HARIANTERBIT.CO– Aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut tuntas kasus terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Jakarta Utara.
Soalnya, kata Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta), H Anhar Nasution, Senin (15/1), setelah membaca dan meneliti penerbitan sertifikat HGB dan HPL itu sarat dengan tindak pidana.
Dikatakan Anhar yang juga Pimpinan Panitia Kerja (Panja) Pertanahan Komisi II DPR RI 2004-2009 tersebut, patut diduga terjadi persekongkolan dan permufakatan jahat untuk memperkaya diri dan orang lain dengan menyalahgunakan jabatan dalam pembuatan sertifikat tersebut.
Anhar mengingatkan agar para aparat penegak hukum tidak larut dalam ‘sandiwara politik’ yang sengaja diciptakan guna menutupi kasus pidana nya, bahkan sampai menyeret-nyeret nama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jadi, ungkap Anhar mengingatkan, aparat penegak hukum jangan sampai tertipu dengan hiruk pikuk dan kegaduhan politik yang ditimbulkan oleh kasus yang sempat menimbulkan ketegangan dan kegaduhan politik di tingkat elite kekuasaan itu.
“Dalami kasus pidananya, ungkap siapa sebenarnya dalang dibalik kasus itu semua,” kata aktifis yang juga bergerak dalam bidang Anti narkoba itu.
Dikatakan, hiruk pikuk terbitnya sertifikat HGB diatas HPL pulau reklamasi menarik dikaji karena belakangan terkuak berita, ada pembicaraan antara Gubernur DKI, Anis Bawesdan dengan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI, Soyan Djalil sebelum Pemprov Jakarta mengajukan surat permohonan pembatalan HGB pulau reklamasi itu.
Diingatkan, aparat penegak hukum jangan sibuk atau asyik dengan soal terbitnya HGB saja yang seolah-olah hanya merupakan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara semata.
“Amat kecil kalau kita hanya melihat persoalan ini. Coba simak lebih jauh dan dalami terbitnya HPL tersebut yang menjadi titik awal dan biang kerok terjadinya kasus menghebohkan dunia perpolitikan di tanah air.”
Perlu diketahui, penerbitan HPL 3.120.000 m2 atau 312 hektar tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No: 82/HPL/KEM-ATR/BPN/2017 berdasarkan Surat Persetujuan prinsip reklamasi sebagaimana Surat Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No: 1571/-1.711 tertanggal 19 Juli 2007.
Itu artinya SHPL ini diterbitkan dan di tanda tangani Sofyan Djalil Sebagai Mentri ATR/BPN RI yang diangkat bedasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/P Tahun 2016 tentang Penggantian Beberapa Menteri Negara Kabinet Kerja Periode 2014-2019 tertanggal 27 Juli 2016.
Yang menjadi pertanyaan, apakah penerbitan HPL memenuhi Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Jo PERMEN Agraria/kbpn No: 9/1999 tentang tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. khususnya pada Pasal 67 s/d pasal 75 antara lain yang mengharuskan adanya PERDA yang mengatur RUTR selanjutnya penerbitan SIPPT oleh Gubernur DKI.
Jika tiga unsur ini tidak terpenuhi, dapat dipastikan SHPL yang diterbitkan Kementrian ATR/BPN RI dan ditanda tangani Sofyan Djalil itu cacat hukum. Dengan kata lain SHPL tersebut tidak sah. Sebagai informasi Surat Izin Prinsip Reklamasi tersebut dikeluarkan 19 Juli 2007. Itu artinya Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo.
Surat Permohonan Hak Pengelolaan diajukan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta, Heru Budi Hartono atas nama Pemda DKI Jakarta yang saat itu gubernurnya dijabat Basuki Tjahaja Purnama. Permohonan itu diajukan 22 Desember 2015.
Tidak hanya itu, Kementrian ATR/BPN RI selama dipimpin Sofyan Djalil juga menerbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan 1.093.580M2 (109 hektar) untuk Pulau 1 dan Pulau 2B berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta no: 1417/2012 tertanggal 21 September 2012 Tentang Pemberian izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 1 dan Pulau 2B Kepada PT Kapuk Naga Indah.
Sebagai catatan untuk melahirkan PERDA utk penerbitan SHPL telah jatuh Korban Mantan Anggota DPRD DKI dan Pihak Pengembang dan telah divonis Penjara Itu Artinya PERDA tidak kunjung Terbit.
“Dari uraian diatas patut dipertanyakan Keberadaan dan keabsahan kedua Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan Kementrian ATR/BPN RI dan ditandatangani Sofyan Djalil,” demikian Anhar Nasution.