HARIANTERBIT.CO – Masih ada yang menganggap terorisme merupakan ancaman yang ‘dibuat-buat’ atau ‘mengada-ada’. Kesadaran perlunya menangkal ancaman terorisme baru menjadi perhatian serius ketika sudah memakan korban dalam jumlah banyak, sementara belum ada instrumen hukum yang tepat untuk menangani kejahatan terorisme.
Untuk mewujudkan keseriusan dalam penanganan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (memoradum of understanding/MoU )Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme.
“Ancaman terorisme tidak hanya dilihat dari sisi hukum tetapi menyangkut sisi politis, ekonomi, dan berbagai kepentingan lainnya. Dengan kata lain, terorisme bukanlah ancaman yang memiliki satu motif tetapi bisa muncul oleh berbagai alasan dan sebab yang saling kait-mengait,” kata Kepala BNPT Komjen Drs Suhardi Alius MH, pada acara Seminar Nasional ‘Preventtive Justice’ dalam Antisipasi Ancaman Perkembangan Terorisme, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (6/12).
Dalam kontak global, munculnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang secara massif melakukan aksi, telah menginspirasi gerakan yang sama di berbagai negara. Kelompok ekstrimis ini diperkirakan sudah aktif di 40 negara dengan berbagai bentuk operasi.
“Ancaman lain yang juga tak kalah mengkhawatirkan adalah fenomena Foreign Terrorist Fighters (FIF), pelatihan militer di dalam dan luar negeri, kebebasan penggunaan internet (the use of internet for terrorism purposes), dan berkembangnya hate speech yang sudah mengarah pada terorisme,” ungkap Suhardi.
Undang-Undang No 15 Tahun 2003 belum mengatur tentang kegiatan pendahuluan (precursor activities) sebagai kegiatan yang dapat dipidana. “Indikasi tindakan terorisme seperti pelatihan militer, baiat, perekrutan, penghasutan dan penanaman doktrin untuk melakukan terorisme banyak dilakukan secara terang-terangan,” ujar Suhardi.
Namun demikian, lanjut Kepala BNPT, terhadap mereka yang telah melakukan pelatihan militer di dalam dan luar negeri belum bisa dikenai tindak pidana. BNPT memandang tindakan-tindakan itu dapat menjadi bagian yang perlu dimasukan dalam perubahan UU No 15 Tahun 2003.
“Selain undang-undang yang kuat, Indonesia juga membutuhkan undang-undang yang komprehensif.
Undang-undang hendaknya bisa mengatur ketentuan tentang pencegahan, namun dalam berbagai kesempatan, BNPT secara aktif telah menyampaikan beberapa usulan terkait perubahan UU No 15 Tahun 2003,” imbuh Suhardi.
Beberapa usulan BNPT juga sudah masuk dalam draft perubahan undang-undang usulan pemerintah yang sudah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). BNPT berharap perubahan UU No 15 Tahun 2003 dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Hadir dalam seminar tersebut antara lain, Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Hanafi Rais, Anggota Pansus RUU Terorisme Asrul Sani, Direktur Imparsial Al Araf, Ketua Umum Harian Tanfidziah Nahdatul Ulama Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA, dan Pengurus Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Iwan Sasriawan SH, LLM, PhD. (*/dade)