HARIANTERBIT.COM– Ketidakpercayaan begitu banyak masyarakat terhadap lembaga survei belakangan ini karena lembaga itu karena berafiliasi atau memposisikan diri sebagai broker.
Harusya, ungkap Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, lembaga survei sebagai pollster atau orang yang mengumpulkan pendapat umum harus bersifat netral, begitu juga halnya dengan media.
Pendapat itu disampaikan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/4) menanggapi netralitas sejumlah lembaga survei dalam Pemilu serentak 2019, khususnya dalam pilpres.
“Media dan lembaga survei harusnya. Jangan partisan. Beda dengan politisi yang memang nggak mungkin netral. Ini yang kita perlu perbaiki ke depan,” wakil rakyat dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Karena itu, menurut inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) itu, kecurigaan pada quick count/QC pollster pasti ada sebabnya. Dan, yang paling sederhana menjelaskannya adalah politik.
Survei dianggap masyarakat menjadi bagian dari industri politik. Pada satu sisi harusnya dibiarkan. Namun, pada sisi lain, kata Fahri, para pollster sering ragu.
“Sejauh yang saya mengerti, orang tidak menentang metode sains dalam survey. Tapi yang saya saksikan ditentang orang adalah politik-nya. Karena itu, pada awalnya orang juga tidak menentang hasilnya, tapi orang curiga mengapa ilmu sosial ini menjadi ilmu pasti? Menjalarlah keraguan,” cetus dia.
Ditambahkan, industri survei sama dengan industri media massa bukanlah bisnis murahan. Soalnya, semua perlu modal dan keahlian. Tapi kedua industri ini harus menghindari monopoli dan oligopoli agar tidak merusak demokrasi.
Jurnalisme kita sekarang bekerja untuk konglomerasi yang berafiliasi solid dengan politik. Pada musim kampanye mereka bekerja untuk politik, dan hanya sedikit yang sanggup netral.
Televisi yang ditonton mayoritas rakyat, semua menjadi jurkam. Sebab itulah tragedi industri media sekarang, untung ada socmed (socil media), dan ada YouTube.”
Jika ruang publik frekuensinya dipegang secara partisan, bukan tidak mungkin hak rakyat untuk mendapatkan berita yang berimbang semkin kecil.
Begitu pula nasib opini apabila ilmuan, kaum cendikiawan yang kita baca sebagai kelompok masyarakat minoritas yang tercerahkan, menjadi hilang karena seluruh saluran dikuasai oleh persekongkolan politik, uang dan media.
Lalu, jelas Fahri, semua hanya berani menjadi perkakas kepentingan politik. Idealisme terbang entah ke mana. Karena itu, Fahri mengajak untuk memikirkan kembali sikap ngotot kita dengan bisnis media dan survey ini.
“Saya mengajak membaca ekosistem yang memungkinkan sikap ilmiah dan independen ada dalam semua metode ilmiah kita. Sebab, survey teman-teman itu bias anti kelompok, juga anti orang tertentu. Parah,” demikian Fahri Hamzah. (ART)