Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi
DARI kelas 3 SD sekira tahun 1973 saya sudah mengenal dan dikenalkan dengan seni bonsai oleh bapak saya. Saya ditugaskan menyiram bonsai yang airnya saya ambil dari sungai depan rumah saya. Pada saat saya SMP pada tahun 1980-an mungkin ada seratusan bonsai milik bapak saya dibeli oleh bos Perusahaan Otobus Ramayana. Berbagai macam pohon yang menurut saya cukup bagus segi artistiknya. Pada saat saya membantu mengangkati bonsai-bonsai yang dibeli tanpa terasa menetes air mata saya. Sedih rasanya pohon-pohon yang saya rawat, juga hasil perburuan saya dengan kakak saya selama bertahun-tahun tiba-tiba harus berpindah tangan kepemilikannya. Bapak saya tahu akan kesedihan hati saya, beliau menasihati saya: wes engko nggawe meneh. Dalam hati saya berapa lama lagi dan bagaimana membuat yeng sama tentu tidak akan bisa. Saya terdiam dan berusaha memahami apa yang bapak saya maksudkan.
Apa yang saya alami ini pun dialami banyak seniman tatkala melepas karya seninya atau koleksinya. Dalam hati tentu memberontak tetapi apa daya kebutuhan hidup sudah mendesak. Ada seniman yang terpaksa melepas karyanya demi anaknya agar tidak dikeluarkan sekolah. Ada yang untuk berobat. Ada yang karena memang harus bertahan dan melanjutkan hidup. Ada juga karena anak-anaknya tidak mampu mempertahankan banyak alasan-alasan lain antara seniman dengan karya seninya yang menjadi polemik hati di antara kecintaan dan kebutuhan.
Seniman seringkali terbelenggu atau malah dibelenggu oleh kolektornya atau pembelinya. Uang seolah sudah mengalahkan, menjajah sehingga sang seniman harus munduk-munduk untuk mempersembahkan karya hati dan jiwanya. Seniman menjadi tidak garang, tidak lantang, tumpul dari kritisnya ya karena kebutuhan. Tentu saja tidak semua seperti itu. Masih banyak yang idealis bahkan hingga meninggal di depan karyanya pun ada demi menjaga idealismenya. Apa yang ingin saya tunjukkan adalah betapa lemah dan rentannya hidup sebagai seniman yang mengaku bahwa seniman itu digaji Tuhan. Entah dari tangan siapa Tuhan memberi uluran tangan kasihnya bagi sang seniman.
Ada juga seniman dengan terpaksa menjual karya seninya kenorang lain demi melawan salah satu kolektornya yang jumawa dengan uang dan hartanya. Walaupun dengan harga yabg lebih murah namun hatinya ikhlas lega melepaskan karyanya dibawa. Kejumawaan materi membuat seniman seolah mau tidak mau mendengarkan bahkan menuruti kemauan sang empunya uang. Pertanyaannya, peran pemerintah di mana? Berapa banyak galeri atau museum seni tumbuh setiap tahunnya? Berapa banyak museum di setiap kota? Adakah museum atau galeri seni milik pemerintah dianggarkan untuk merawat seniman dan mengkoleksi karya-karya seniman? Dapat diduga jawaban-jawabannya merupakan jawaban ngeles atau mbulet yang antara harapan dengan kenyataan sama-sama larut di dalam ketidakpahaman.
Seniman dan karya seninya hampir semua hidup sendiri-sendiri, berjuang sendiri-sendiri bahkan wadahnya pun kalau ada antara hidup dan mati tidak lagi dapat dibedakan. Kalaupun wadahnya ada diolah bagaimana menjadi sentra bisnis yang lagi-lagi bukan bagi pembinaan seni dan senimannya dapat nunut ngiyup agar dapat hidup tumbuh dan berkembang. Di dalam negara atau masyarakat yang seniman dan karya seninya kurang dihargai atau malah tidak ada tempat atau ruang lagi menunjukkan bahwa wilayah atau kawasan atau komunitas itu kering atau tandus akan rasa manusiawinya. Mungkin saja hipotesis saya kurang tepat namun itulah faktanya. Rasa haru kaum borju, kaum politokus, kaum penguasa dan pengusaha terhadap seniman dan karya seninya hampir-hampir padam. Kalaupun ada sebatas lilin yang sudah tinggal padamnya.
Seniman dengan karya seninya sesungguhnya patriot-patriot kebudayaan yang berjuang antara hidup-matinya peradaban. Memang seniman tidak bisa sendirian, peran para kaum akademisi, kaum penguasa, kaum pengusaha untuk ada rasa haru. Bukan sekadar beli selesai atau menyumbangkan ini-itu selesai namun bagaimana peradaban dan kebijakannya juga melihat tumbuh berkembangnya kedaulataan. Setidaknya secara sederhana mau dan mampu menghapus air mata dan memberi harapan seni akan terus dapat hidup tumbuh dan berkembang. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)