Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi
SENI dan berkesenian benang merahnya ada pada rasa, cipta, karsa dan karya. Cipta dapat dipahami sebagai logika pemikiran daya nalar. Rasa berkaitan dengan hati atau jiwa maupun indera. Karsa dapat dikaitkan dengan keinginan atau niatan dapat juga sebagai hasrat kemauan. Karya dalam wujudnya hasil dari apa yang dikerjakan. Di dalam seni setidaknya dapat dikategorikan dalam nada suara cerita gerak kata maupun rupa. Kesemuanya memiliki suatu kedalamannya dalam menampung ke semua hal itu.
Proses penciptaan karya seni setidaknya melalui proses-proses penajaman atau kepekaan akan suatu cipta, rasa, karsa hingga menjadi karya. Kedalaman suatu karya tidak semata-mata dipahami namun juga dapat dihayati ditelusuri dan didialogkan melalui indera dengan jiwa. Rasa dalam karya dapat saja berdiri otonom berbeda antara penikmat dg sang penciptanya.
Memahami apalagi menikmati seni memerlukan suatu kemampuan menyatukan cipta, rasa, karsa dan karya dalam penghayatan akan suatu karya seni. Seringkali indera tertambat pada karya saja dan belum mendalami apa yang ada dalam karsa, rasa dan ciptanya. Memahami apalagi menghayati memerlukan adanya ketertarikan yang ditransformasi dalam pendidikan formal maupun nonformal.
Kemampuan menjabarkan atau mengonsepkan karya dalam makna dan berbagai analogi hingga pesan moral yang akan disampaikan ini merupakan suatu kedalaman. Kedalaman akan suatu karya ini yang dikatakan rohbatau jiwa yang mampu menggetarkan hati. Bisa saja bentuk dalam karya seolah seadanya bahkan terkesan semaunya namun kedalaman akan menuntun ke dalaman akan cipta rasa karsanya.
Berkesenian dan menghasilkan karya seni memerlukan proses perjuangan panjang. Karena seni dan kesenian ini bukan sekadar memgekor atau mengikuti apalagi mengecerkan kembali atas konsep dan teori atau pendekatan-pendekatan seni yang sudah ada. Manusia memang makhluk pemikir, penanya yang penuh kesangsian pencari walaupun juga ada sifat meniru atau mimesis.
Proses pembelajaran seringkali dicontohkan dari suatu karya. Mencontoh alam benda manusia dengan kehidupannya dan masalah-masalahnya. Alam pikiran manusia dari kebahagiaan hingga kegelisahan ketakutannya dapat dituangkan menjadi karya. Konsep meniru yang terus-menerus dilakukan akan membekukan daya cipta, rasa, karsanya. Karyanya kembali datar dangkal semu tiada kebaruan bahkan nampak juga tiada keberaniannya apalagi pesan moralnya.
Seni kadangkala memerlukan terobosan baru mengoprolkan kemapanan. Kecerdasan cipta, rasa dan karsa inilah yang perlu dibangun. Diasah terus-menerus hingga menemukan jati dirinya. Seorang maestro menurut saya seorang yang sudah selesai dengan dirinya dalam proses penciptaannya. Tidak lagi berpikir abcd atau menimbang-nimbang penuh keraguan. Berani saja melepas menambahi menjungkirbalikkan bahkan membuang kemapanan.
Eksentrik seni dan kesenian bukan pada fisik atau penampilan sang senimannya semata, melainkan eksentrik kedalaman akan cipta, karsa dan karyanya. Menemukan menciptakan memerlukan kemampuan imajinasi dan permenungan panjang melepaskan dirinya sendiri untuk secara total di dalam cipta, rasa, karsa dalam berkarya. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)