Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi
PAGI hari di saat sedang berdiskusi tentang buku ‘Road Safety Policing’ Pak Deny Kusumah dari Bandung menyampaikan gagasan tentang ‘My house my museum’. Sontak saja saya jadi tersengat dan sontak mengingatkan saya membangun kecintaan akan seni budaya dari rumah. Sesuatu yang tak benda (untangible) dari ‘house’ menjadi ‘home’. ‘Home’ ini membuat energi yang menjadikan ‘home sweet home’ untuk berkarya, berkreasi bahkan menjalani hidup dan kehidupan hingga menghadap Tuhan.
Museum di rumah kita, mengajak kita peduli akan benda-benda apa saja yng kita miliki ditata atau diapresiasi akan makna dan nilainya yang bukan harga pasar melainkan energi yang menghidupkan. Bukan kemewahan namun menjadikan ‘home sweet home’ ini yang terpenting. Mebeler atau benda benda apa saja yang ada di rumah untuk bisa dinikmati tidak sekadar nyampah atau nyusuh.
‘My house my museum’ menyehatkan jiwa memberikan pelepasan menata dan menjadikan barang barang yang ada di rumah berharga dan bermakna. Ini tidak sebatas rumah, tetapi apa saja bisa bahkan kantor, warung penginapan hotel atau apa saja bisa. Gerakan ini juga merupakan gerakan moral seni budaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia terutama pemiliknya. Memberdayakan yang ada mensyukuri bahkan menikmati.
Ide cerdas ini tatkala digelorakan akan sangat memdukung dalam rekayasa sosial atau ‘social engineering’ dalam mengatasi berbagai patologi sosial dan sebagai katarsis pelepasan jiwa merdeka dalam berkarya. Kecintaan akan seni budaya tertransformasi akan adanya hasrat dalam jiwa yang berani jujur bergerak dari apa yang ada menjadi sarat makna.
Keteraturan sosial merupakan suatu simbol peradaban yang dapat dibangun dari ‘my house my museum’. Museum dalam konteks ini bukan semata mata mengoleksi atau memajang barang kuno, melainkan membangun tata ruang bagi hidup dan kehidupan manusia. ‘Sak anane sak isone jujur ora digawe-gawe’ dari spirit ini akan ada keberanian dan rasa kepuasan dari dalam diri kita akan karya karya yang ada.
Museum di rumah kita tidak sebatas di dalam ruang rumah, namun juga di lingkungan rumah. Kebersihan keindahan rasa jiwa merdeka yang kreatif inovatif bermunculan dan sarat intepretatisi.
Rumahku museumku setidaknya dapat memberdayakan ruang-ruang rumah di berbagai sudut. Dari membiasakan menata, merangkai bunga, menanam pohon, membuat dan memelihara bonsai, mengatur posisi merawat benda-benda religi, seni tradisi atau yang menjadi hobi kita maupun teknologi semua bisa. Memadukan warna dalam konteks kenyamanan bukan sekadar mengekor apa yang pada umumnya ada.
‘My house’ juga bisa menjadi ‘my gallery’ yang memajang dari berbagai sisi. Pendidikan seni budaya bukan hafalan, tetapi ditanamkan dari mencicipi rasa jiwa dalam berbagai cara. Salah satunya ya melalui gerakan moral ‘my house my museum’. Contoh besar yang bisa kita lihat pada rumah seniman budayawan seperti:
- Rumah Sawomateng milik JJ Rizal
- Rumah Butet Kartarajasa, warung Bu Ageng
- Rumah Oei Hong Djien
- Rumah pelukis Affandi
- Rumah Ong Hok Ham
- Omah Petruk di Karang Kletak milik Romo Sindu
- Rumah pelukis Nasirun
- Rumah pelukis Joko Pekik
- Padepokan Apel Watoe milik pelukis Dedy Paw
- Galery Arma milik Agung Rai
- Galeri Neka milik Suteja Neka
- Vila Jerman di Papua yang dibangun dengan gaya khas Papua
- Warung Hijau milik Sufyan Syarif
- Gudang tembakau yang menjadi museum milik Oe Hong Djien
- Kampung Dukun Lereng Gunung Sumbing, dan masih banyak lagi.
Tidak harus mewah, tidak harus mahal, namun ini bisa menjadi kekuatan baru bagi seni budaya dan mendukung pariwisata. Tatkala membudaya, maka gerakan ini mampu melahirkan kampung-kampung seni seperti yang dirintis Romo Mangun di bantaran Sungai Code. Kampung warna-warni di Malang. Peziarahan Sendang Sono, model rumah-rumah di Ubud. Kampung Seni Keliki, Batuan, Batu Bulan Bali, dan sebagainya. Bahkan alam pun sebagai lingkungan hidup seperti, sawah teras sering Cekingan Bali, dan sebagainya.
Seni budaya dimulai dari rumah untuk menjadi pilar bangsa dalam menjaga kebhinekaan, kedaulatan bangsa dan negara. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)