11 BAHASA DAERAH DI INDONESIA DI AMBANG KEPUNAHAN

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, ada 11 bahasa daerah di Indonesia dalam ambang kepunahan tersebut, mengingatkan kita kembali perihal khazanah bahasa daerah di Indonesia yang sangat bervariasi dan tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan Miangas hingga Rote.

“Di sisi lain, kita juga diingatkan untuk melestarikan keanekaragaman bahasa daerah, dan menjadikan sebagai sarana dalam proses
memajukan bangsa, khususnya mempromosikan pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu, kalau di Indonesia identik dengan bahasa daerah, pada awal jenjang sekolah,” kata Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Dadang Suhendar, dalam acara Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu “Kebinekaan Bahasa Daerah sebagai Potensi Pemajuan Bangsa”, di Aula Sasadu, Gedung Samudera, Kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (21/2).

Dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional yang dirayakan setiap tahun pada 21 Februari, UNESCO mengulangi komitmennya terhadap keragaman bahasa, dan mengingatkan kita untuk merayakan hari itu sebagai pengingat, bahwa keanekaragaman bahasa dan multilingualisme sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan. UNESCO juga menggunakan hari itu untuk berfokus pada keragaman bahasa dan multilingualisme sebagai bagian internal dari pembangunan berkelanjutan, khususnya mewujudkan empat tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk memantik kepedulian masyarakat terhadap bahasa ibu.

Dadang mengungkapkan, ada 652 bahasa daerah di Indonesia di mana bahasa di NTT, Maluku, dan Papua belum seluruhnya teridentifikasi. Dari 652 bahasa yang dipetakan, 11 bahasa sudah punah, empat bahasa kritis, 19 bahasa terancam punah, dua bahasa mengalami kemunduran, 16 bahasa dalam kondisi rentan. Bahasa yang sudah punah di antaranya yakni, bahasa Mawes, bahasa Tandus di Papua.

“Di Maluku dan Maluku Utara bahasa yang sudah tidak ada di antaranya, Nila, Serua, Hoti, Hukumina, Ternateno, Palumata, Piru, Moksela,
Kajeli. Bahasa dalam kondisi kritis di antaranya, bahasa Reta (NTT), Meher (Maluku Tenggara Barat), Ibo (Maluku), Saponi (Papua),” beber Dadang.

“Sedangkan indikator dari vitalitas bahasa dilihat dari penutur, kontak bahasa, bilingual, posisi dominan masyarakat penutur, ranah penggunaan bahasa, sikap bahasa, regulasi, pembelajaran, dokumentasi, dan pengaruh media,” pungkas Dadang. (*/dade/rel)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *