Oleh: Letkol Inf Drs Solih
HARIANTERBIT.CO – Akhir-akhir ini sejumlah media massa, baik media televisi, media cetak maupun media online sangat disibukkan dengan pemberitaan politik terutama soal Pilkada DKI. Pemberitaan ini menjadi semacam bola liar yang sulit dikendalikan dan cenderung provokatif serta mengesampingkan etika dalam pemberitaan.
Kita lihat pemberitaan bohong didominasi di berita sosial/internet, karena Internet adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang tidak mengenal strata, dari anak-anak hingga orang dewasa pada umumnya memiliki HP dan sudah menjadi suatu kebutuhan, sekaligus menggunakan internet.
Internet mudah didapat dimana-mana, baik sebagai sarana hiburan, pendidikan, informasi maupun sarana komunikasi. Internet mempunyai dua sisi yang bisa saling bertentangan.
Di satu sisi, internet memungkinkan kita untuk mengeksplorasi dan bertukar pengetahuan.Di sisi lain, internet sebagai saluran informasi untuk menyampaikan informasi baik perorangan maupun pesan dari kelompok kepada kelompok lain. Lalu bagaimana dengan informasi bohong yang belakangan ini membanjiri masyarakat kita lewat pergaulannya di media sosial.
Kabar bohong yang gencar sekali belakangan ini tidak terasa ditunjukan untuk mengolok-olok kecerdasan masyarakat. Lebih dari itu, dengan mudah kita mencium berita tersebut sebagai alat propaganda dan provokasi politikdi dalamnya.
Bahkan tidak sedikit kabar bohong dan informasi menyesatkan itu dibumbui dengan sikap kebencian. Masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari orang atau graup yang diikuti melalui Facebook, Twitter dan YouTube.
Indonesia, dewasa ini tengah dilanda wabah informasi hoax. Momentum politik saat pilkada serentak khususnya di DKI Jakarta seakan menjadi momentum menyebarnya berita hoax.
Adanya informasi-informasi hoax ini, menyebabkan adanya kegaduhan ditengah-tengah masyarakat yang notabenya mengharapkan suatu informasi yang valid, apa yang sebenarnya terjadi pada lingkungan kita.
Media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk menyerap informasi positif yang mencerdaskan telah banyak didistorsi oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab, dengan menjadikanya sebagai ruang untuk doktrinasi dan menebar kebencian. Tak jarang, informasi yang muncul di media sosial adalah informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya.
Sebagai media informasi, media massa sebenarnya memiliki fungsi memberikan informasi dan edukasi pada publik. Sejalan dengan perkembanggan teknologi digital yang mudah diakses dengan cepat penyebaranya kepada masyarakat, tentunya banyak digunakan oleh kelompok tertentu untuk dijadikan suatu momen alat propaganda menyerang lawanya, dengan penyebaran berita hoax.
Secara tidak langsung ia telah meruntuhkan nilai-nilai jurnalistik dan dunia kewartawanan. Padahal dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Artinya, sebagai salah satu pilar demokrasi, media massa memiliki kewajiban untuk memberikan pencerahan pengetahuan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat lebih cerdas dan melek informasi.Namun demikian, merebaknya wabah informasi hoax dewasa ini, telah mencoreng kemuliaan fungsi dari media tersebut.
Harus diakui bahwa kehadiran media massa terutama media online dewasa ini telah menciptakan keresahan masyarakat. Publik cenderung kesulitan membedakan media online yang memiliki kredibilitas dan payung hukum jelas dan yang tidak.
Karena kehadiran media online di media sosial begitu pesat. Akibatnya para pengguna media sosial dengan mudah meng-share berita-berita yang muncul tanpa melakukan kroscek dan filter apakah informasi yang diterima benar atau tidak. Dalam situasi yang demikian inilah maka anak bangsa akan mudah terjangkit wabah informasi hoax.
Merebaknya kabar bohong atau hoax dikhawatirkan banyak pihak akan berdampak destruktif terhadap masyarakat. Selain membodohi, hoax dapat memicu konflik-konflik sosial baru. Tetapi usaha untuk memberantasnya juga tidak akan mudah.
Tapi belakangan ini hoax bisa dikemas dengan cara yang sangat halus, disertai data yang seolah-olah benar. Kalau begitu, apa pembaca biasa juga bisa membedakannya? Jadi hoax itu memang selalu berkaitan dengan isu yang aktual.
Berita hoax ini memang didesai sesuain dengan kebutuhan kelompok tersebut dan mengikuti isu-isu yang sedang berkembang, sehingga publik terlena dengan perkembanggan isu seolah olah berita itu benar/sohe.
Tapi sekarang era media sosial. Kondisinya beda. Sekarang kita berada pada era media kedua. Ini beda sekali dengan era media pertama: televisi, surat kabar, majalah. Itu media-media lama, di mana yang berkuasa hanya segelintir orang.
Tapi sekarang era media sosial, jadi pemikiran yang cepat dan emosional seperti tidak masuk akal. Kalau kita tidak suka dengan pemerintah, tinggal tulis saja di media sosial. Dalam era media sosial, setiap orang bisa memiliki media yang mewakili diri dan pemikirannya sendiri.
Beberapa Jenis Berita Hoax
• Mencatut nama pejabat tertentu termasuk foto
• Menggunakan bahasa dan isi yang emosional
• Bernada tuduhan atau fitnah
• Berani spekulasi terhadap isu yang disebarnya
• Penyebarannya berulang-ulang
• Tidak jelas sumbernya
• Biasanya menggunakan kalimat persuasif agar orang tertarik untuk menyebarkan
• Berkaitan dengan isu yang sedang ramai dibicarakan
Kurangnya minat baca
Kurangnya budaya membaca menjadi salah satu penyebab cepatnya peredaran berita bohong atau hoax. perkembangan teknologi digital seperti media sosial ternyata menyebabkan minat baca masyarakat menjadi rendah. Rendahnya minat baca masyarakat tidak hanya terhadap buku yang dicetak tapi juga terhadap buku digital.
Perhatikan anak-anak hingga orang dewasa sekarang sebelum tidur chatting dulu, bangun tidur buka hp, mereka sudah dimanjakan dengan keadaan situasi digital yang pasti, turunnya minat membaca buku-buku di masyarakat dipengaruhi akan naiknya minat bercuap-cuap via media sosial baik Facebook, Twitter, Instagram atau media sosial lainnya.
Semakin tinggi hasrat berkomentar di medsos biasanya dipengaruhi hasrat membaca. Mereka biasanya malas untuk membaca berita secara menyeluruh namun langsung melontarkan komentar-komentar yang asal-asalan dan tidak mendasar.
Adapaun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk meningkatkan minat baca masyarakat, pertama adalah memperbanyak ruang baca di tempat publik seperti Mall, tempat berkumpulnya anak–anak remaja, tempat rekreasi, taman dan mungkin pasar modern.
Langkah yang kedua adalah meningkatkan kualitas buku bacaan untuk anak-anak dan remaja agar dapat merespon sianak untuk rasa penasaran terhadap buku yang dilihatnya. Langkah yang ketiga adalah menjadikan gemar membaca sebagai gaya hidup masyarakat baik masyarakatperkotaan maupun pedesaan.
Kalau cara-cara tersebut diterapkan tentunya budaya baca di tengah masyarakat bisa meningkat sehingga masyarakat menjadi kritis danberita-berita hoax tidak akan lagi mendapat tempat istimewa di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu agar minat baca masyarakat meningkat maka perlu kerja keras semua pihak. Namun perlu diingat bahwa gemar membaca adalah merupakan suatu produk budaya maka untuk pembenahanya perlu waktu lama dan kerja yang terencana sifatnya jangka panjang.
Peran pemerintah menyiapkan program dan peran orang tua membimbing dan mendukung sianak agar membiasakan minat baca dari sejak dini, karena salah satu untuk melawan berita hoax adalah masyarakatnya gemar membaca buku. Kalau masyarakatnya sudah memiliki kebiasaan membaca buku, niscaya masyarakat akan lebih kritis dan teliti terhadap berita hoax.
Kami yakin masyarakat yang hobi membaca buku akan lebih kritis dan waspada dibanding orang yang tidak hobi membaca. Kita sadari kalau dapat berita yang masuk ponsel kita tidak semuanya dibaca, hanya judul dan leadnya saja, karena yakin berita ini menarik, tanpa menyusuri literatur atau sumber beritanya kita langsung kirim lagi kepada teman, padahal berita itu hoax.
Saat ini masyarakat pengguna internet di Indonesia cenderung suka menyebarkan informasi ke orang lain tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya. Penyebab kedua adalah sikap sebagian orang yang lebih senang ngerumpi ketimbang membaca.
Kalau dahulu untuk ngerumpi harus saling bertatap muka sekarang bisa dilakukan secara jarak jauh. Sehingga budaya gemar ngerumpi semakin menemui sarananya. Penyebab ketiga adalah adanya kebanggaan diri jika menjadi orang pertama atau bagian dari orang yang menyebarkan suatu berita nantinya akan menjadi berita viral.
Banyak orang merasa hebat kalau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak. Apalagi kalau nantinya berita tersebut menjadi berita viral di media sosial.
Ketika sebuah pesan singkat mendarat di ponselkita, usahakan untuk jangan langsung menyebarkannya walau isinya mungkin mengkhawatirkan atau malah menggiurkan. Ingat bahwa tidak semua hal yang kita baca di dunia maya adalah sebuah kebenaran. Jadi, jika kita menyebarkan informasi yang salah, berarti kita baru saja meneruskan berita HOAX kepada orang lain dan membuat mereka berpotensi untuk tertipu.
Hoax bisa orang jadi radikal
Akhir-akhir ini berita palsu begitu gencar beredar di dunia maya. Salah satunya di media sosial. Berita bohong, sengaja diedarkan untuk membentuk opini di masyarakat. Berita yang tidak sesuai dengan fakta tersebut, juga sering menjadi viral di media sosial.
Ketika menjadi pembicaraan publik itulah, masyarakat yang tidak mempunyai referensi informasi yang kuat, akan mudah terpengaruh oleh berita hoax tersebut. Ironisnya, salah satu pihak yang sering menebarkan berita palsu adalah kelompok radikal.
Mereka sengaja menyebarkan hoax, agar paham radikalisme yang dibungkus dengan sentimen agama itu bisa diterima masyarakat. Berita hoax ini sepertinya menjadi senjata ampuh bagi kelompok radikal, untuk menyebarkan paham yang mereka anut. Tidak sedikit isu-isu nasional yang mereka plintir, dan ditambahkan sentimen kebencian di dalamnya.
Hoax disebar adanya unsur kepentingan dari kelompok radikal untuk merubah fikiran sipembaca atau eticut agar mendapat simpati terhadap kelompok tersebut sebagai kekuatan misi propagandanya. Tujuan nya adalah merekrut agar sasaran bisa dijadikan kelompo radikal, sehingga polapikir yang labil dijadikan militan, seolah olah kelompok radikal adalah yang paling benar dan intinya menebar kebencian terhadap pemerintah dan lingkungganya.
Sasaran hoax adalah masyarakat yang labil, tidak punya pekerjaan yang tetap, pengetahuan agamanya kurang dan tidak dibatasi dengan faktor usia, karena tipe orang tersebut sangat mudah untuk dirubah pola pikirnya, dan tidak mungkin orang yang cerdas dengan mudah percaya terhadap berita hoax.
Menurut hemat penulis hoax melalui media sosial dapat mengakibatkan perpecahan, sehingga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, yang pada akhirnya memunculkan radikalisme. Radikalisme muncul bukan karena uang, tetapi karena tidak punya pekerjaan. Itu salah satu penyebab seseorang bergabung menjadi bagian dari radikalisme.
Tidak hanya itu, dalam radikalisme juga seringkali disusupi narasi yang menjelaskan umat yang terzalimi. Padahal, faktanya tidak ada yang menguatkan adanya pihak yang terzalimi. Kecurigaan tersebut adalah suatu cara mereka memutarbalikan fakta terhadap lingkunggan termasuk pemerintah, karena dibalik itu mereka akan menerapkan paham radikalisme yang dianggap kelompok tersebut adal yang paling benar.
Kalau sudah begini, negara dianggap sebagai negara yang kafir, dan harus diluruskan ke jalan yang benar. Ironisnya, jalan benar yang dimaksud adalah konsep khilafah, yang diterapkan oleh ISIS di Irak dan Suriah. Tentu kita tidak ingin Indonesia berubah menjadi seperti Irak ataupun Suriah.
Toleransi antar umat yang selama ini selalu dikedepankan, menjadi sulit diwujudkan hanya karena terprovokasi berita hoax. Generasi berikutnya bisa berkembang menjadi generasi pembenci. Jangan biarkan hal ini terjadi. Perlu upaya bersama untuk membangun kontra narasi, yang dibangun oleh kelompok radikal.
Mari kita kembangkan narasi yang menyejukkan, sebarkan pesan damaidimanapun dan kapan saja, agar toleransi yang sudah menjadi karakter negeri ini tidak terganggu. Ingat, kita adalah Indonesia. Negara yang sangat mengedepankan keberagaman. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.Berbicara berita hoax dan radikalisme yang isinya merongrong dan mengancam Pancasila dan NKRI, bahwa eksistensi Pancasila dan NKRI tidak boleh dijadikan bahan negosiasi.
Dampak dari berita hoax dan propaganda radikalisme itu sangat besar. Bahwa kalau masyarakat mudah terpengaruh informasi yang sumbernya tidak jelas, mereka sama saja seperti robot. Bila demikian, mereka bergerak seperti mesin tanpa berpikir.
“Kita memang tidak bisa menutup diri dengar berbagai pendapat di sekitar kita apalagi itu dimuat dalam sebuah bingkai berita atau tulisan. Tapi itu tadi jangan kita menelan mentah-mentah informasi atau berita yang belum jelas asal-usulnya. Kalau tidak kita akan terjebak pada genderang Perang yang ditabuh oleh si penulis atau penyebar berita tersebut. (*)