Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi
KONFLIK sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan-permasalahan sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger. Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Namun itu diomongkan terus ke mana-mana dan bagi orang yang tidak pernah mengalami pun bisa ikut menceritakan. Dari mulut ke mulut ditambah-tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip. Semakin digosok semakin sip. Gosip ini tatkala berlapis-lapis dan terus-menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah-olah menjadi kebenaran, maka akan menjadi kebencian.
Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial tatkala dikaitkan atau dihubung hubungkan dengan primordial. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok-kelompok kategorial. Di dalam primordial emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel, saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran yang tidak berbasis hal-hal yang hakiki hanya berdasarkan populasi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing bisa saja semua meyakini itu anjing.
Di dalam masyarakat yang majemuk primordialisme sangat mudah untuk memecah-belah atau mengadu domba satu sama lain. Antarsuku, antarras, antaragama, antarkelompok menjadi basis solidaritas pokok e yang sebenarnya pekok e. Rasionalitasnya koprol dibuang. Yang ada di kepalanya hanyalah hajar, serbu, hancurkan mereka, musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokan dan pengambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan. Tatkala kelompok-kelompok primordial ini sudah menjadi ‘crowd’ maka akan muncul gerakan anarkisme walaupun hanya dengan ‘bullshit’ dikeroyok si a dan si b atau mengarang kejadian seolah teraniaya. Sifat orang-orang yang cengeng mudah diberdayakan untuk membakar amarah. Sikap ksatri rela digantung diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh jiwa yang heroik walaupun melakukan hal-hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya, diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan. Seakan orang mabuk ia lupa dengan dirinya dan sadar menyesal di belakang hari.
Era ‘post truth’ ini sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman dahulu walaupun tidak separah di era digital dengan media sosialnya. Menghasut, memecah-belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan-pemberontakan mulai dari Ken Arok, hingga penyerbuan tentara Tiongkok ke Kediri, pengusiran Pasukan Kubilai Khan, pemberontakan-pemberontakan zaman Majapahit, masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini terus saja ada. Primordialisme menjadi pilihan, apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa saja, apalagi yang berkaitan dengan harga diri ini mudah memicu konflik. Kadangkala pelakunya bisa dari orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila. Ini putus mata rantainya. Konflik sosial ini ‘by design’ walaupun kadang tanpa kesengajaan. ‘Bullshit’ di era ‘post truth’ seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung-ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.
Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pada solidaritas semu apalagi dengan berbagai hal yang menjurus kepada premanisme. Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuhkembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya. Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata. Kesadaran akan wilayahnya orang-orangnya, suku bangsa, bahasa dan seni budayanya menjadi aumber daya baru. Penanaman cinta bangsa bukan lagi doktrin namun penumbuhkembangan nalar dan daya logika waras. Lagi-lagi ujungnya memang politik sehat waraslah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)