KASUS PESANAN MARMER RP1,4 MILIAR DIDUGA FIKTIF

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Kasus pidana yang menjerat Jiang Huaqiang alias Akiong (WNI) di PN Jakarta Utara dengan pelapor Rudi Salim atas dugaan perbuatan terdakwa yang tidak mengirimkan marmer pesanan Rudi Salim senilai Rp1,4 miliar saat ini masih dalam proses persidangan.

Akiong mengatakan, kasus pidana ini adalah fiktif dan mengada-ada, dan tidak ada bukti sah bahwa Rudi Salim memesan marmer. “Barang bukti pertama berupa slip setoran bank yang ditulis sendiri beritanya oleh Romdoni (kurir) ‘pembelian barang’ karena diperintahkan teller bank untuk diisi kalau transfer di atas seratus juta, padahal Romdoni tidak tahu apa-apanya, ditulis secara biasa,” terang Akiong, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (20/7).

Jiang Huaqiang alias Akiong

Sementara itu, barang bukti kedua berupa voucher bukti pengeluaran kas PT Qualimas Indonesia di mana Rudi Salim menandatangani vouchernya sebagai direktur. Padahal Rudi Salim bukan direktur atau komisaris di perusahaan tersebut, sehingga tidak kompeten untuk memesan barang.

Akiong menjelaskan, dalam surat dakwaan mengatasnamakan PT Qualimas Indonesia, sedangkan dalam keterangan saksi Rudi Salim di persidangan mengatakan, memesan barang atas nama pribadi Rudi Salim. “Mana yang benar? Ini tidak konsisten,” ujarnya.

Selain itu dalam surat dakwaan dikirim ke rumah di Sunter, sedangkan di persidangan saksi pelapor Rudi Salim mengatakan marmer dikirim ke rumah di Bandung. Di dalam surat dakwaan memesan marmer warna ‘merah putih’ 700 kubik yang sangat tidak jelas, tidak konsisten dengan di persidangan saksi pelapor yaitu pesan marmer warna ‘putih’ saja.

Akiong menerangkan, di dalam surat dakwaan, memesan marmer ukuran besar. Kalau ukuran hanya tulis besar itu tidak jelas, dari data ini pemesanan barang mengada-ada dan tidak cermat.

“Sedangkan pesanan 700 kubik marmer yang dikirim ke rumah di Sunter Jakarta di dalam bisnis bahan bangunan adalah tidak masuk diakal, karena 700 kubik dengan tebal marmer normal dua centimeter adalah 3,5 hektare atau setara 10 kali lapangan bola, dan harus diangkut oleh seratusan kontainer (per kubik tiga ton, satu kontainer 20 ton-red) yang memerlukan waktu empat bulan untuk menurunkannya,” ungkap AKiong.

“Dilihat dari harga satuannya pun marmer ini hanya Rp40.000 per meter persegi yang harga normalnya minimal Rp300.000 per meter persegi, sangat jelas mengada-ada tidak masuk diakal,” sambungnya.

Hal yang janggal, katanya Akiong, jika benar Rudi Salim memesan marmer, mengapa tidak langsung transfer.

“Kalau 10 tahun lalu di tahun 2007, Rudi Salim ada sekali beli, juga ada PO dan invoice, juga langsung transfer, tidak mungkin secara lisan, karena bisnis Irene Handayani tidak ada hubungan dengan bisnis marmer,” kata Akiong menjelaskan.

Lebih lanjut dikatakan, Goeij Siauw Hung transfer tiga kali, pada 17 Februari 2015 sebesar Rp700 juta, 10 Maret 2015 seniai Rp500 juta, dan 12 Mei 2015 sebesar Rp200 juta, sedangkan Irene Handayani transfer pada 9 Februari 2015 sebsar Rp6,2 milyar, 20 Maret 2015 sebesar Rp400 juta, 15 April 2015 senilai Rp100 juta, 4 Mei 2015 sebsar Rp250 juta, dan 21 Mei 2015 sebesar Rp5 milyar.

“Dari data ini apakah masuk diakal pesan marmer. Kedua belah pihak saling transfer, dan pihak Irene Handayani lebih besar transfernya, ada keanehan pada sidang Kamis kemari (13 Juli-red), itu sudah jelas pinjam-meminjam uang, dan ada bukti transfer ke Goeij Siauw Hung, hingga tahun 2015. Kedua belah pihak masih saling transfer, meski ada di rekening Goeij Siauw Hung muncul nama Irene Handayani, namun tidak diakui oleh Goeij Siauw Hung,” beber Akiong.

Padahal ini adalah murni kasus perdata yang saat ini sudah diakui Goeij Siauw Hung di PN Jakarta Utara, (Irene Handayani sebagai penggugat dan Goeij Siauw Hung sebagai tergugat). Akiong juga mempertanyakan, jika benar pesanan marmer senilai Rp1,4 miliar, apakah cukup hanya lisan tanpa pergi ke toko untuk persetujuan.

“Contohnya pesan marmer senilai Rp1,4 miliar memerlukan administrasi bisnis yang baik khususnya bagi pembeli. Saat ini Rudi Salim mempunyai utang sekitar Rp75 miliar ke keluarga saya, dan motifnya dalam mempidanakan, dan membuat saya susah adalah Rudi Salim menghindari bayar utang,” kata Akiong. (*/dade/rel)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *