SANTOSO TEWAS, JARINGAN TERORISME TETAP JADI KEWASPADAAN NASIONAL

Posted on

HARIANTERBIT.CO Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Ade Komarudin menilai, terorisme sama dengan masalah korupsi dan narkoba. Ketiganya merupakan tiga musuh besar masyarakat dan pemerintah Indonesia.

“Yang jelas terorisme itu sama dengan korupsi. Tiga besar musuh utama negara ini narkoba, terorisme dan korupsi. Jadi terorisme tidak boleh lengah,” kata Ade Komarudin di sela-sela acara sidang promosi gelar doktor untuk anggota DPR-RI Herman Khaeron di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Kamis (21/7).

Akom mengapreasi keberhasilan aparat gabungan TNI-Polri yang berhasil menembak mati pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso yang terlibat jaringan terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, Senin (18/7) lalu. “Kemarin Santoso, jangan dipikir itu selesai. Belum selesai itu. Ini harus menjadi kewaspadaan nasional. Negeri ini perlu stabilitas karena ekonomi dunia sedang tidak bagus dan kalau politik kita tidak stabil bisa makin parah kita,” ujarnya.

Ditunjuknya Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) oleh Presiden Joko Widodo, menurut Akom, merupakan hal yang tepat. “Beliau track record-nya bagus, saya kira tepat di posisinya tersebut. Dan masalah terorisme ini tidak ada sangkut-pautnya sama kesejahteraan,” kata Akom.

Efek Gentar
Sementara itu sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setuju Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilibatkan dalam penanganan tindak pidana terorisme. Anggota Komisi I bidang Pertahanan DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar Tantowi Yahya mengatakan, sudah saatnya penanggulangan terorisme dilakukan secara bersama-sama oleh Polri dan TNI.

Penggabungan TNI dan Polri dalam penanganan kasus terorisme itu, kata Tantowi, harus diatur dalam sebuah undang-undang. Dia yakin penyatuan dua institusi itu dalam penanganan kasus terorisme akan menimbulkan efek gentar yang luar biasa. Efek gentar itu akan bermuara pada pencegahan dini tindak pidana terorisme. “Penggabungan dua institusi tersebut (TNI dan Polri) bukan saja bermakna penambahan kekuatan yang akan menutup celah terjadinya aksi terorisme, tapi akan menimbulkan efek gentar yang bermuara pada pencegahan dini,” kata Tantowi di Jakarta, Kamis (21/7).

Gagasan agar TNI dilibatkan dalam penanganan tindak pidana terorisme itu muncul dari Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan TNI terlibat penanganan kasus terorisme itu hanya berlaku di beberapa titik objek vital dan situasi tertentu.

Ketua Pansus Revisi UU Terorisme DPR Muhammad Syafi’i mengatakan, pemberian kewenangan penindakan kepada TNI ini sebenarnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Naional Indonesia (TNI). Dalam UU itu disebutkan, salah satu tugas TNI adalah mengamankan negara dari tindakan terorisme.

Namun, kata Syafi’i, dalam UU itu tak dijelaskan operasional TNI dalam mengamankan negara dari tindakan terorisme. “Bagaimana operasionalnya itu harus masuk dalam undang-undang. Oleh karena itu (kewenangan penindakan) akan diadopsi di dalam revisi UU terorisme ini,” kata Syafi’i, Rabu (20/7). (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *