HARIANTERBIT.CO– Sejumlah wakil rakyat di Komisi III DPR RI menyoroti kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tidak mengungkapkan perlindungan terhadap kasus-kasus viral di masyarakat.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir mempertanyakan bagaimana perlidungan terhadap korban saksi penyerangan tokoh agama, ulama, pendeta yang marak terjadi belakangan ini.
Wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jawa Timur I meliputi daerah pemilihan Kota Surabaya dan Sidoardjo tersebut juga mempertanyakan perlindungan terhadap anak korban pemerkosaan.
“Jangan hanya ngomong. Perannya terhadap kasus-kasus yang menjadi viral di masyarakat tidak kelihatan gaungnya,” ungkap laki-laki kelahiran Balikpapan 17 Oktober 1968 tersebut saat Rapat Dengar Pemdapat (RDP) dengan LPSK di ruang rapat Komisi III DPR RI Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/3).
Arteria Dahlan mengkritik LPSK yang merasa sudah bekerja luar biasa, padahal pihaknya melihat biasa saja. Malah menurut dia, LPSK mempunyai peran sangat penting. Bahkan LPSK menjadi ciri negara hukum modern. Namun, sayang belum terlihat manfaatnya.
Sedangkan soal peningkatan pelaporan ke LPSK, kata Arteria, baru 1.901 kasus. Padahal perkara yang ditangani institusi penegak hukum ratusan ribu. Katanya proaktif, tapi yang mana?
“Kenapa perkosaan ratusan orang di Kediri tak ada LPSK, kasus e-KTP Johannes Marliem yang berkomunikasi dua kali dengan LPSK, kini telah meninggal,” kata politisi muda ini.
Sementara itu Syarifuddin Suding (Hanura) menyoroti minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) di LPSK. Tahun lalu memberikan perlindungan kepada 3.378 orang. Namun, itu tidak dibarengi SDM dan infrastruktur, yang akhirnya kewalahan.
“Padahal saya berharap LPSK dengan keterbatasan mampu memberikan peran yang maksimal membangun koordinasi yang baik dengan institusi penegak hukum dalam pemberian perlindungan saksi dan korban.”
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan, implikasi layanan dalam perlindungan LPSK sudah dirasakan masyarakat. Terkait perlindungan fisik, adanya rumah aman dan pengamanan, LPSK sudah lakukan. Seperti kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kediri, LPSK juga sudah melakukan jemput bola.
Diakui, kegiatan-kegiatan itu sebagian tidak mendapatkan liputan dari media. Pada saat melakukan perlindungan, juga tidak diliput media. Ini dalam rangka menjaga kerahasiaan dari terlindung sehingga banyak aktivitas perlindungan saksi ini tidak dipublikasikan sehingga masyarakat tidak tahu.
LPSK juga menghadapi kendala SDM yang tidak sebanding dengan jumlah kasus yang harus yang harus mendapat perlindungan. Ada sekitar 3.000 kasus. SDM yang langsung di luar tenaga pendukung hanya 100 orang.
“Jumlahnya sangat tidak seimbang. LPSK juga kesulitan SDM dari lembaga lain, sehingga akan mengajukan tambahan PNS dalam tahun ini dalam usaha untuk mendukung kinerja LPSK agar lebih baik lagi,” demikian Abdul Haris Semendawai. (ART)