang yang menepati janji, maka pasti ia akan dikelilingi oleh stres yang tinggi”.

Sabar pak, ngucap”, bujuk pegawai restoran kembali.

“Tidak ada sabar. Sabar la mati,” jawab Man.

“Kami memilih calon wali kota yang tidak menepati janji, bukan alasan saya untuk ikut menjadi orang yang melanggar janji. Ada saatnya kami akan protes keras,” kata Man dengan nafas yang tersengal-sengal menahan emosi. Diambilnya kunci kendaraannya dan berlalu meninggalkan dua turis itu.

Kedua turis tadi akhirnya diajak masuk dalam satu ruangan oleh pemilik restoran. Entah apa yang mereka bicarakan di ruangan kaca tertutup itu.

Rupanya dalam kekisruhan itu, ada empat anggota lembaga swadaya masyarakat yang sempat singgah akan membeli gulai terong. Salah seorang dari mereka berkali kali mengangguk-anggukan kepalanya, dan mencolek temannya.

“Friend…. kalau boleh aku celoteh ngecoba nyambung soal ribut orang tadi, kesimpulannya begini… jangan hanya belajar memenuhi janji. Tapi belajarlah juga cara untuk mengatakan ’tidak’ saat seseorang meminta Anda untuk berjanji. Jangan pernah menjanjikan hal-hal kecil yang tidak Anda seriusi kepada pemilih. Karena pemilih akan mengingatnya, dan saat kandidat wali kota tidak menepatinya, pemilih nantinya akan belajar untuk tidak menepati janjinya pula.”

”Lah benar pula tu sanak,” ujar teman LSM yang dicolek.

“Janji paling sulit untuk dipenuhi adalah menepati semua janji yang pernah diucapkan. Ingat… kita tak bisa memastikan sebuah janji akan terwujud. Kita hanya mampu berusaha mewujudkan janji tersebut.Menepati janji adalah suatu kebijaksanaan yang mutlak harus dilakukan, dan tidak mengucapkan janji adalah salahsatu bentuk kebijaksanaan lainnya,” katanya dibarengi tertawa terkekeh-kekeh dan menarik tangan rekannya untuk segera cabut dari restoran itu.

Baru mau melangkah pergi, terdengar teriakan seorang pegawai restoran. “Bang… bang…. maaf gulai tadi belum dibayar.”

Agak tersentak, salah seorang anggota LSM itu berbalik, minta maaf dan membayar gulai terong yang sudah dibawanya tadi.

“Maaf… lupa, tadi asyik membahas kejadian tadi itu,” kilahnya.

”Setiap kali kita melanggar janji, dibutuhkan puluhan kali penepatan janji untuk mengembalikan tingkat kepercayaan kepada kita, he he he,” goda sang pegawai restoran sok-sokan ikut nyambung pembicaraan sebelumnya.

“Husssshah,” tegur anggota LSM segera meninggalkan tempat itu. (Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *