HARIANTERBIT.CO – Kelompok masyarakat, dengan beragam isu dan sebabnya, yang mengambil bentuk dalam rupa identitas kelompok. Energi dasar dari politik identitas ini adalah kebencian terhadap praktek terbuka yang dinilai tidak adil atau tidak selaras dengan idealisme kelompok.
“Dalam hal tertentu barangkali membentuk jiwa kolektif masyarakat, kelompok masyarakat yang merasakan adanya persoalan dalam penataan hidup bersama entah sebagai negara atau sebagai satu tatanan dunia (Weltordnung). Kita bisa mengerti kenapa orang Papua mengamuk ketika tambang emas Freeport yang dikeruk dari perut bumi tanah kelahirannya mengalir keluar, dan ironinya masih menyisakan derita kemiskinan struktural untuk masyarakat lokal,” kata Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens, pada acara Diskusi “Gejolak Pemilu 2019: Problem Demokrasi Elektoral atau Sekedar Mainan Bandar Politik?”, digelar di Ammarin Restaurant, Plaza Sentral GF, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Sabtu (11/5/2019).
“Kita juga mengerti kenapa dulu, di tahun 1998, masyarakat mengamuk, marah, bangun dari tidur panjang apolitisme dan bergabung dengan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menurunkan rezim 32 tahun. Ada perasaan ketidakadilan dan ketertindasan yang menjalar ke hati setiap orang dalam satu komunitas negara-bangsa,” ujar Boni dalam rilisnya yang diterima HARIANTERBIT.co, Sabtu (11/5/2019).
Boni mengatakan, perubahan lahir dari kebencian itu, artinya kebencian berjemaah adalah hal yang layak diterima atau setidaknya secara moral dapat dijustifikasi. Dalam hal ini kita perlu hati-hati membuat kesimpulan. Dalam diskusi ini, saya ingin mengajak Anda membahas situasi terkini, yaitu menguatnya gejolak perlawanan terhadap proses perhitungan suara hasil pemilu oleh KPU dengan asumsi menuduh yang dibangun dengan sengaja, tanpa dasar empirik dan legal yang kuat, bahwa ada kecurangan dalam Pilpres 2019,” tuturnya.
Para tokoh ini secara berjemaah menyerukan dan membangun secara persisten narasi kecurangan supaya dapat diterima sebagai ‘kebenaran’, dalam masyarakat post-truth, kebenaran memang menjadi tidak hanya relatif tetapi terutama subjektif. Tetapi, kata Boni, masalah kita tidak terletak di situ, masalahnya adalah apakah narasi kecurangan yang dibangun ini lahir dari kondisi yang benar curang dan dimaksudkan untuk tujuan yang baik untuk sebagian terbesar rakyat Indonesia.
“Ada dua masalah besar yang turut membentuk watak demokratisasi Indonesia susudah 1998, kalau dilihat dari dua dimensi saja yaitu dimensi elitist dan dimensi masyarakat sipil adalah bisnis politik dan kebangkitan politik identitas dalam pengertian terendah dalam kaitannya dengan radikalisme relijius. Ketika Soeharto hendak tumbang pada 21 Mei 1998, dan setelah Habibie meneruskan posisinya (1998-1999), kekerasan menjadi bagian dari bisnis politik,” ungkap Boni.
Sementara itu, lanjut Boni, Pam Swakarsa yang merupakan laskar paramiliter, atau laskar sipil yang dipersenjatai, bentukan tentara dan polisi pada era itu, adalah contoh paling jelas. “Mayjen Kivlan Zen salah satu orang paling bertanggung jawab dalam pengorganisasian organ para militer ini yang memicu kekerasan berdarah negara,” pungkas Boni. (*/rel/dade)