HARIANTERBIT.CO – Konsolidasi politik yang dilakukan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dengan mendatangi Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, akan mewarnai gonjang ganjing politik nasional ke depan menyongsong persiapan pemilihan umum serentak ( presiden dan legislatif ) tahun 2019. Pernyataan politik yang dilontarkan kedua tokoh ini, tak urung memancing Presiden Joko Widodo berkomentar. ‘’Kenapa dulu tidak ramai,’’ ujar Presiden yang akrab dipanggil Jokowi itu, Jumat (28/7).
Jokowi, Prabowo dan SBY, merupakan tiga dari empat tokoh sentral politik nasional yang paling berpengaruh saat ini. Interaksi ketiga tokoh ini akan sangat mempengaruhi dinamika politik ke depan, sementara tokoh sentral lainnya, Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP sudah lebih dulu unjuk gigi di parlemen melalui partainya, yang berhasil ‘’memaksakan’’ ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold) untuk tahun 2019 adalah 20 persen kursi DPR.
Prabowo Subiakto menilai, ambang batas itu sebagai lelucon politik yang menipu rakyat. ‘’ Saya tak mau terlibat,” kata Prabowo di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7).
Usai pertemuan di Cikeas yang diwarnai dengan ‘’diplomasi nasi goreng’’ itu, kedua tokoh juga mengeluarkan statemen lain yang cukup pedas. Misal SBY, kendati dengan bahasa normatif, namun cukup pedas, sepedas nasi goreng yang disuguhkan ke Prabowo. “Gunakan kekuasaan dengan amanah, proper, sesuai kontitusi, Undang-Undang, etika. Tidak melampaui batas dan tidak keliru menggunakan kekuasaan,’’ katanya mengingatkan pemerintah.
Lalu, bagaimana reaksi Jokowi? Santai. Dia menunjuk pada pelaksanaan dua kali Pemilu sebelumnya, 2009 dan 2014, yang juga menggunakan presidential threshold 20 persen. Kalau menggunakan bahasa pasaran, seolah Jokowi mempertanyakan, dulu kemana aja ?! ‘’Kenapa dulu tidak ramai?” kata Jokowi saat berada di Deltamas Cikarang , Bekasi, Jawa Barat.
Ambang batas 20 persen itu dipahami Jokowi sebagai wujud dari maksud baik, yakni maksud penyederhanaan kontestasi Pemilu. Dia mempersilakan publik membayangkan, bila ambang batas pencapresan menjadi nol persen. Lalu capres yang diajukan menang. Dikhawatirkan, realitas dukungan di parlemen terhadap presiden terpilih bakal sangat lemah.
Argumen Jokowi tentu saja sejalan dengan argumen PDIP yang berkoalisi dengan antara lain Partai Nasdem, Hanura, PPP, Golkar di parlemen. Ketok palu (pengesahan) RUU Pemilu menjadi undang undang di DPR diwarnai walk out-nya Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN.
Kemarin, Jokowi sendiri mengimbau publik memahami situasi politik ini. Lagipula hasil itu adalah produk DPR juga, bukan semata-mata produk pihak pemerintah eksekutif. Kalau masih ada yang t ak setuju, silakan ke MK. “Dulu ingat, dulu meminta dan mengikuti, kok sekarang jadi berbeda,” ujar Jokowi.
Terkait pernyataan SBY soal penyalahgunaan kekuasaan, Jokowi menegaskan, bahwa tidak ada yang namanya kekuasaan absolut atau kekuasaan mutlak. Ia menambahkan bahwa ada pers, media, LSM, dan DPR yang mengawasi. Pengawasannya, bisa berasal dari mana-mana bahkan rakyat juga bisa mengawasi langsung.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Sebelumnya, saat memberi keterangan bersama dengan Prabowo di Cikeas, SBY yang merupakan presiden keenam RI ini menyinggung tentang penyalahgunaan kekuasan. SBY mengatakan, banyak pelajaran di dunia termasuk di Indonesia tentang hal tersebut. Manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya, rakyat akan memberi koreksinya.
Sebagai bentuk kesetiaan kepada negara, pemerintah, pemimpin, pihaknya akan terus mengingatkan, gunakan kekuasaan dengan amanah, sesuai kontitusi dan etika.
Sedang Prabowo menekankan, sikap Demokrat, Gerindra, PKS, PAN, yang tak ikut bertanggungjawab karena tak mau ditertawakan oleh sejarah. ‘’Silakan mau berkuasa 5 tahun 10 tahun 20 tahun 50 tahun, di ujungnya sejarah yg akan menilai. Dan saya kataka, Gerindra tak mau ikut ke sesuatu yang melawan akal sehat dan logika.’’(lya)