HARIANTERBIT.CO – Makna dalam sebuat kata maupun kalimat bisa berbeda bahkan bertentangan bila diplesetkan, dikurangi, atau ditambahi/ diulang. Menangan dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai jagoan yang selama menang dalam perlombaan, pertandingan, bahkan dalam perkelahian sampai peperangan sekalipun.
Orang atau kelompok yang menangan dapat dikatakan orang atau kelompok yg memiliki keunggulan baik dari pemikiran, perkataan, perbuatan cara memanage, teknologinya hingga tingkat kebijaksanaanya.
Bisa saja mereka dianggap sebagai orang/ kelompok jagoan yang sakti mandraguna. Apalagi kemenangan-2 yang diperolehnya melalui cara-2 yg fair, legal, sah menurut aturan hukum dan undang-2, tentu akan membuat semakin melambungkan namanya.
Kata menangan tadi tatkala diulang menjadi menang-menangan, makna nya menjadi sangat berbeda, yaitu :
o. Ingin selalu diistimewakan,
o. Ingin memiliki hak yang lebih dari orang lain atau teman-2nya,
o. Memaksakan kehendak, mengancam dengan semena mena,
o. Mengeroyok untuk memberi tekanan,
o. Show of force pamer kesaktian atau kekayaan atau kekuatan,
o. Melawan aturan karena merasa paling benar atau paling baik atau paling berhak bahkan bisa saja menjadi paling suci.
Menang-2an ini akan mengintimidasi pihak lain, membuat tidak nyaman, membutakan atau melemahkan aturan atau keinginanya didahulukan atau dinomor satukan.
Sikap menang-2an selain arogan, dapat pula mendominasi menguasai apa saja yang diinginkanya. Bisa saja menghujat, melecehkan, merusak harkat dan martabat manusia, menimbulkan ketakutan/keresahan, dan berbagai aspek lainya yang kontra produktif.
Tatkala gaya menang-2an ini digunakan untk berbagai kepentingan, maka bisa menjadi jalan atau triger konflik komunal/ konflik sosial. Menjadi kesempatan bagi para dalang mengekspresikan wayang2nya untuk nimbrung meramaikan hingga mengacaukan.
Wayang2-nyapun bisa dimainkan asal2-an, melanggar pakempun dilakukan. Yang penting menang, senang, perduli setan orang lain susah karenanya. Merasa paling baik dan benar sendiri dengan gaya dan sikap tinggi hati menutup mata telinga bahkan hatinya.
Tak mau ada lagi yg mengingatkan semua kesempatan untuk membuat pertimbanganpun dimatikan. Kata pokok e/pokoknya sebagai kalimat pemaksa, sehingga mau tidak mau semua wajib manut nurut.
Para pengekor, pengikut kaum menang2-an ini bagai unthul munyuk ( Monyet bererot/ berderet yg sdh kehilangan akal sehat + logikanya). Tidak ada lagi welas asih, tidak ada lagi kemanusiaan, tidak ada lagi penghargaan kepada org lain.
Aku ismenya begitu tinggi, siapa berbeda hajar, siapa menentang menghina atau melecehkan, siapa melarang berarti mengkebiri hak dan sebagainya. Pembenaran-2 ditaburkan hingga membingungkan bahkan menakutkan.
Kaum unthul munyuk ini sebenarnya hanya menjadi dolop2 atau pasukan cuap-2 modal conthong yang tidak tahu menahu untuk apa dan tujuanya apa. Yang penting dapat bagian entah sangu entah makan entah plesiran.
Pemikiranya cupet sehingga mudah bagi sang dalang menjadikannya untuk munyuk2-an. Mereka tidak tahu bahwa sang dalang menginginkan rumah milik yang nanggap wayang.
Dalang bisa saja memiliki rumah si penanggap wayang dengan cara-2 yg sah dan legal bahkan sesuai dengan administrasi, hukum bahkan secara moral. Bukan dengan mengerahkan para penabuh, sinden, kru dan wayang2-nya untuk merebut rumah penanggap dengan cara menang2-an. ā€ˇPenulis Chryshnanda DL. Kabidbin Gakkum Korlantas Polri