HARIANTERBIT.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera mengusut tuntas kasus penertiban Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau Reklamasi Teluk Jakarta.
Sebagai titik awal membongkar dugaan terjadinya persekongkolan dan permufakatan untuk memperkaya diri dan orang lain dengan menyalahgunakan jabatan dalam penerbitan HPL dan HGB, KPK harus mengawalinya dengan memeriksa Heru Budi Hartono dan Sofyan Djalil.
Heru adalah Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi DKI Jakarta yang mengajukan permohonan izin HPL, dan Sofyan Djalil adalah Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai pihak menerbitkan Sertifikat HPL.
Desakan itu disampaikan Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta) H Anhar Nasution terkait pengakuan Ketua KPK Agus Rahardjo, Agustus tahun lalu yang mengakui penerbitan surat izin HPL dan HGB itu terburu-buru dan kemungkinan besar terjadi pelanggaran dalam proses penerbitannya.
Agus Rahardjo mengungkapkan, kata Anhar, pihaknya sedang mempelajari penertiban HGB dan HPL pulau reklamasi itu. Namun, setelah sekian bulan, belum ada tindakan KPK atau rencana lembaga anti rusuah itu mengusut kasus penerbitan HPL dan HGB tersebut.
Pimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR RI 2004-2009 ini heran, kenapa HPL di areal 3.120.000 m2 (312 hektare) sesuai keputusan Menteri ATR/BPN No: 82/HPL/KEM-ATR/BPN/2017 dasar pembuatan dari surat persetujuan prinsip reklamasi surat Gubernur DKI Jakarta No: 1571/-1.711 tertanggal 19 Juli 2007 yang ditanda tangani Fauzi Bowo.
“Kasus ini sudah tidak mungkin untuk ditutupi karena sudah diketahui publik bahwa Sertifikat HPL itu diterbitkan dan ditandatangani oleh Sofyan Djalil sebagai menteri ATR/BPN RI,” papar Anhar.
Penerbitan HPL itu diduga tak memenuhi prinsip yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri No: 1/1977 jo Permen Agraria/Kepala BPN No: 9/1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, seperti diatur Pasal 67-75.
Pasal itu antara lain menyatakan, untuk penerbitan Sertifikat HPL mengharuskan dan mewajibkan adanya perda yang mengatur Rencana Tata Ruang yang diharuskan oleh undang-undang. Secara teknis, harus ada penerbitan SIPPT oleh Gubernur DKI Jakarta.
Jika unsur di atas tidak terpenuhi, dipastikan Sertifikat HPL yang diterbitkan Kementrian ATR/BPN RI yang ditandatangani Sofyan Djalil itu cacat hukum. Dengan kata lain HPL itu tidak sah, dan ini melanggar undang-undang.
Coba simak, izin prinsip dikeluarkan 19 Juli 2007 saat Gubernur Fauzi Bowo. Sedangkan permohonan HPL diajukan Kepala BPKAD Provinsi DKI Jakarta oleh Heru Budi Hartono atas nama Pemda DKI Jakarta, 22 Desember 2015, saat pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jadi, kata Anhar, permohonan HPL 2015 tetapi sebagian dokumennya era Fauzi Bowo. “Tampaknya buat Sofyan Djalil lebih utama kepentingan investor sehingga dengan dalih demi kepastian hukum dari pada keinginan rakyat yang tergambar dari surat Anies,” sesal Anhar.
Ternyata, kata Anhar, selama Kementrian ATR/BPN RI dipimpin Sofyan Djalil, yang bersangkutan juga telah menerbitkan SHPL 1.093.580M2 (109 ha) Pulau 1 dan pulau 2B berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta 21 September 2012 Nomor 1417/2012. Pemberian izin itu pelaksanaan reklamasi atas nama PT Kapuk Naga Indah.
“Jadi, wajar publik menolak reklamasi karena sarat persekongkolan dan permufakatan guna memperkaya diri dan orang lain dengan menggunakan jabatan. Yang pasti bahwa hal itu melanggar undang-undang.”
Selain soal HPL dan HGB, juga dicurigai penyimpangan terkait tenaga ahli Sofyan Djalil berinisial LCW. Pria itu berkantor di Kementrian Menko Perekonomian, mengambil gaji di Kementerian ATR/BPN RI sebesar Rp15 juta/bulan selama dua tahun.
LCW juga dikabarkan tidak pernah masuk kantor dan yang bersangkutan menetap di Singapura. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus diungkap tidak bisa didiamkan. Jika ini benar, maka jelas ini korupsi. KPK sebagai penegak hukum yang masih dipercaya rakyat jangan hanya berujar dan menjadi stempel penguasa. KPK harus mengusutnya,” demikian H Anhar Nasution. *