HARIANTERBIT.CO – Suasana lebaran haji alias Iedul Adha masih terasa.Pagi itu warga desa mengeluarkan kasur miliknya masing-masing, dan menjemurnya di depan rumahnya. Bagi yang rumahnya berada di sisi jalan, otomatis kasur yang dijemur itu berada di sisi jalan persis, dan nampaklah berderet-deret kasur dijemur di pinggir jalan.
Pemandangan makin menarik, karena deretan kasur-kasur itu warnanya merah dikombinasi hitam, warna yang tak biasa ditemui dikasur. Kasur-itu berjejer nangkring diatas kursi, jodog, dipan, jumlahnya ribuan.
Para pemiliknya sesekali menggebuk-gebuk kasurnya dengan rotan berbentuk raket, atau seikat lidi. Suara gebukan demi gebukan seperti irama tetabahunan yang unik, gedebag-gedebug. Sementara itu, debu pun nampak terbang melayang diatas kasur yang digebuk. Pada saat itu warga percaya, penyakit yang berada di kasur telah pergi menjauh dari mereka, menjauh dari warga, kini kasurnya bersih dan sehat.
Demikianlah secuplik ritual dari desa warga Kemiren, Kecamatan Glagah, kota Banyuwangi, Jawa Timur, yang menggelar apa yang mereka namakan ‘Mepe Kasur’ (Menjemur Kasur). Filosofi ritual ini dipercaya masyarakat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.
Karena di kasur banyak penyakit, padahal kasur adalah benda yang dekat dengan manusia saat istirahat dan bagian penting dari sebuah rumah tangga. Tradisi ini dilaksanakan pada bulan Zhulhijjah, tepatnya satu minggu sebelum hari raya Idul Adha.
Itulah keunikan desa Kemiren. Selain tradisi ‘Mepe Kasur’, ada tradisi ‘Ider Bumi’. Bahkan di tahun 2013 masyarakat Kemiren menggagas event ‘Ngopi Bersama’ yang dinamakan ‘Ngopi Sepuluh Ewu’ (Ngopi Sepuluh Ribu). Yaitu nyeruput kopi di depan rumah penduduk, di pinggir jalan raya. Dibarengi dengan menyantap jajanan khas tradisional Banyuwangi.Tak mengherankan jika desa Kemiren disebut ‘Desa Adat Wisata’.
Yang menarik, saat ini desa Kemiren Kepala Desanya seorang wanita, bernama Lilik Yuliati (37 tahun). Wanita dengan look baby face dan bertubuh padat ini memang asli desa Kemiren. Ia lahir dan dibesarkan di desa Kemiren. Penduduk asli Kemiren sudah sangat mengenal Lilik Yuliati.
KERAMAHAN
Tak heran jika dalam berbagai kesempatan, Kepala Desa ini nampak sangat akrab dengan warga Kemiren. Ditemui di rumahnya, Lilik menerima dengan hangat kedatangan kami. Keramahan orang Kemiren. Kami disuguhi kopi Kemiren yang memang terkenal aroma dan kelezatannya, bahkan kami diminta makan malam segala.
“Tak boleh menolak, hayo, silahkan santap makan,” kata Lilik. Rumahnya sebagian sengaja dibuat asli rumah Banyuwangi, dengan lantai masih dibiarkan berupa tanah, “Inilah rumah asli orang Banyuwangi zaman dulu. Masih berlantai tanah, dengan pagar bambu, namun bersih dan asri,” tambah Lilik.
Sayang kunjungan kami saat itu bukan waktu ritual ‘Ider Bumi’, sehingga tak ada suguhan menu ‘Pecel Pithik’ (Pecel Ayam). Saat ritual itu masyarakat setempat memasak apa yang mereka namakan ‘Pecel Pithik’, kuliner khas Kemiren –rasanya lezat.
Lilik banyak bercerita tentang desa Kemiren dan obsesinya, dan dengan tangkas menjawab pertanyaan tentang data-data desa Kemiren. Ia dengan cepat menyebut jumlah warga di desa Kemiren sekitar 3000 orang. Luasnya 27 Ha. Dengan dua kelurahan dan delapan desa. Ada satu sekolah SD dan satu Sekolah TK atau Paud. Penduduk non-muslimnya 2 KK. Dan ada 10 KK pendatang di desa Kemiren. (dann julian)