PHARIANTERBIT.CO– Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menggelar Seminar Nasional Kedudukan Peradilan Etik Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman Dalam Rangka Menjaga Kehormatan dan Martabat Hakim Indonesia di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Rabu (21/3).
Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, kegiatan ini digelar dilatar belakangi adanya gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang pernah dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Hal itu juga pernah dilakukan anggota DPR RI yang tidak menerima putusan MKD yang bersifat final dan binding.
Di tingkat PN, kata Sufmi, gugatan terhadap putusan MKD itu telah diputuskan dengan putusan menolak gugatan yang telah punya kekuatan hukum bersifat tetap. Putusan penolakan itu didasarkan pertimbangan hukum bahwa putusan MKD merupakan putusan perkara etik yang tidak diatur dalam ranah hukum (Peradilan Umum-red).
Berdasarkan praktik itu, kedudukan putusan MKD dapat diposisikan sebagai sesuatu yang dapat dipersoalkan siapa pun dengan menempuh upaya hukum yang berlaku dengan mengajukan ke Peradilan Umum.
Dalam sistem Peradilan Indonesia sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman No: 48/2009 berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Artinya, kedudukan putusan MKD dalam sistem Kekuasaan Kehakiman yang demikian rentan menjadi objek gugatan. Berdasarkan praktik itu, kedudukan putusan MKD dapat diposisikan sebagai sesuatu yang dipersoalkan siapa pun dengan menempuh upaya hukum yang berlaku dengan mengajukan ke Peradilan Umum.
Menurut Ahli Hukum Tata Negara dan juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie tentang Peradilan Etik, kedudukan MKD sebagaimana juga kedudukan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat diposisikan sebagai Peradilan Etik di lingkungan Lembaga masing-masing.
Dalam Surat Edaran No: 3/2002 Tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas Nebis In Idem, dikenal Proses di Pengadilan yang berbeda lingkungan. Apabila kedudukan MKD dapat dipandang sebagai Peradilan Etik, maka dapat dikategorikan sebagai Pengadilan yang berbeda lingkungan sebagaimana dimaksud dalam surat edaran itu.
Dalam hal ini berdasarkan Asas Nebis in Idem itu, kedudukan putusan MKD dapat dikatakan sebagai putusan dari proses pengadilan yang berbeda lingkungan yang tidak dapat dijadikan objek gugatan untuk diputuskan lagi sebagai putusan perkara dalam Peradilan Umum.
Wakil Ketua MKD, Adies Kadir mengatakan, MKD sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 119 UU No: 17/2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR.
Untuk mencapai tujuan itu, MKD bertugas menegakkan Kode Etik DPR RI. Penegakkan Kode Etik DPR RI yang dilakukan oleh MKD dengan menggunakan pendekatan sistem pencegahan dan penindakan.
Sistem Pencegahan sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (3) Peraturan DPR RI No: 1/2015 Tentang Kode Etik dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi atau cara lain yang ditetapkan MKD.
Sedangkan, Sistem Penindakan sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR RI No: 1/2015 Tentang Kode Etik, upaya penindakan dilakukan MKD berdasarkan peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Beracara MKD.
Proses Penindakan dilakukan atas Pelanggaran Kode Etik DPR dimulai dari proses verifikasi, penyelidikan baik sebelum sidang maupun pada saat sidang, sampai dengan penetapan putusan terhadap Anggota DPR RI yang terbukti atau tidak terbukti melanggar.
Bakal hadir sebagai keynote speech Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo sekaligus membuka acara ini. Selain Bambang, juga bakal hadiri Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, Ketua Mahkamah Agung, M Hatta Ali, Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Suhadi, Ketua Kamar TUN MA, Supandi dan Dosen Unair, Basuki Rekso Wibowo. (ART)