HARIANTERBIT.CO – Citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “jaminan mutu” bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih seiring aksi tangkap tangan banyak pejabat tinggi, para wakil rakyat di DPR sampai DPRD karena kasus korupsi. Mulai menteri, gubernur, bupati, walikota, sekretaris daerah, direktur jenderal di kementrian sampai jenderal perwira tinggi di kepolisian, tentara serta para penyandang jabatan penting lainnya. KPK yang dilengkapi dengan penyidik, penyelidik, dan jaksa yang bekerja dalam satu tim, menunjukkan peran signifikan memberantas korupsi di negeri ini.
Tidak perlu diragukan dari keberadaan KPK. Publik percaya sepak terjang lembaga anti rasuah ini sejak eksis 2002 silam mengemban amanat UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harus diakui banyak kritik muncul atas sepak terjangnya. Kebanyakan bersifat teknis dan psikologis seperti kritik soal tebang pilih, hanya menyasar kelompok tertentu, jadi kepentingan politik dan kritik sejenis lainnya.
Meski banyak pihak puas dengan keberadaannya, di usia KPK yang ke-17 serta di tengah persiapan melakukan seleksi komisioner KPK masa bhakti 2019-2023, mari merenungkan kembali keberadaan lembaga tersebut agar lebih berdaya guna menjaga wibawa bangsa berikut ini:
Peran KPK. Apakah mau dipertahankan seperti sekarang atau perlu direvitalisasi?
Apa peran besar yang perlu dilakukan KPK sekarang ini? Kasus kerugian negara di sektor apa yang menjadi prioritas kerja KPK?
Bagaimana dengan sistem penyediaan personel KPK, apakah bisa menjamin terbangunnya penanganan korupsi secara profesional dan adil?
Masih relevankah pembatasan terhadap aparatur sipil dan non-sipil untuk menjadi komisioner KPK?
# 1 Dipertahankan atau Direvitalisasi ?
Peran KPK lebih banyak diketahui publik dalam aksi yang sifatnya teknis, khususnya kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap para penyelenggara negara dan swasta yang terlibat dalam praktek korupsi, suap, gratifikasi dan tindak pidana yang merugikan negara. Kalau semula yang ditangani kelas mega korupsi dengan kerugian triliunan atau minimal ratusan milyar rupiah, belakangan kerja OTT KPK juga menyasar praktek korupsi dengan barang bukti ratusan bahkan puluhan juta.
Mengacu pada tugas dan kewenangan KPK, publik akan bertanya-tanya, apakah kegiatan dominan KPK sekarang ini sesuai undang-undang?
Dalam UU 30/2002 secara jelas disebutkan 5 Tugas KPK, yaitu: a) Pengkoordinasian dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b) Pengawasan terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c) Melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara; e) Melakukan tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Untuk melaksanakan tugasnya KPK diberi Wewenang: a) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; b) Meminta informasi mengenai kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait; c) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; d) Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK bahkan diberi kewenangan mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan.
Berpijak dari amanat undang-undang, marwah KPK sejatinya bukanlah lembaga yang melakukan aksi rutin berupa penindakan hukum yang tidak tergolong pidana korupsi kategori extra ordinary. Bagaimana mungkin satu lembaga yang sifatnya tunggal, hanya ada di Jakarta, harus menangani berbagai kasus korupsi di seluruh wilayah NKRI yang terbagi menjadi 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota?
Mengoptimalkan peran penindakan korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan merupakan langkah yang realistis dan berdaya guna. Setidaknya dari coverage area organisasinya, Polri memiliki seorang direktur tindak pidana korupsi (Dir Tipikor, bintang satu) di Badan Reserse dan Kriminalitas Polri dengan jaringan 34 Polda. Di dalamnya terdapat seorang perwira menengah senior sebagai Direktur Reserse dan Kriminal Khusus, didukung satu unit yang khusus menangani tindak pidana korupsi berpangkat AKBP serta memiliki jaringan di 416 Polres dan 98 Polresta yang didalamnya tersedia organisasi unit tindak pidana korupsi dipimpin seorang Ipda.
Begitu juga Kejaksaaan, di pusat memiliki Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, terbagi dua Sub Dit yang khusus mengurusi tindak pidana korupsi yaitu Sub Direktorat Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian Aspidsus yang di dalamnya ada Kepala Seksi Tindak Pidana Korupsi, tersebar di 34 Kejaksaan Tinggi. Didukung Kasubsi tindak Pidana Korupsi di 514 Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.
Dalam organisasi kejaksaan bahkan ada upaya pencegahan korupsi dalam formasi TP4D (Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah), dipimpin Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi, dan juga Seksi Pidana Khusus dari Kejaksaan Negeri. TP4 dan TP4D dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015 tanggal 01 Oktober 2015, selanjutnya dikeluarkan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan Republik Indonesia.
Jika persoalannya adalah kemampuan teknis, tugas KPK untuk mendorong memberdayakan para personel di kepolisian dan kejaksaan. Jika masalahnya adalah tingkat kompetensi dan organisasi, KPK bisa meminta pemerintah mengembangkan dan memperbaiki satuan penindakan tindak pidana korupsi. Kalaupun masalahnya adalah kepercayaan, KPK bisa mengambil alih jika proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan secara lamban atau bermasalah.
KPK selayaknya tetap pada format supervisor lembaga lain, dan berfokus pada kegiatan penindakan korupsi skala besar atau setidaknya untuk tindak pidana korupsi terstruktur, masif dan sistematis agar bisa menjadi yurisprudensi untuk Polri dan Kejaksanaan dalam implementasi di lapangan. Supervisi lebih efektif untuk gerakan penindakan korupsi secara massal mengingat aspek keterbukaan mudah diakses, begitu juga rekam jejak digital sudah terdokumentasi dengan baik.
#2 Peran Besar dan Prioritas Kerja KPK
Saat ini pemerintah didera keterbatasan menghadapi berbagai praktek curang di berbagai sektor yang bukan saja merugikan negara, tetapi mengancam keberlanjutan pendapatan negara yang sah. Kejahatan yang dimaksud belum banyak ditangani karena kerumitan kerjanya, aturan hukum yang belum mampu mengaturnya serta perlu keahlian dan sarana yang lebih untuk bisa mengungkapkannya. Kebanyakan kejahatan tersebut berpangkal pelanggaran dan pidana perpajakan, penjarahan kekayaan laut, kejahatan di sektor pertambangan dan migas, serta kejahatan keuangan yang memakai jaringan media sosial dan siber.
Tanpa mengecilkan apa yang sudah dilakukan Polri dan lembaga lain, tindakan yang mengancam keberlangsungan pendapatan negara yang sah itu memang tidak mudah diungkap dan dipidana. Menimbang kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap KPK, serta dukungan peralatan dan kemampuan personel, sekarang saatnya lembaga anti rasuah ini untuk berperan lebih.
Dalam konteks pajak yang menurut KPK potensi aktualnya berada di angka Rp 4.000 triliun, sementara pendapatan negara dari sektor pajak tahun 2018 nilainya Rp 1.577 triliun. Terdapat kebocoran pajak Rp 2.423 triliun !!! Sulit jika hanya mengandalkan aparatur perpajakan. Perlu dorongan kuat dari lembaga yang legal tapi memiliki kompetensi memadai. Selain punya kemampuan dibidang hukum dan disokong jaringan lembaga penting lain seperti PPATK, Imigrasi dan auditor negara (BPK, BPKP), juga berkemampuan membaca neraca, melakukan analisa angka, melakukan monitoring dan paham ekonomi.
Dilihat dari struktur organisasi dan kompetensi para penyelidik dan penyidik, KPK mampu melakukan tugas dan peran sebagai pendobrak untuk menaikkan tax ratio dan tax effort.
Setidaknya empat hal memicu penyebab bocornya pendapatan pajak. Pertama, terkait shadow economy alias subjek pajak yang sulit dipajaki. Blunder pemerintah dengan mencabut PMK 210/2018 mengatur administrasi e-commerce sehingga ekonomi digital menjadi sulit didata. Kedua, kebocoran terkait kompetisi tarif pajak. Sebagai perbandingan Amerika Serikat (AS) menurunkan tarif PPh badan dari 35% ke 21%, sementara Indonesia belum menurunkan tarif padahal basis data pajaknya lemah.
Hal ketiga, terkait aspek globalisasi, titik kebocoran offshore tax evasion. Namun pada kasus ini bisa ditutup dengan automatic exchange of information (AEoI). Sayangnya, masih ada masalah pada base erosion and profist shifting (BEPS) atau menempatkan penghasilan di negara yang memberikan fasilitas pajak rendah. Keempat, terkait kebocoran dalam hal pelaporan pajak tidak sesuai dengan data asli. Sehingga mncul manipulasi data alias unreprted and unpaid tax.
Sektor lain yang penting dicermati dan ditata pengelolaannya adalah kelautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan perkiraan kasar nilai potensi laut Indonesia sampai Maret 2019 senilai Rp 1.772 triliun atau setara dengan 93% total pendapatan APBN Indonesia 2018. Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Puji Rahmadi, menyebutkan kekayaan kasar yang dimaksud adalah angka yang diambil dari nilai mentah potensi kekayaan Indonesia. Artinya, belum termasuk perhitungan subjektif yang membuat nilai kekayaan menjadi berbeda-beda di tiap daerah.
Dari angka 1.772 triliun, Rp 312 triliun dari perikanan, Rp 45 Triliun dari terumbu karang, Rp 21 triliun dari mangrove, Rp 4 triliun dari lamun, Rp 560 triliun adalah potensi kekayaan pesisir, Rp 400 triliun bioteknologi, Rp 20 triliun wisata bahari, Rp 210 triliun minyak bumi, dan Rp 200 triliun dari transportasi laut. Potensi itu, masih belum sebanding dengan kontribusinya terhadap produk domesttik bruto (PDB) maupun pendapatan negara dalam format Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dimana kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap APBN hanya Rp 491 milyar.
Sektor ESDM yang rumpun besarnya berasal dari PNPB dan pajak pertambangan, mineral dan batubara tahun 2017 menyumbang APBN senilai Rp 40,6 triliun. Sedangkan sektor minyak dan gas bumi pada 2017 menyumbang PNBP sebesar Rp 85,6 triliun. Patut dikaji dan didalami apakah nilainya sudah sepadan dengan potensi dan aktivitasnya? Demikian juga transaksi keuangan yang dilakukan melalui media sosial dan siber, perlu dikaji dan didalami besaran potensinya. Potensi berupa pajak dan PNPB harus dipetakan dengan baik untuk membuat dasar kebijakan ke depan.
#3 Personel Profesional dan Adil
Prasangka bisa menjadi penumpas kepercayaan jika gagal menjawab dan menunjukkan kondisi yang sebenarnya terjadi. Begitu pula dengan prasangka bahwa dalam melaksanakan tugas operasi penindakan KPK melakukan tebang pilih, ada kecenderungan jadi alat politik serta terdapat faksi-faksi dengan kelompok-kelompok interest tertentu.
Jangan memandang enteng pertanyaan yang mungkin dianggap sebagai “pertanyaan bodoh”. Pasalnya, sampai sekarang tidak memperoleh penjelasan dan KPK terlihat belum berupaya sungguh-sungguh membuat klir pandangan negatif tersebut. Kenapa? Bisa jadi karena memang ada masalah di dalam, atau mungkin mengandung kebenaran karena dari laku dan tindakan yang tampak jika dihubung-hubungkan tersambung dalam tindak nyata yang bisa dirangkai menjadi “cerita”. Keberadaan Komisi Etik yang sifatnya internal, juga belum memenuhi harapan publik.
Kecurigaan yang berwujud pertanyaan publik, pada akhirnya bisa dipastikan tertuju pada personil di KPK. Siapa saja mereka, dari mana saja mereka, siapa yang melakukan rekrutment terhadap mereka, bagaimana kapasitas orang yang melakukan seleksi, serta berapa lama orang-orang itu bisa berada di KPK, termasuk apakah mereka membentuk kelompok interest di dalam atau murni membentuk tim profesional untuk mendukung efektifitas kerja, akan menjadi pertanyaan-pertanyaan abadi yang pada ujungnya menyebabkan distrust jika tak segera diurai.
Untuk tingkat komisioner kecurigaan adanya interest dan titipan “pesan” bisa dieleminasi sejak dini karena siapa yang mendaftar, terbukanya proses seleksi, pembentukan tim seleksi independen, serta pilihan akhir yang berlangsung di DPR dilakukan terhadap para kandidat. DPR tidak terlibat pada pemilihan awal, menjadi penangkis tuduhan negatif terhadap KPK dalam konteks keberadaan komisioner. Apalagi dalam perjalanan tugasnya komisioner KPK bukanlah orang yang kebal hukum, terbukti pernah terjadi pelengseran komisoner karena yang bersangkutan “bermasalah”. Dengan begitu pada level “Top Management” KPK yang berisi 5 komisioner, di mana satu diantaranya menjadi ketua, dengan masa jabatan 4 tahun, dalam persepsi publik sudah clear.
Di tingkat middle management yang disebut Dewan Penasihat atau Tim Penasihat KPK, seleksinya dilakukan Tim Independen, sampai saat ini juga clear di mata publik. Memang masih ada pertanyaan seperti, kenapa jumlahnya genap? Juga berapa lama masa jabatannya? Menimbang keberadaannnya sebagai middle management, selayaknya peran Dewan Penasihat KPK harus mampu memperkuat citra lembaga.
Persoalan yang serius adalah bagaimana menjawab kecurigaan publik jika dikaitkan dengan personel yang menjadi pelaksana di KPK. Sebagai sebuah institusi, KPK membutuhkan petugas untuk sekretariat yang sebagian besar permanen. Dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal yang ditetapkan oleh Presiden. Membawahi Biro Perencanaan dan Keuangan; Biro Umum; Biro Sumber Daya Manusia; Biro Hukum; dan Biro Hubungan Masyarakat. Siapa saja mereka, siapa yang menyeleksi, siapa yang menetapkan, bagaimana masa kerjanya, bagaimana status kepegawaiannya, merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Sosok personel di Sekretariat Jenderal KPK masih gelap buat publik. Jika ini bisa terbuka, mungkin akan mengurangi kecurigaan publik terhadap personalia KPK.
Dalam konteks pelaksana, sebenarnya ada empat deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Penindakan, Deputi Informasi dan Data serta Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Semua deputi memiliki sekretariat tersendiri yang terpisah dari sekretariat jenderal. Yang lebih banyak dikenal adalah Deputi Penindakan karena bisa dikatakan disinilah inti semua aksi KPK.
Tugas Deputi Penindakan terlihat jelas dari direktorat di bawahnya, seperti Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, dan Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi. Sistem rekrutment di deputi inilah yang sebenarnya mudah memunculkan kecurigaan publik. Yang pasti posisi tertinggi yaitu Deputi Penindakan KPK dijabat oleh perwira tinggi Polri bintang dua, masa penugasannya tergantung sepenuhnya pada Polri. Juga posisi Direktur Penyidikan yang juga diisi perwira tinggi Polri bintang satu. Sementara jabatan Direktur Penuntutan dipastikan berasal dari personel Kejaksanaan yang lolos seleksi dan disetujui Jaksa Agung. Sampai di sini, pola pengisiannya clear.
Bagaimana dengan penyidik dan penyelidik di KPK? Inilah isu krusial terkini yang perlu direnungkan bersama supaya muncul pola terbaik dan memberi manfaat serta daya guna maksimal. Ada dua kelompok yaitu penyidik tetap berstatus pegawai KPK dan penyidik Polri yang sifatnya penugasan. Adanya “penyidik” tetap berstatus pegawai KPK sempat memunculkan pertanyaan, bukan saja karena menunjukkan dualisme penyidik, tapi ke depan membuka peluang hegemoni penyidikan tindak pidana korupsi. Penyidik Polri yang masa penugasannya dibatasi limit waktu, sementara penyidik tetap bersifat permanen perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi.
Supaya aspek clear dan clean serta bebas dari interest dan menghindari kemungkinan hegemoni, penyidik tetap di KPK perlu diatur dengan jelas, terutama soal masa kerjanya. Selain itu, pola pengaturan kerja seperti rotasi pos penugasan berdasarkan sektor, wilayah geografisnya serta keanggotaannya dalam Satgas, perlu dibuat jelas supaya tidak muncul istilah dedengkot yang mengarah ke hegomeni penyidikan kasus tindak pidana korupsi di KPK. Kemapanan personel karena sistem dan pola rekrutmen dan penugasan yang terukur dan teratur lebih berarti untuk lembaga, sehingga terhindar dari bercokolnya sekelompok personel dengan bias interest.
Terdapat gejala di lingkungan penyidik KPK yang mengarah pembentukan kelompok-kelompok penyidik menjadi faksi-faksi, dan gejala ini tidak boleh dianggap sepele. Munculnya faksi-faksi yang berawal dari penyidik, cepat atau lambat akan menyebar ke direktorat dan deputi lain jika terus dibiarkan, dan itu sama artinya membiarkan munculnya “Negara Dalam Negara” dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Jika gejala ini makin menguat, penguasa-penguasa kecil di KPK akan bermain semaunya sendiri, bebas melakukan manuver memakai kedok pemberantasan tindak pidana korupsi namun sejatinya adalah wujud dari interest dari faksi-faksi penyidik tertentu. Sungguh ini sangat mencemaskan dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan bukan tidak mungkin faksionalisasi di KPK menjadi triger atau pemicu perpecahan persepsi masyarakat yang pada ujungnya menjadi pemecah-belah persatuan dan kesatuan nasional.
Yang lebih mengkhawatirkan, muncul indikasi masuknya paham radikalisme di lembaga ini. Tentu kita tidak boleh gegabah menjustifikasi hal itu, tapi juga bukan sikap yang bisa dibenarkan jika pura-pura tidak tahu, bersikap seperti tidak ada apa-apa di lingkungan KPK.
#4 Komisioner Sipil dan Non Sipil
Kenapa perwira aktif Polri dan pejabat karir sipil tidak boleh menjadi komisioner KPK? Pertanyaan ini merupakan keresahan yang patut dijawab karena sifatnya sangat mendasar.
Semenjak reformasi 1998 terjadi dikotomi menyesatkan bukan saja soal sipil-militer atau sipil non-sipil, tapi juga muncul dikotomi dalam struktur dengan mekanisme bebas. Celakanya, penerapan dan persepsi dikotomi tersebut nyaris dituntut disemua sektor secara membabi buta.
Menjadi lumrah melihat pos lembaga pemerintah tiba-tiba harus dipimpin oleh orang non-struktural dalam artian jika yang bersangkutan adalah PNS/ASN atau TNI-Polri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan kompetensi para pimpinan lembaga menjadi terbatas, dan efek kemanfaatan pengalaman kerja tidak bisa dikembangkan lebih lanjut.
Misalnya, menjadi komisioner KPK seorang perwira Polri dipaksa harus pensiun, sehingga begitu yang bersangkutan selesai tugas di KPK, pengalaman dan pengetahuannya tak bisa diimplementasikan di lembaga asal. Atau dia tak bisa mendapatkan penugasan aktif meski pengalamannya diperlukan untuk diterapkan di lembaga lain.
Pejabat kementerian keuangan pun tidak leluasa mengabdi di KPK padahal keahlian dan kompetensinya sangat diperlukan. Contoh lain bisa dibuat berderet-deret, termasuk jika melihat lembaga lain yang memakai nama Komisi atau Dewan.
Sementara itu, model dikotomi ini justru memberi ruang yang terlalu besar bagi para Job Seeker dan kaum avounturir “berkuasa” di lembaga anti rasuah. Masuknya para Job Seeker dan Kaum Avounturir justru membuka deal-deal yang tidak sehat, termasuk membaurkan interest pribadi dan kelompok kedalam lembaga.
Untuk KPK sebaiknya pembatasan perwira aktif dan pejabat karir sipil ditiadakan saja, supaya keberadaan lembaga ini bisa berkembang dan berdaya guna karena diisi oleh sosok-sosok yang cemerlang dibidangnya. Kalau terus dibiarkan, tentu sangat mencemaskan bagi perkembangan peran lembaga-lembaga negara ke depan. Yang pasti, seyogianya mengikuti ketentuan kepantasan dan jenjang, sehingga di KPK inilah tempatnya sosok-sosok mumpuni berkarir menggunakan model rekrutment terbuka dan dilakukan dengan sistem kompetisi yang fair.
Dalam konteks jenjang dan kepantasan, untuk posisi komisioner KPK dari unsur Polri aktif minimal haruslah perwira bintang dua, sehingga jika lolos seleksi dan terpilih menjadi ketua KPK, yang bersangkutan bisa dipromosikan menjadi bintang tiga tanpa harus mundur atau pensiun dini dari lembaga asalnya.
Menimbang kondisi dan faksionalisasi serta kepentingan nasional yang lebih besar, saatnya mempertimbangkan pemberian mandat kepemimpinan tertinggi KPK kepada perwira tinggi Polri yang memahami persoalan KPK. Dalam kondisi terkini menyosong revitalisasi kelembagaan, KPK membutuhkan sosok yang bisa menghapus hegemoni kelompok petualang, menumpas gerakan “negara dalam negara” serta ”penguasa-penguasa kecil“ seiring munculnya faksionalisasi dan ketidakpatuhan terhadap protokol lembaga negara, serta sosok yang mampu melaksanakan tugas baru KPK pasca revitalisasi.
Menyerahkan proses rekrutmen kepada mekanisme bebas, wajib hukumnya. Tapi memperjuangkan figur yang kepadanya bangsa ini berharap apa yang menjadi pemikiran mendasar bisa dilaksanakan, adalah sebuah keniscayaan. Artinya, dibutuhkan sosok yang membumi di KPK, dan memiliki visi melaksanakan tugas besar yang baru bagi KPK.
Jika merunut rekam jejak personalia yang ada, Deputi Penindakan yang sekarang, Irjen Pol Firli, patut dipertimbangkan menjadi salah satu nominator memimpin KPK ke depan. Tentu melalui prosedur yang sudah disepakati bersama, tidak boleh menyimpang dari aturan baku meniru pola rekrutmen BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), yang memberi ruang perwira tinggi aktif memimpin lembaga tersebut.
*Disarikan dari berbagai sumber
Editor : Oko