PERNIKAHAN DINI DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Posted on

umi-zahrokOleh: Umi Zahrok MSi

RILIS dari Badan Pusat Statistik dan lembaga PBB untuk anak (Unicef) pada tahun 2016 menginformasikan bahwa masih terdapat praktek perkawinan anak di bawah umur di berbagai daerah. Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi antara lain: Sulawesi Barat 34 persen, Kalimantan Selatan 33,68 persen, Kalimantan Tengah 33,56 persen, Kalimantan Barat 32,21 persen, dan Sulawesi Tengah 31,91 persen.

Bahkan pada tahun sebelumnya di NTB pernah mencapai 51,8 persen, mayoritas melakukan pernikahan di bawah usia 15 tahun. Fakta ini menunjukkan terdapat 340.000 setiap tahun anak perempuan menikah di bawah umur. Demikian juga temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di kawasan Pantura, perkawinan anak mencapai 35 persen. Dengan usia  9-11 tahun mencapai 20 persen.

Kerisauan penulis atas kenyataan sosial tersebut semula berasumsi karena faktor kemiskinan ekonomi yang masih bertengger pada angka 28,28 juta.

Dari segi ekonomi, terkadang keluarga yang mencari solusi dengan melepaskan sebagian beban keluarga dengan cara menikahkan anak perempuan mereka. Ketika berdiskusi dengan psikolog tentang tingginya kekerasan anak, penulis tetap memberi gambaran bahwa fondasi lemahnya ekonomi yang memicu praktek kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual.

Betapa ketiadaan sarana rumah layak huni, rumah tanpa kamar, rumah ada kamar tanpa daun pintu, rumah dengan dengan sarana MCK yang sekadar ditutup pakai seng setinggi setengah badan, dan seterusnya hal ini mengundang kerawanan bagi anak perempuan.

Namun demikian psikolog tadi memberi pandangan berbeda dengan menyodorkan data bahwa terdapat beberapa faktor pemicu pernikahan dini yaitu aspek budaya.

Sejenak penulis waktu itu jadi teringat ketika masih seusia Sekolah Menengah Atas tinggal di pesantren dan punya teman masih seusia Sekolah Menengah Pertama sudah dijodohkan oleh orang tuanya yang memang dikenal kalau kultur ‘madura’ mempraktekkan budaya nikah muda, yang pasti peritiwa itu terjadi tigapuluh tahun lampau.

Memang praktek tersebut sering dipengaruhi oleh tradisi lokal, kesederhanaan pola pikir masyarakat sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya dituntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah.

Fenomena pernikahan di usia anak-anak menjadi kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua.

Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.

Jikalau sampai saat ini praktek tersebut pada kenyataannya masih terjadi maka terdapat berbagai dampak yang bertautan erat dengan upaya pembangunan berkelanjutan.

Dampak psikologis pernikahan dini memunculkan kondisi mental yang cenderung masih labil dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi psikologi sang anak, apalagi bila belum memiliki pengetahuan mendalam tentang perkawinan dan kehidupan berumah tangga, termasuk semua hak dan kewajiban yang akan dijalani setelah pernikahan.

Pernikahan dini juga mengindikasikan sebagai salah satu penyebab populer tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena cara berpikir yang belum dewasa.

Temuan BPS juga menyatakan bahwa budaya perkawinan dini seiring dengan meningkatnya persentase perceraian di Indonesia, mengingat pernikahan dini cenderung dilakukan oleh pasangan yang sebetulnya belum siap dari sisi kematangan mental dan masih labil. Apalagi, tren anak muda saat ini kurang memiliki sikap kemandirian.

Kalaupun bisa menjalani pernikahan dini kalau tiba masa membosankan, akan memicu keretakan rumah tangga dan berujung pada peceraian.

Dari segi kesehatan menikah di usia belia bisa berbahaya bagi kesehatan. Hal ini terutama berdampak pada perempuan, karena memiliki risiko saat mengandung dan melahirkan nanti. Secara medis, menikah di usia yang terlalu muda dapat mengubah sel normal (sel yang biasa tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang akhirnya dapat menyebabkan infeksi kandungan bahkan kanker.

Sedangkan di dunia kebidanan, hamil di bawah usia 19 tahun memiliki risiko kesehatan seperti mudah menderita anemia, bahkan paling buruk bisa menyebabkan kematian. Fisik remaja pun dinilai belum kuat dan mungkin akan membahayakan proses persalinan. Tak hanya bagi sang calon ibu, calon bayi pun ikut dikhawatirkan, misalnya bayi lahir dengan berat rendah, cedera saat lahir, ataupun komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas.
Dari aspek sosial ekonomi pernikahan dini seringkali menyebabkan kesulitan ekonomi yang dikarenakan pasangan terlalu muda yang belum mapan dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya.

Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang vital dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi laki-laki, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

Meski di sejumlah daerah telah terjadi kemajuan, namun ada beberapa daerah di Indonesia yang angka perkawinan usia anak yang cukup tinggi dan apabila dibiarkan maka akan mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).

Bagian dari kerangka implementasi demokrasi substanstif yaitu target pembangunan berkelanjutan atau SDG’s terdapat beberapa target antara lain: isu kemiskinan, kesehatan, pendidikan inklusif dan berkeadilan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan perempuan. Dari populasi 254,9 juta penduduk terdapat 128,1 penduduk laki-laki dan 126,8 penduduk perempuan.

Yang masih buta aksara mencapai 6,5 juta. Bidang Kesehatan Angka Kematian Ibu (AKI) masih bertengger pada 220/100.000 kelahiran. Gender Development Indeks (GDI) posisi Indonesia masih berada pada urutan 121 dari 187 negara, dilihat dari pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Penduduk miskin di Indonesia mencapai per maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen).

Jumlah penduduk miskin perempuan: 52,7 persen. Jumlah kepala rumah tangga perempuan: 7 juta mewakili 14 persen dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Potret ketertinggalan ini jangan sampai ditambah dengan beban sosial ekonomi karena masih munculnya budaya pernikahan dini.

Berbagai kebijakan sesungguhnya sudah menempatkan eksistensi anak (anak perempuan) pada posisi yang strategis dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang senantiasa progresif mengakomodir perlindungan hak-hak anak.

Secara konstitusi perlindungan hak anak tercantum pada Pasal 28B UUD 1945 bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kemudian lahir berbagai undang-undang konvensi hak anak, UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara spesifik mencantumkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat pendampingan dari perlakuan eksploitasi baik ekonomi maupun seksual,  dan Pasal 26 UUPA menyatakan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, ditambah orang tua wajib memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Peran masyarakat terutama orang tua dalam mencegah praktek pernikahan dini dapat dilakukan dengan pendekatan proses penyadaran akan pentingnya pendidikan sebagai instrumen menata kehidupan yang lebih baik.

Dengan membuka kesempatan anak-anak untuk mengenyam pendidikan secara alamiah akan bergeser pandangan orang tua maupun anak untuk membekali diri baik mental spiritual maupun sosial secara dewasa.

Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan. Pendidikan itu sendiri mempunyai tujuan, yaitu mengubah sikap, pengetahuan, dan perilaku peserta pendidikan sesuai dengan yang diharapkan.

Pendidikan dapat pula dikatakan sebagai proses pewarisan nilai-nilai budaya. Dalam keluarga, pendidikan merupakan proses transformasi kebudayaan yang dapat mempengaruhi anggota keluarga dalam cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Ini berarti bahwa anggota keluarga secara perlahan-lahan atau cepat dapat mengubah bentuk keluarga dari keluarga tradisional menjadi keluarga yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tokoh agama, tokok masyarakat di desa turut dilibatkan sebagai agen yang membangun pemahaman dan kesadaran akan pentingnya mempersiapkan pernikahan secara matang agar terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis dan bahagia serta sebagai agen yang dapat mendorong masyarakat untuk mengenyam pendidikan sampai pada jenjang yang lebih tinggi agar terbentuk pola pikir masyarakat yang kritis dan rasional.

Pemerintah melalui Kantor Urusan Agama setempat juga diharapkan mampu meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini yang berakibat tidak tercapainya tujuan dan hikmah pernikahan, yakni kemaslahatan hidup berumah tangga, bermasyarakat dan jaminan keamanan bagi kehamilan, serta terbentuknya keluarga sakinah dan memperoleh keturunan yang berkualitas.

Peran masyarakat dalam menawarkan berbagai program pendidikan luar sekolah juga patut diapresiasi, mengingat terdapat beberapa bidang pembelajaran di antaranya: pemberdayaan perempuan, pemberdayaan masyarakat dan pelatihan kerja, mengajarkan masyarakat tentang pentingnya dunia kerja dan memanfaatkan SDM, program kepemudaan, yang mengarahkan pendidikan pada kalangan remaja adanya pendidikan pra nikah.

Pendidikan kesehatan reproduksi cukup relevan dengan upaya menyiapkan generasi muda yang produktif, sehingga tahun 2030 sebagai momentum era bonus demografi terlampaui dengan baik. Yang pasti kehadiran negara dalam hal ini sangat berarti dalam memfasilitasi program tersebut dengan pengalokasian anggaran pusat dan daerah secara proporsional. *

Penulis: Pegurus PP Muslimat NU, Alumni FISIP UI, Political Advisors Course in Sydney University dan Pendidikan Khusus National Security Studies Program Puskamnas Universitas Bhayangkara Jakarta Raya 2015-2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *