HARIANTERBIT.CO – Baru-baru ini, ramai pemberitaan terkait konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Dalam banyak pemberitaan, baik media maupun media sosial, terjadi aksi-aksi protes, ekspresi kemarahan dan pencarian keadilan dari masyarakat setempat. Pulau Rempang dikabarkan akan dibangun secara masif proyek strategis nasional. Namun, proyek ini justru ditentang oleh masyarakat lokal yang seharusnya paling diuntungkan oleh pembangunan di sana.
Hal itu diungkapkan Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dalam video yang diunggah di akun media sosial resminya, DennyJA_World, Rabu (27/9/2023). Video tersebut adalah bagian dari serial Ekspresi Data yang diunggah di Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, serta Youtube Denny JA. Ini adalah serial video yang durasinya hanya tiga menit dan berbasis data riset LSI Denny JA untuk aneka isu yang strategis, termasuk Pilpres 2024.
Denny mengatakan, Pulau Rempang akan dikembangkan menjadi Eco City. Investasi yang akan masuk ke kawasan itu sebesar Rp381 triliun hingga 2080. Proyek ini akan diperkirakan akan menyerap lebih dari 300 ribu tenaga kerja. Proyek ini pun sudah mengundang dan diikuti oleh perusahaan asing yaitu Xinyi Glass Holding yang bersedia menanamkan modal hingga Rp176 triliun. Luas tanah yang akan dikelola sebanyak 8000 hektare. “Namun, yang menjadi masalah, ada 16 kampung adat yang harus dikosongkan,” ujar Denny JA, dalam rilis yang diterima HARIANTERBIT.CO, Rabu (27/9/2023).
Denny mengatakan, bentrok antara aparat dengan masyarakat kemudian menjadi berita. Dikabarkan masyarakat Melayu protes penggusuran warga Pulau Rempang. Dikatakan juga bahwa masyarakat marah karena sejarah mereka akan hilang karena direlokasi. Tak sampai di situ, diberitakan juga bahwa belasan pelajar terkena gas air mata karena bentrok antara masyarakat dengan aparat.
Lalu, ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ikut membela warga Riau yang merasakan ketidakadilan. “Media asing pun diberitakan ikut menyoroti proyek nasional di Rempang. Berbagai video soal kemarahan publik luas beredar di media sosial,” sambungnya.
Denny mengungkapkan, ada beberapa alasan niat baik pemerintah melakukan pembangunan justru menimbulkan luka sosial. “Ini karena tidak diterapkannya filosofi pembangunan yang lebih melibatkan masyarakat setempat. Membangun itu sejak awal harus diniatkan juga menjadikan masyarakat lokal sebagai partner, bukan musuh,” terangnya.
Menurut Denny, ada tiga hal yang seharusnya sedini mungkin sudah diterapkan. Pertama, melibatkan masyarakat setempat sedini mungkin, bahkan ketika tahap perencanaan. Prinsip ini mulai dilakukan ketika konflik di Rempang sudah memanas. “Kita pun mendengar solusi dari masyarakat lokal itu sendiri. Mereka tidak ingin dipindahkan ke pulau lain. Tapi mereka bersedia jika hanya digeser di pulau yang sama. Sehingga mereka, misalnya, tetap bisa melaut sebagai nelayan di area yang sudah mereka kenali,” jelasnya.
Denny mengatakan, masyarakat lokal juga tak ingin makam leluhurnya digusur. Ini harapan yang mudah diakomodasi. Tak hanya tidak digusur, makam itu justru itu dipugar supaya lebih nyaman dikunjungi.
Kedua, berikan ganti rugi yang adil. Hal ini, kata dia, mudah dilakukan. Namun, harus dipastikan dan didahulukan bahwa mereka mendapatkan pengganti tanah yang sah dan bersertifikat di area yang layak. Di atas tanah itu, harus dibantu berdiri rumah yang mereka miliki sendiri.
Denny menambahkan, masyarakat harus menerima kompensasi uang cash karena hilang mata pencariannya. Masyarakat jangan sampai dipisahkan dari komunitas lama yang sudah terbina turun-temurun. “Mereka bersama komunitasnya dipindahkan bersama-sama di lokasi yang tak berjauhan,” ujarnya.
Ketiga, mereka berhak atas berkah pembangunan di wilayah nenek moyangnya. Denny mencontohkan, mereka perlu diikutkan bekerja dalam proses pembangunan, mulai menjadi buruh, kontraktor, dilatih keterampilan sebagai mandor, atau ikut membuka warung untuk suplai makanan bagi yang bekerja.
Menurutnya, ketika perusahaan berjalan dan bagian dari keluarga mereka diajak bekerja sebagai karyawan. Perusahaan juga menyiapkan dana rutin dan corporate social responsibility (CSR) untuk ikut menumbuhkan komunitas masyarakat lokal setempat. “Dengan tiga prinsip ini, pembangunan tidak hanya berorientasi kepentingan pemilik modal. Tapi ini filosofi membangun bersama masyarakat lokal,” jelas Denny.
Denny mengatakan, bukan pembangunan yang dimusuhi karena tak adil atau malah menjadi musuh masyarakat. Tapi ini menjadi pembangunan yang didukung oleh penduduk setempat, karena mereka ikut dilibatkan sejak awal dan merasakan berkahnya. “Ini bukan sekadar masalah teknik komunikasi dalam membangun. Ini adalah orientasi dan filosofi dalam membangun,” pungkasnya. (*/rel/din)