HARiANTERBIT.CO – Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) mengecam keras putusan dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar yang dijatuhkan kepada Sorbatua Siallagan, ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, atas tuduhan perusakan lahan. Kami menganggap keputusan ini sebagai bentuk ketidakadilan yang nyata dan sebuah preseden buruk bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Sorbatua Siallagan dituduh melakukan perusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, yang izinnya dipegang oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Tuduhan ini mengabaikan fakta sejarah bahwa masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan telah mendiami dan mengelola tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1700-an, jauh sebelum PT TPL mendapatkan konsesi pada tahun 1983.
Ketua Umum PP GMKI melalui Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan Ranto Pasaribu, menyoroti bahwa keputusan ini mencerminkan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia. “Vonis ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga mengancam keberadaan masyarakat adat yang tengah berjuang mempertahankan tanah ulayat mereka dari klaim sepihak perusahaan. Kami tidak bisa menerima fakta bahwa seorang pemimpin adat dihukum karena mempertahankan tanah leluhurnya,” tegas Ranto, Selasa (20/8/2024), melalui keterangan tertulis yang didapat HARIANTERBIT.CO.
PP GMKI juga menyoroti bahwa vonis ini menunjukkan minimnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam sidang, tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa Sorbatua Siallagan melakukan pembakaran atau tindakan kriminal lainnya yang dituduhkan. Sebaliknya, masyarakat adat telah dibiarkan berjuang sendirian menghadapi korporasi yang memegang izin konsesi, tanpa perlindungan yang memadai dari pemerintah.
“Kami menyerukan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan upaya kriminalisasi masyarakat adat dan segera memberikan perlindungan hukum yang adil. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang telah lama dinantikan, menjadi langkah penting untuk memastikan hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi secara resmi,” lanjut Ranto.
Pengurus Pusat GMKI mendukung penuh langkah hukum banding yang akan ditempuh oleh kuasa hukum Sorbatua Siallagan dan mendesak pengadilan yang lebih tinggi untuk mempertimbangkan dengan serius fakta-fakta yang ada. Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan menuntut pembebasan Sorbatua Siallagan.
Selain itu, kami mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang izin konsesi PT TPL, yang telah terbukti menimbulkan konflik dan merugikan masyarakat adat. Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. “PT TPL harus bertanggung jawab atas konflik yang terjadi dan segera menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat. Kami menuntut penghormatan terhadap hak-hak ulayat dan pemulihan keadilan bagi mereka,” tegas Ranto.
” Kami mendesak Pengadilan Tinggi untuk meninjau ulang kasus ini secara adil dan segera membebaskan Sorbatua Siallagan. Pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan konflik dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi, termasuk dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat,” pungkasnya. (*/rel/dade)