HARIANTERBIT.CO – Pemberdayaan suporter adalah bagian terpenting sebagai stakeholder sepak bola Indonesia, karena suporter adalah napas sebuah pertandingan sepak bola. Hal ini terungkap dalam pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema, “Pemberdayaan Suporter sebagai Napas Sepak Bola Indonesia” yang diadakan oleh Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI), bekerja sama deng FEBIS UTA’45 Jakarta, Universitas Bung Karno dan Universitas Negeri Surabaya, di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Ketua Dewan Pembina PSTI Rudyono Darsono menyatakan, tanpa adanya suporter maka sebuah pertandingan sepak bola akan kehilangan rohnya, jadi stake holder sepak bola jangan sampai mengabaikan keberadaan suporter. “Suporter atau penonton sepak bola yang sering disebut pemain ke-12 itu tidak mungkin disingkirkan atau dipinggirkan hanya karena sebuah kejadiannya, yang kita sama-sama tahu permasalahan itu bukan permasalahan suporter saja, sebuah rentetan peristiwa yang sangat kompleks, jadi kita jangan kita terpaku pada satu persoalan Kanjuruhan, lalu kita mengkambing hitamkan seluruh suporter sepak bola Indonesia,” kata Rudyono, dalam rilis yang diterima HARIANTERBIT.CO, Selasa (20/6/2023).
Sementara itu, legenda sepak bola Indonesia, Kurniawan Dwi Yulianto menilai, peran suporter teramat penting bagi pemain. Suporter bisa menjadi penyemangat pemain ketika kelelahan saat bertanding. “Sekaligus menjadi controlling untuk performance kita. Dulu saya dan pemain lainnya pasti mengatakan tidak ingin mengecewakan suporter ketika main,” tandas Kurniawan.
Ketua Umum PSTI Ignatius Indro mengatakan, hingga saat ini suporter hanya dijadikan objek tanpa diperhatikan bagaimana jaminan keamanan dan kenyamanan dalam menyaksikan pertandingan. “Contoh sederhana, saat pertandingan melawan Argentina kemarin, dengan harga di atas rata-rata pertandingan timnas lainnya, apakah ada asuransi yang melindungi suporter? Ini menunjukkan belum ada jaminan keamanan dan kenyamanan dalam menyaksikan pertandingan,” ungkapnya.
Anggota Dewan Pembina PSTI Parto Bangun menyatakan, PSSI sebagai induk sepak bola Indonesia harus melakukan kerja nyata bagi peningkatan kualitas suporter dan tidak hanya bersifat seremonial semata. “PSSI telah membentuk presidium suporter yang hingga saat ini tidak jelas apa yang telah dilakukan untuk melakukan edukasi suporter hingga ke akar rumput, yang terlihat hanya kumpul-kumpul pimpinan komunitas semata,” imbuhnya.
Bendahara Umum PSTI Brian Matthew berharap agar pengaturan suporter di setiap pertandingan bisa optimal. Diharapkan pengelolaannya dapat meniru pertandingan olahraga di luar negeri, khususnya negara maju. “Pengaturan ini mulai dari ketika mereka datang ke stadion terkait lokasi parkir, masuk ke dalam dengan filterisasi/seleksi penonton yang ketat, hingga di dalam stadion mereka dipisah-pisahkan sesuai kategori penonton yaitu hardcore atau pendukung fanatik, penonton keluarga dan penonton casual,” ungkapnya.
Sementara itu, mantan Deputi Sekjen PSSI Fanny Riawan berharap pada pemerintahan selanjutnya, olahraga harus masuk dalam Kementerian Olahraga dan Pariwisata, dan masalah kepemudaan masuk kedalam kementerian lain. Dengan demikian olahraga dan suporter masuk dalam skala prioritas pemerintah. “Saya harap ke depan kementerian bukan lagi Kemenpora melainkan sport and tourism. Jadi olahraga benar-benar menjadi fokus dan menjadi destinasi wisata tersendiri. Termasuk juga dengan perbaikan semua permasalahan supporter,” tandasnya.
Dekan Fakultas Olahraga Universitas Negeri Surabaya Dwi Cahyo berharap organisasi timnas bisa menurunkan sikap suporter timnas yang sudah bagus kepada suporter klub. “PSTI harus bisa mewariskan kemampuan meningkatkan kualitas suporter timnas kepada suporter klub, dengan cara melakukan kerja sama dengan pihak klub sehingga kita bisa menciptakan suporter yang berkualitas di semua lini,” tuturnya.
Turut hadir dan menjadi narasumber dalam FGD, pengamat sepak bola M Kusnaeni, Direktur Studi Komunikasi Olahraga Bung Karno Meistra Budiasa, dan dimoderatori oleh akademisi Rio Johan Putra. (*/rel/dade)