HARIANTERBIT.CO – Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/5/2017) menegaskan,Panitia Kerja Revisi Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme) yang sepakat memasukkan kewenangan TNI dalam salah satu pasal di RUU tersebut sebagai langkah mundur.
“Kebijakan yang selama ini sudah baik jangan dirusak dengan wacana yang tak masuk akal berlawanan dengan cita-cita reformasi,” tandas Bamsoet dalam keterangan tertulisnya. Menurut Ketua Komisi III DPR, hal itu justru bisa merusak kebijakan Presiden Jokowi dalam melawan terorisme.
Dia menjelaskan kebijakan Jokowi soal antiterorisme telah diapresiasi dunia. Terbukti saat Konferensi tingkat tinggi AS-ASEAN pada 15-16 Februari 2016 di Sunnyland, California, Amerika Serikat (AS).

KONTRATERORISME
Presiden AS Barack Obama secara khusus meminta Presiden Jokowi memimpin sesi pembahasan mengenai kontraterorisme. Alasannya, Kebijakan kontraterorisme pemerintah Indonesia dengan pendekatan ‘soft power’ dinilai mengagumkan. Pada KTT itu, selain memberikan kiat-kiat memberantas terorisme, Jokowi juga menawarkan beberapa ide baru.
Pelibatan TNI seharusnya bersifat insidentil saja, disesuaikan kebutuhan, dan harus berdasarkan perintah Presiden selaku panglima tertinggi. Agenda reformasi adalah mewujudkan keamanan dan ketertiban umum yang berpijak pada hukum sipil, bukan militer.
“Mendorong-dorong TNI ikut memberantas dan menindak terorisme dalam RUU Anti Terorisme adalah cara berpikir mundur dan kontraproduktif dengan agenda reformasi,” kata Bamsoet.
Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah hal yang mustahil. Soalnya, TNI tak punya kewenangan dalam hukum sipil. Dalam hukum sipil semua berdasarkan Kitap Undang-undnag Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pelaksana KUHAP adalah polisi. Maka TNI menurutnya cukup berfungsi sebagai perbantuan saja alias BKO (Bawah Kendali Operasi). “BKO seperti itu kan yang sudah berjalan saat berdasarkan permintaan Polri,” kata dia.
MARATHON
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Terorisme Muhammad Syafii, mengakui bahwa ada beberapa kendala teknis sehingga undang-undang ini belum terselesaikan. Meski pembahasan terus dilakukan secara marathon.
Kendala dimaksud, jelas Syafii, bahwa pembahasan Panja itu hanya memiliki hari Rabu dan Kamis. Di luar dua hari itu tak ada hari Panja. Muhammad Syafii menyebut pembahasan revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya terkendala teknis, tidak ada perdebatan kontroversial. Salah satunya tentang kewenangan melibatkan TNI di RUU terorisme ini.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyayangkan hingga kini DPR masih berdebat soal istilah terorisme. Padahal para pelaku teror sudah menjalankan aksinya. “Kan sudah jelas tujuan mereka mengacaukan dan tindakannya sangat kejam,” tandas Wiranto.
Panitia Kerja Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme DPR RI tak kunjung menyelesaikan tugasnya. Salah satu musababnya adalah mereka masih memperdebatkan definisi terorisme.