HARIANTERBIT.CO – Pelaksanaan Pilkada serentak pada Rabu (15/2) masih menyisakan sejumlah persoalan di DKI Jakarta misalnya, Bawaslu mencatat terdapat 97 kasus dugaan pelanggaran pada hari pencoblosan. Salah satu persoalan yang cukup menonjol, yakni warga yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena kekurangpahaman Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terhadap mekanisme dan prosedur yang ada. Hal ini seolah telah menjadi persoalan yang rutin dan pasti terjadi dalam setiap pemilihan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta jajarannya harus mengevaluasi secara menyeluruh mengenai persoalan ini. Sementara, Bawaslu perlu menelusuri kekurangpahaman KPPS ini disengaja atau tidak.
“Harus dilakukan evaluasi menyeluruh oleh KPU beserta jajarannya dan bila diperlukan pengkajian oleh Bawaslu untuk menelusuri apakah kekurangpahaman tersebut terjadi karena memang merupakan ketidaksengajaan ataukah ada faktor kesengajaan di sana,” kata Titi, Minggu (19/2).
Pengkajian dan penelusuran yang dilakukan Bawaslu penting dilakukan untuk tindak lanjut persoalan ini. Jika terbukti adanya faktor kesengajaan, penyelenggara Pemilu dapat dipidana paling singkat satu tahun dan paling lama dua tahun.
“Kalau kesengajaan maka perbuatan tersebut bisa dipidana sesuai ketentuan Pasal 178 UU No 1 Tahun 2015 disebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah),” tegasnya.
Meski demikian, Titi mengatakan, kekurangpahaman petugas penyelenggara pemilu di lapangan dominan disebabkan kemampuan teknis dan penguasaan atas aturan yang baik oleh KPPS. Dipaparkan, kekurangpahaman ini lantaran pelatihan dan internalisasi materi soal prosedur dan aturan penyelenggaraan pungut hitung yang tidak maksimal dilakukan pada KPPS.
Bimbingan teknis atau Bimtek pada KPPS belum mampu membuat mereka menguasai ketentuan teknis operasional pungut hitung di TPS. Selain itu, terdapat kegagapan dalam mengimplementasikan berbagai aturan baru yang pemberlakuannya juga cenderung tergesa-gesa. “Misalnya soal penggunaan e-KTP, Suket, membawa KK asli, ataupun kewajiban mengisi form data bagi pemilih tambahan (DPTb),” katanya.
Lebih jauh Titi menambahkan, terdapat juga KPPS yang terlalu ekstra berhati-hati atau over protective mencegah terjadinya pelanggaran akibat isu prapemungutan suara soal KTP elektronik dan Suket palsu. Hal ini berakibat pada penghilangan hak pilih warga negara di lapangan.
Misalnya meski nama ada di DPT tapi tidak membawa Form C6 maka dikategorikan sebagai pemilih tambahan atau DPTb yang hanya bisa mencoblos setelah jam 12, padahal tidak demikian aturan yang ada.
“Membludaknya dan antuasiasme pemilih serta besarnya pemilih yang gunakan hak pilih di luar nama-nama yang ada di DPT membuat kepanikan tersediri terutama terkait ketersediaan logistik surat suara. Satu sisi mereka harus melayani pemilih gunakan hak pilihnya, namun sisi lain harus berhati-hati mencegah agar tidak terjadinya kecurangan,” paparnya.
Tak hanya itu, Titi juga menyoroti pola komunikasi struktural KPU yang tidak menunjang respon cepat permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan. Akibatnya terjadi distorsi atau kesenjangan informasi antara pembuat kebijakan, yakni KPU DKI Jakarta dengan petugas teknis di lapangan. Seharusnya, menurut Titi tersedia call center atau pusat komunikasi yang bisa menghubungkan pembuat kebijakan dengan petugas lapangan atau pemilih yang sedang mencari informasi atas suatu peristiwa.
“Pengawas TPS juga tidak bisa berbuat banyak dalam merespon kondisi dan situasi di TPS karena mereka juga mengalami kegagapan yang sama. Demikian pula dengan para saksi pasangan calon,” paparnya.
Untuk itu, mengantisipasi persoalan ini agar tidak terulang saat hari pemungutan pada putaran kedua April nanti, Titi meminta KPU memasukan semua nama pemilih tambahan, yang belum terdata, dan pengguna Suket ke dalam DPT. Pelatihan dan bimbingan teknis perlu ditingkatkan untuk memastikan KPPS paham teknis dan prosedur pungut hitung dengan baik.
“Selain itu harus ada manual atau alat bantu yang sedehana namun cukup komprehensif menjawab barbagai atauran main dan hal-hal teknis yang terjadi di lapangan sebagai panduan kerja bagi KPPS. KPU DKI Jakarta wajib membuat call center atau pusat komunikasi yang bisa jadi penghubung antara petugas di lapangan dengan pengambil kebijakan guna merespon kondisi yang terjadi di lapangan. Termasuk pula call center bagi masyarakat pemilih,” katanya.
Titi menambahkan, KPU DKI Jakarta harus menginventarisir persoalan-persoalan yang dihadapi pada hari H putaran pertama dan menyediakan jawaban atau respon atau sikap yang harus diambil KPPS atau para pihak jika menghadapinya.
“Materi ini harus diberikan pada KPPS dan disebarluaskan pula secara luas kepada publik. KPU DKI juga perlu berkolaborasi dengan media dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa rekapitulasi data pemilih putaran kedua benar-benar komprehensif dan optimal menjangkau semua pemilih yang punya hak pilih,” paparnya.