HARIANTERBIT.CO – Seniman tak semua mampu keluar dari nerakanya. Ia akan terus saja berkutat dalam karya dan pencariannya. Tak juga semua kebagian berkat menjadi sejahtera terkenal semasa hidupnya. Adakalanya seumur hidup karya-karyanya tanpa apresiasi. Untuk hidup bagi dirinya dan menghidupi keluarganya tak jarang harus beralih profesi.
Hidup berkesenian dalam masyarakat yang masih berat dalam masalah perut dan nalar memang tidak memberikan jaminan. Para aparatur penyelenggara negaranya pun sibuk dengan urusan berbagai rapat dan hal-hal seremonial. Tak jarang malah untuk urusan penanganan atas hujatan-hujatan dan serangan-serangan kaum-kaum sumbu pendek, lemah pikir dan bisa dibayar atau dibeli dengan recehan-recehan. Kaum-kaum ini tak jarang malah juga ngrusuhi hidupnya suatu seni budaya dengan label merakalah-itulah, dilaramg inilah-itulah.
Pembenaran-pembenaran yang tergolong pameran ketololan pun dengan bangga ditonjol-tonjolkan. Berat hidup dalam kungkungan para mafia. Uang sangat berkuasa nilai-nilai hakiki kemanusiaan diabaikan bahkan bida saja yang berseberangan di enyahkan.
Atas nama seni budaya bisa saja dianggap keluar norma. Bagaimana kreatif dan inovatif bila harus ndekem angkrem dalam tempurung-tempurung ketololan dan labirin-labirin yang menjijikan dan memuakkan. Bagi seniman memang terkesan nyentrik bahkan ugal-ugalan. Seni akan tumbuh dalam nuansa merdeka dan bebas. Merdeka dan bebas dari rasa takut ini-itu sampai dengan takut akan kutukan dan dosa.
Tatkala tertekan diancam ditakut-takuti mungkinkah akan berkarya dengan penuh kreativitas tentu tidak. Itu semua bagai telur rajawali dierami induk ayam kampung. Ia menetas dan akan hidup mengais-ngais di tanah sampai mati tanpa pernah sadar atau terbang sebagai rajawali.
Seniman tugasnya berkarya dan menghasilkan mahakarya. Para kurator, para kolektor, para pemilik galeri, pemerintah bertugas untuk mengemas dan memarketingkan. Kemasan-kemasan ini akan memberi makna mendalam bagi suatu seni untuk mendapat apresiasi tidak hanya setelah kematiannya. Namun juga pada saat ia masih hidup di dunia.
Seniman-seniman kampung tradisional dan yang pemula atau belum terkenal akan minder atau bahkan sering dijatuhkan oleh kaum-kaum yang semestinya menyadarkannya sebagai rajawali. Para seniornya pun seringkali menyudutkan dan jumawa dengan keberhasilannya sehingga jarang sekali yang mampu menjadi mentor bagi sesamanya.
Andy Wahrol seniman kaliber dunia mau melirik dan bekerja sama bahkan mengapresiasi Basquiat sang seniman jalanan anak muda kulit hitam pula. Di sinilah tantangan para kaum berkuasa dan berjaya untuk meyakinkan dan menemukan seniman-senimannya untuk menjadi rajawali yang terbang mengangkasa. Mungkin Anda akan dilupakannya, namun itulah kodrat dan jasamu bagi seniman-seniman untuk terus ada hidup tumbuh dan berkembang.
Jangan sekali-kali mgapusi atau memperdaya mereka dengan pengetahuan dan kekuasaanmu, apalagi menyudutkanya. Siapa lagi yang akan mau menjadi seniman kalau terus saja hanya diapusi dan dibuat kalah-kalahan ia bagai rajawali yang tanpa daya, tanpa sadar akan hidup dan mati jadi ayam kampung saja. (*)