MENANGKAP JIWA NASHAR ‘ABSTRAK INDONESIA’

Posted on

Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi

TATKALA Sudjojono mengatakan, Sudita Nashar tidak berbakat dan menyarankan menjadi tentara atau pegawai negeri, apa yang dilakukan Nashar bukan menyerah justru semakin menggebu-gebu. Siang malam ia melukis dan mungkin bisa dikatakan maniak melukis. Sampai sampai ia memasrahkan hidupnya untuk melukis.

Apa yang ia lukis bukan kulit kelontongannya, namun jiwanya. Ia gelisah tatkala Chairil Anwar mengatakan dirinya memang rajin melukis, melukis penderitaan namun tidak tahu bagaimana rasanya penderitaan. Apa yang dikatakan orang lain tentang kesenimanannya, bagi Nashar tidak ia pedulikan namun suatu saat akan dipikirkan dan menjadi kegelisahannya. Ia tulis dalam surat-surat malam. Ia seakan membeku namun memikirkan bagaimana agar dapat cair.

Menurut Ayip Rosidi, karya Nashar tidak disukai orang, namun dirinya menyukainya karena aneh. Walaupun secara perspektif tidak tepat namun di dalam lukisan Nashar oke-oke saja. Kegigihan Nashar begitu besar dan mungkin juga keras kepala. Bukan saja ke orang-orang lain, namun juga bagi dirinya. Ia berpendapat menjadi pelukis itu melakukan atau praktek melukis untuk memahami alam dan kehidupan. Teori-teori dan konsep merupakan alat bantu untuk memahami alam dan kehidupan.

Nashar tidak sebatas mengajar, tetapi ia memberi teladan apa bagaimana menjadi pelukis. Bahkan ia berani mengatakan teroboslah sekat bakat atau tidak berbakat nanti akan mengetahui bahwa kita berbakat atau tidak. Kredo Nashar tnbtang lukisannya yang tiga non (nonteknis, nonkonsep dan nonestetis), menurut saya ini keberanian melawan hegemoni seni rupa yang ada. Yang dikatakannya pada kelontongan-kelontongannya atau raganya. Jiwanya sendiri tidak ketemu. Nashar melukis apa adanya dan kadang dengan alat seadanya terus saja mengalirkan hasrat melukisnya. Tidak memikirkan akan laku atau tidak, orang lain senang atau tidak, ia tidak ambil pusing.

Karya Nashar boleh dikatakan abstrak yang Indonesia. Dengan berbagai gaya dan prinsip-prinsipnya ia berani keluar dari kotak kenyamanan dan kemapanan seni-seni pada hegemoni Barat. Apa yang dilakukannya menerobos sekat bakat dan tidak berbakat ia berupaya merasakan penderitaan. Tidak mudah memang hidup seperti Nashar, karena itu panggilan jiwanya dan tidak dibuat buat. Ia apa adanya mungkin orang lain menganggapnya aneh, namun itulah jiwa dan jati dirinya. Ia tidak mencontoh siapa-siapa, ia menemukan siapa dirinya.

Nashar seorang pembelajar, ia berupaya memahami seniman-seniman ternama dan ia bergaul dengan para sastrawan. Terlihat dirinya mampu menuliskan isi hatinya atau catatan-catatan kehidupannya dalam surat surat malam. Intelektualitas Nashar mampu membentengi prinsipnya. Ia bukan sekadar nekat dan ngawur, namun ada yang melandasi pengetahuannya. Ia sering menonton latihan drama, dan baginya menikmati suatu lukisan itu ya nikmati saja dan berusaha menyentuh jiwa sang pelukis itu sendiri. Baginya teori-teori justru menjadi penghalang atau hambatan yang mengecilkan kebebasan. Karena teori-teori itu datangnya dari luar.

Ia juga mengatakan keinginan menjadi bagus dan indah itu semua ada batasnya. Memahami pendapat Nashar tentu tidak mudah, namun sebenarnya ia ingin mengatakan tangkaplah jiwanya jangan terjebak pada kulit-kulitnya saja. Bebaskan dirimu dari segala sesuatu belenggu yang justru menghambat atau mempersempit kebebasanmu.

Apa yang menjadi pendapat Nashar tidak sebatas diomongkan, namun ia juga tulis dan praktekkan dalam melukis. Saya seakan melihat analogi pohon pisang yang dapat dimasak bukan bagian-bagian luarnya, namun intinya tengah-tengah batang pisang yang untuk mendapatkannya hrs membuka lembaran-lembaran kulit luarnya. Mungkin seperti itu apa yang ingin disampaikan Nashar dalam menangkap jiwa bukan terjebak pada kulitnya.

Pada surat kesembilan, Nashar menafsir apa yang dilakukan Paul Gauguin yang meninggalkan Paris menuju Pulau Tahiti. Ia berkelana di pulau itu untuk menemukan kemurnian hidup. Ia meninggalkan pekerjaannya di bank sebagai caranya menemukan apa yang ia cari atau ingin temukan. Kalimat-kalimatnya bukan meng-copy paste pendapat orang lain, namun Nashar memiliki pendapat sendiri. Ia bukan pengekor, ia kepala, berupaya menemukan dan menunjukkan sesuatu yang ia yakini benar.

Nashar sendiri menyadari dirinya tidak mampu menuliskan kebebasan secara konseptual. Namun setidaknya ia mengajak untuk memahami dan merasakan kebebasanya itu. Baginya mengenal alam sangat penting, bahkan sebelum melukis pun ia mengajak untuk berdialog atau memahami sehingga dapat menemukan kebebasan yang hakiki. Nashar memcontohkan tentang Affandi dan Rusli.

Ia menyadari bahwa tekad atau kemapanan dan tingkat kematangan jiwa untuk berani melebur dengan alam atau menghayati kebebasan ada kadarnya. Tatkala belum kuat akan dapt redup bahkan gugur. Namun tatkala kadar yg kuat maka tak alan lagi mudah luntur atau guggur. Bagi Affandi kesusahan merupakan sumsum dari karya-karyanya sehingga jiwa dan kekuatannya nampak kuat, dan itulah jiwa Affandi. Sedangkan bagi Rusli, Bali bukan sebagai objek melainkan sebagi jiwa Rusli.

Prinsip-prinsip Nashar banyak yang bisa kita petik dan keteladannya sebagai seniman bebas yang menangkap jiwa. Apa yang dilakukannya sebagi kesadaran diri membangun kadar jiwa sebagai pelukis yang terus melukis siang dan malam sebagai upaya menemukan jati dirinya. Hidup dan kehidupannya ia pertaruhkan. Ia tidak berpikir laku atau orang lain suka, ia terus berkelana menemukan jati diri kehidupannya yang bebas dalam arti luas. Ia tidak lagi mau terhalang atau terhambat segala sesuatu yang dari luar.

Nashar terus belajar dari alam dan mempraktikkannya. Nashar memiliki pendapat bahwa mendidik atau menyiapkan menjadi seniman profesional yang memiliki jiwa seniman itu perlu model workshop atau model sanggar. Kecuali menyiapkan orang-orang yang berjiwa sarjana seni, maka pendidikan di kelas menjadi sangat penting. Nashar maestro, aset bagi bangsa ini, walaupun lambat dan bahkan sangat lambat memahami Nashar, namun waktu yang akan menunjukkan ia benar-benar empu yang akan menunjukkan keindonesiaanya. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *