Oleh: Brigjen Pol Dari Chryshnanda Dwilaksana MSi
DI era perubahan dituntut adanya suatu kemajuan. Semua lini serempak meneriakkan kemajuan. Tak jarang disertai slogan-slogan demi inilah, demi itulah, keras meriah seringkali berkesan mewah bahkan jor-joran adu kemewahan. Apa yang diteriakkan seringkali dijadikan barang dagangan. Memajukan bukan demi rakyatnya, tetapi demi ndoro-nya, demi kariernya, atau parahnya demi bisnisnya. Pencapaian kemajuan dilihat dari angka-angka semata, tak lagi manusia dianggap sebagai aset utama. Manusia mungkin di matanya hanyalah anak tangga. Kemajuan yang dimaksud dalam konteks ini adalah meningkatnya kualitas hidup.
Penggunaan anggaran dan berbagai sumber daya yang bersumber dari publik seringkali diterapkan salah sasaran. Pengagung-agungan cara atau jalan diutamakan sehingga tujuannya dilupakan. Ketulusan memajukan seringkali malah dihujat, disalahkan, dijadikan bahan olok-olokan. Yang memgajak waras dikatakan munafiklah, sok suci, sok bersih. Jangankan mengubah, mengingatkannya pun sudah dianggap tidak loyal, sulit ngendhas-endhasilah, dan banyak label ditempelkan.
Meningkatkan kualitas hidup memang tidak mudah, seringkali dianggap bagi-bagi sedekah. Menjarah anggaran didum-dum dianggap sudah adil dan mencapai tujuan. Konteks meningkatkan kualitas hidup masyarakat mau tidak mau berbicara kekuasaan. Karena di situlah ujung pangkalnya. Start bisa dimulai dari hulunya dalam bentuk political will. Kebijakan yang banci, yang ragu, yang setengah hati akan menciptakan ruang abu-abu. Pada ruang abu-abu inilah bisa saling memanfaatkan. Bisa saling serang dan saling tipu satu sama lainnya. Lihat saja pada kegiatan-kegiatan seremonialannya yang dari rapat sampai pesta-pora semua bisa dijajakan.
Pola nginthil ndoro dan kegiatan seremonial berjibun bagi para petinggi, ini pun menjadi birokrasi tumpul. Pimpinan hampir tidak punya waktu memikirkan kemajuan atau memajukan. Yang penting ndoro happy ayem haha hihi walau apa yang dikerjakan sebenarnya malpraktek pun tetap dipuji, dan dinyatakan sukses memajukan walau tanpa kemajuan.
Semangat memajukan yang dilakukan seringkali sebatas mendewakan cara dan mengabaikan tujuannya. Ini yang seringkali nilai atau pertanggungjawaban secara fungsional hampir-hampir menguap tanpa bekas. Semangat memajukan bisa saja justru menimbulkan masalah tatkala mengabaikan administrasinya, pemenuhan standar hukum dan fungsionalnya dalam meningkatkan kualitas hidup. Apalagi secara moral dilakukan dengan niat yang berbeda bahkan bertentangan dengan tujuan mulianya.
Birokrasi patrimonial akan cenderung korup dan sarat pendekatam personal. Kaum ndoro sebatas pecinta jabatan, dan bukan pecinta pekerjaannya. Apa yang dilakukan lagi-lagi fokus pada cara-cara seremonial yang menggelegar tanpa keberlanjutan implementasi. Memajukan memang semestinya ada kemajuan walau seremonial juga bisa sebagai pilarnya. Namun esensi secara fungsional inilah yang tidak boleh dilupakan, agar spirit memajukan tidak didominasi seremonial, dan mampu mempertahankan, bahkan mempertanggungjawabkan secara administrasi secara hukum, secara fungsional, dan secara moral. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)