
SENI merupakan refleksi kecerdasan sang seniman dalam berkarya, karena seniman yang membuat suatu keabadian. Menjadi seniman bukanlah sebatas melakukan mimesis mencontoh alam atau lingkungan atau hewan, melainkan mencatat suatu peristiwa dan menyampaikan pesan bagi hidup dan kehidupan.
Seni bisa saja menjadi catatan sejarah yang diungkapkan melalui karya-karya yang bisa dilihat, didengar dan dirasakan getaran jiwanya. Kekuatan ini akan dapat dirasakan sebagai jembatan hati antara manusia dengan lingkungan untuk menorehkan bahwa suatu peradaban ada. Berkarya bukanlah sebatas melakukan kewajiban atau keterpaksaan melainkan ungkapan jiwa.
Beberapa tokoh seniman yang mampu menorehkan catatan keabadian dalam seni rupa. Seniman yang karyanya mendunia dan abadi memang diperlukan kecerdasan untuk berkarya. Karyanya merupakan refleksi jiwanya dalam menangkap dan mengungkapkan fakta dalam warna garis gambar menjadi suatu makna yang bisa saja tetap tersembunyi.
Beberapa tokoh seniman lukis yang karyanya bisa mendunia dan terus saja menjadi pembahasan sepanjang masa antara lain; Jacson Pollock, Andy Wahrok, Henry Matise, Van Gogh, Paul Gauguin, Paul Cezane, Fransisco de Goya, Picasso, Salvador Daly, Leonardo da Vinci, Rembrand, Edward Munch, Otto Dix, Affandy, Hendra Gunawan, Le Man Fong, S Soedjojono, Nyoman Masriadi, Arifin Neif, V Sudiro, Ivan Sagjta, Dede Eri Supria, Sutjipto Adi, Sujonk Kerton, Sunaryo, Putu Suta Wijaya, Yuswantoro Adi, Fx Harsono, Agus Suwage, Heri Dono, Nasirun, Entang Wiharso, Ugo Untoro, Mangu Putra, Ay Chuy Christine, Galam Zulkifki, Jumaldi Alvi, Eko Nugroho, dan banyak lagi.
Karya-karya mereka selalu menjadi fenomenal dan dinanti masyarakat untuk dapat menikmati suatu karya yang dapat mengungkap suatu peradaban.
Menjadi seniman tak jarang harus berani berkorban atau hidupnya tidak seabadi karyanya. Misalnya Frida Kahlo, Diego Rivera, Butero, Declaroix, Paul Pieter Rubens, Abrech Durrer, Michel Angelo, Sandro Boticely, Paussin, Vermer, pelukis-pelukis tadi banyak menorehkan karya yang menunjukkan karakternya, pesan moral maupun kritikan-kritikan sosialnya menunjukkan adalah refleksi kecerdasannya.

Seni wadah dan kantong kebhinekaan?
Tatkala melihat lukisan-lukisan purba pada dinding-dinding gua, dalam hati dan jiwa kita menerawang ke masa lalu betapa manusia ini memang berakal budi. Keinginan mengungkapkan rasa dan kata hati melalui apa saja yang bisa dikerjakannya. Bahasa, huruf, nada, suara, tanda, gambar semua merupakan simbol-simbol atas hidup dan kehidupan.
Di era digital semua lebih mudah didapat penyedia jasa apa saja mudah mengaksesnya. Di masa lalu semua serma manual dan dikerjakan manusia dengan bantuan peralatan-peralatan sederhana yang mereka buat dari apa yang ada di sekitarnya. Di sinilah menunjukkan manusia ini akan terus berbuat berkarya mengisi hidup dan kehidupanya.
Kita juga bisa melihat seni-seni suku-suku bangsa yang artistik dan sarat dengan filosofis hidup dan kehidupan mereka. Mereka gunakan untuk memuja kepada siapa saja dari yang terlihat sampai yang gaib. Apa yg mereka lakukan bukan semata mata tiruan alam melainkan juga sebagai hasil dari cipta karsa menjadi karya.
Seni memiliki pemahaman yang unik dan kompleks, sering kali kasta-kasta dalam seni di era modern ditandai denhgan materi. Yang tidak laku, yang tidak dibahas, yang tidak disentuh media, yang diabaikan galeri, yang dibelakangi kurator dianggap buruk. Sebagai contoh karya Vincent van Gogh, semasa hidupnya hanya satu buah lukisan yang laku, yang berjudul ‘Kebun Anggur’. Dirinya mengalami tekanan jiwa depresi hingga stres berulang kali harus masuk rumah sakit jiwa. Ia memotong telinganya hingga menembak perutnya sendiri yg berakibat bagi kematiannya. Setelah kematiannya, karyanya dipuja-puji, dihormati bahkan terjual dengan harga ratusan miliar.
Para penguasa, kurator, pemilik modal dan kaum-kaum akademisi seni seringkali lupa, memandang seni dari pasar. Tak sedikit seniman beralih kerja karena berkesenian bukanlah jalan hidup yang menjanjikan atau memberi harapan hidup layak. Orang tua pun akan mati-matian melarang anaknya menjadi seniman, karena masa depan buruk akan terlintas. Berapa gelintir saja seniman yang beruntung dalam hidupnya. Di Bali misalnya, para seniman beralih menjadi tukang batu atau buruh-buruh kasar lainya karena karyanya tidak lagi mampu memberi kehidupan baginya. Belum lagi yang harus menjadi penipu, penjahat bahkan bersekongkol dengan para penjahat untuk memalsu karya.
Seni seringkali hanya dianggap pelengkap atau bahkan pekerjaan sampingan yang tidak memerlukan kecerdasan. Berapa banyak seniman dan para pekerja seni yang ingin kembali berkarya namun tiada tempat lagi. Kasta dalam seni pun merajai secara otoriter, yang laku akan terus berbahagia, yang tidak laku akan merana. Galeri, kurator dan kolektor seakan menjadi pilar yang melihat sisi untung rugi dalm bisnis. Manusia-manusia seni dan karya-karya yang lain terserak tidak lagi menjadi perhatian.
Lupa seni ini suatu tanda manusia yang memanusiakan. Seni ini jembatan hati untuk merajut dalam rangkaian kebhinekaan. Perekat kebangsaan dan kemanusiaan yang mampu untuk hidup dan memberi hidup pun bisa dilakukan melalui seni. Political will penguasa bila memandang sebelah mata akan seni maka cepat atau lambat, seni dan senimanya akan sekarat satu persatu. Ketika seni terabaikan, maka cepat atau lambat koyaklah kebhinekaan.
Seni bagai kantong air perekat kebhinekaan tatkala seni terabaikan dan terus tergerus maka kantong itu akan koyak. Tatkala berlubang di sana-sini tak akan lagi menampung kesatuan dan persatuan. Mungkin juga memberi peluang bagi yang berkeinginan memutihkan semua, menyeragamkan. Ini sama saja mencetak otak dan hati manusia dalam kotak-kotak labirin yang terbelenggu tanpa mampu lagi menikmati apalagi mengapresiasi seni dalam keberagaman. (*)