HARIANTERBIT.CO – Jika dibandingkan tahun 2016, di 2017 sebagian wilayah Indonesia lebih kering dan lebih basah dibandingkan tahun 2015. Sesuai dengan rilis yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Maret 2017, sebanyak 85 persen wilayah Zona Musim Indonesia telah memasuki musim kemarau pada awal September 2017.
Sementara berdasarkan pantauan Hari Tanpa Hujan bahwa beberapa tempat di Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengalami Hari Tanpa Hujan berturut-turut selama lebih dari 60 hari. Bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur, NTB, NTT mengalami Hari Tanpa Hujan lebih dari 100 hari. Hal ini dijelaskan Deputi Bidang Klimatologi Drs R Mulyono Rahadi Prabowo MSc di depan media massa saat jumpa pers Awal Musim Hujan 2017/2018, di Kantor BMKG Pusat, Kemayoran Jakarta, Kamis (7/9).
“Pada bulan ini, sebagian besar Pulau Jawa bisa dikatakan sedang mengalami puncak musim kemarau, dan akan masuk awal musim hujan pada Oktober-November 2017. Saat ini sekitar 86 persen wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau, sedangkan 14 persen masih banyak terjadi hujan,” terang Mulyono.
“Beberapa wilayah seperti Sumatera bagian selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan bagian selatan, Jawa bagian tengah, Jawa Tengah, Jawa bagian timur, Jawa Timur, dan Papua memasuki awal musim hujan Oktober-November 2017. Sementara itu, untuk wilayah Maluku bagian tengah mengalami curah hujan rendah pada Oktober-November,” sambungnya.
Berdasarkan pantauan, untuk tiga dasarian bulan September untuk wilayah Sumatera bagian utara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua memilki curah hujan 50-100 mm/hari, kondisi ini kebalikan dengan Pulau Jawa yang memiliki curah hujan 40-45 mm per 10 hari.
Mulyono menjelaskan, untuk wilayah Jabodetabek awal musim hujan dimulai pada Oktober, yang dimulai dari Jabodetabek bagian selatan, tengah, dan Jabodetabek bagian utara.
Sementara untuk kondisi ENSO (El-Nino Southern Oscillation) netral dengan indeks ENSO = -0.2, tidak El-nino maupun tidak La-Nina sehingga tidak memmpengaruhi penambahan dan pengurangan uap air.
Untuk Suhu Muka Laut di wilayah Pasifik Timur sendiri dingin, kondisi menandakan adanya anomali negatif sehingga mengakibatkan wilayah Indonesia mendapatkan tambahan suplai uap air untuk pembentukan dan pertumbuhan awan hujan.

Mengenai wilayah Indonesia masuk awal musim hujan dan mengalami puncak musim hujan, Mulyono menuturkan, awal musim hujan 2017/2018 di sebagian besar daerah diprakirakan mulai akhir Oktober-November 2017 sebanyak 260 ZOM (76 persen), dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017-Februari 2018.
Sementara Deputi Bidang Meteorologi Dr Yunus Subagyo Swarinoto MSi menekankan, masyarakat perlu mewaspadai daerah-daerah yang rentan bencana, terutama saat masa transisi seperti, angin kencang, puting-beliung, dan gelombang tinggi. Untuk wilayah Pulau Jawa, masa transisi terjadi pada September 2017.
Pada puncak musim hujan, masyarakat perlu mewaspadai banjir, tanah longsor, genangan, angin kencang, gelombang tinggi, pohon tumbang, mengingat peluang curah hujan ekstrem meningkat pada puncak musim hujan.
Seminggu ke depan, potensi hujan lebat terjadi di Aceh, Riau, Sumbar, Bengkulu, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kaltara, Sulteng, Sulut, Malut dan Papua. Sementara tinggi gelombang 2,5-4 meter (rough sea) berpeluang terjadi pada periode 7-12 September 2017 di perairan barat Kepulauan Simeulue-Kepulauan Mentawai, perairan barat Enggano, Samudera Hindia barat Sumatera hingga selatan Jawa.
Masyarakat perlu mewaspadai implikasi dan dampak awal musim hujan 2017/2018 terhadap berbagai sektor antara lain, meningkatnya potensi luas tanam sawah, meningkatkan frekuensi tanam, ketersediaan air untuk pertanian dan waduk. Sedangkan beberapa dampak negatifnya antara lain, peningkatan potensi banjir, longsor dan tingginya gelombang mengganggu kegiatan nelayan. (*/dade/rel)