WAYANG: TONTONAN, TUNTUNAN DAN TATANAN

Posted on


Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi

WAYANG bisa dimaknai sebagai bayangan atau refleksi kehidupan manusia. Hampir semua cerita wayang berkaitan dengan kehidupan juga berkaitan dengan ‘ngunduh wohing pakarti’, menuai apa yang ditabur. Pada cerita wayang dinamis mampu menjembatani banyak hal, bahkan untuk memberikan hiburan pelipur lara. Penggeli hati. Wayang dimainkan oleh dalang yang memiliki kepiawaian dari seni suara, seni bahasa, seni berganti-ganti suara sesuai karakter yang dimainkan. Karakter-karakter manusia ada di dalam wujud wayang dari yang kasar, halus, kaum sudra, satria, sampai brahmana bahkan para dewa hingga nirwana.

Wayang sebagai tontonan bervariasi dengan nilai-nilai adiluhung yang semakin lama seolah menguap atau menjauh dari generasi-generasi muda. Mungkin saja karena dianggap kuno atau kurang dipahami atau bida juga tergerus perubahan dan perkembangan zaman. Pakem dari wayang yang konvensional di era milenial mungkin diperlukan negara dengan ‘political will’, perhatian para pakar dan akademisi serta dari para pelaku bisnis. Karena wayang ini memerlukan energi biaya untuk hidup. Bagaimana ada kreasi-kreasi baru yang mampu untuk hidup dan memberi kehidupan.

Membuat hidup semakin hidup. Sukasman Sigit dengan wayang ukurnya berupaya membuat kebaruan atas wayang dengan ‘style’ yang lebih dinamis walaupun masih berpegang pada pakem. Slamet Gundono dengan wayang suket dan Dalang Jemblung, Sujiwo Tejo dan lain-lain mampu mengembangkan gaya yang lebih dinamis. Ki Entus Susmono melalui wayang golek memberikan tatanan melalui tokoh Lupit dan Slenteng dengan gaya logat Tegal yang khas. Warseno Slenk, Seno Nugroho menjadikan wayang tontonan dinamis menghibur. Para maestro wayang seperti Ki Narto Sabdo, Ki Hadi Sugito, Ki Manteb Sudarsono telah dengan gigih dan dengan gagah terus konsisten dalam dunia wayang.

Pepadi sebagai wadah komunitas pedalangan telah cukup eksis dalam menumbuhkembangkan seni pedalangan di zaman modern. Banyak lagi wadah-wadah seni pedalangan yang dapat mengemas pertunjukan wayang dikaitkan dengan pariwisata. Ditampilkan dengan berbagai bahasa yang disesuaikan oleh audiennya. Bida saja dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia atau dengan bahasa-bahasa lainnya dengan dukungan teknologi baik ‘sound system’ maupun ‘lighting’-nya atau pencahayaannya. Bahkan tema cerita pun bisa dimodifikasi atau diperbaharui.

Wayang tatkala statis mandeg tanpa bantuan dukungan kita semua bisa saja punah atau bergeser ke negara yang ‘care’. Warisan budaya adiluhung ini perlu kita lestarikan. Transformasi akan seni wayang dan pedalang memang bukan sekadar diajarkan, namun ada spirit yang merupakan ‘passion’ bagi hidup tumbuh dalam hidup dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Pemerintah perlu andil besar memberi panggung atau media untuk eksis dan tampilnya para dalang dengan wayang-wayangnya. Dari para pelaku bisnis membantu dengan CSR-nya agar menjembatani memarketingkan. Para ahli atau pakar dan kalangan akademisi menguratori sehingga wayang terus eksis dalam dunia akademis sekalipun.

Nampaknya mudah dibicarakan namun sesunghuhnya memerlukan perjuangan dan proses yang tidak gampang. Perlu ‘political will’ yang berpihak pada seni dan budaya bangsa khususnya wayang. Perlu pemimpin dengan kepemimpinan yang transformatif yang sadar akan peradaban dan keteraturan sosial yang terjaga dari seni budaya. Para pakar dan kaum akademisi yang mau membuka mata dan hati membantu mengemas dalam pemikiranan, kajian-kajiannya dan menguratorinya agar dapat dikenal luas. Para pelaku bisnis pun peka peduli dan ikut bertanggung jawab akan lestarinya seni wayang dan pedalangannya, setidak-tidaknya mau memberi ruang atau ‘nglarisi’. Kalau bukan kita siapa lagi kalau tidak sekarang kapan lagi… rahayu rahayu rahayu…. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *