HARIANTERBIT.CO– Ketua Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) DPR RI, Nurdin Tampubolon mengatakan, belum tuntasnya pembahasan revisi UU Penyiaran No:32/2002 menjadi kendala menimplementasikan industri penyiaran.
Soalnya, ungkap anggota Komisi I DPR RI itu, sampai saat ini belum ada kepastian hukum untuk mengimplementasikan tentang penyiaran khususnya terkait ASO ke TV digital.
“Belum selesainya revisi UU Penyiaran mengakibatkan terjadinya krisis penyiaran,” kata Nurdin dalam diskusi ‘Apa Kabar RUU Penyiaran?” yang digelar Ruang Pertemuan Fraksi Hanura DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (14/9).
Sebab itu, kata Nurdin, DPR tentu harus menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak menjadi tidak tercapai tanpa diundangkannya Revisi UU No:32/2002 tersebut.
Dalam mewujudkan rasa keadilan, Fraksi Hanura DPR mendorong agar revisi RUU Penyiaran segera diundangkan. “Dengan mengembalikan pengaturan frekuensi kepada negara dengan memilih model multiplekser tunggal atau singgle max.”
Direktur teknik LPP TVRI, Syafrullah mengatakan, jika teknologi analog usianya sudah tua, cenderung absolete sehingga tidak mendukung operasional yang handal, murah dan mobile.
TVRI mengalami kesulitan konversi penyiaran digital dalam format multiflatform. “Keterbatasan dana merevitalisasi teknologi TVRI nyaris tak mendukung apapun kecuali hanya untuk survive,” kata dia.
Sementara itu jangkauan layanan ke daerah perbatasan, PLN jalan sendiri. Namun, TVRI sudah siap menuju digital 2018 dengan dibantu oleh Kominfo RI di 116 lokasi. “116 lokasi ini setengah dari yang ditargetkan di 376 lokasi.”
Dengan begitu, TVRI membutuhkan 250 pemancar. Stackholder TVRI adalah masyarakat dan semua akan didorong ke digital ASO 2020. “Maka TVRI akan kembali berperan sebagai rumah bangsa,” demikian Syafrullah. (ART)