HARIANTERBIT.CO – Terkuaknya dugaan kasus penjualan aset (lahan-red) negara sekaligus penyerobotan tanah milik warga petani di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, terus bergulir. Kasus megakorupsi di bumi Tegar Beriman ini menyeret sejumlah nama beken dan pejabat-pejabat teras di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor, Jumat (15/6).
Terungkapnya kasus ini diawali oleh langkah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang menyita lahan PT Bank PSP di Singasari yang sedang dijaminkan ke negara lantaran terkait kasus BLBI pada awal April 2018. Beberapa pekan kemudian, warga petani sebagai pemilik tanah di Desa Singasari melakukan aksi.
Mereka khawatir dan mempertahankan tanahnya agar tidak ikut disita lantaran sejak beberapa tahun sebelumnya tanah mereka seluas kurang lebih 14 hektare diserobot kroni Rahmat Yasin (bupati Bogor kala itu yang kini masih mendekam di Lapas Sukamiskin karena terjerat kasus gratifikasi).
Aksi makin meluas setelah BEM Unida melakukan aksi di KPK, dan menyerahkan sebundel berkas bukti penjualan aset negara dan penyerobotan tanah warga oleh kroni Rahmat Yasin ke KPK. Aksi susulan pun dilakukan oleh warga petani pemilik tanah di KPK dan Istana Presiden pada 7 Juni 2018.
Setelah kasus itu bergulir dan diketahui masyarakat luas, kini masyarakat Singasari yang menjadi joki atau dipigur berpura-pura melakukan jual beli tanah kepada RY cs pun buka suara. Bahkan, mereka merasakan intimidasi dan mengalami ketakutan luar biasa.
Para joki ini sebetulnya tidak memiliki tanah yang dimaksud. Mereka mengaku hanya diminta menandatangani Akta Jual Beli (AJB) dengan blanko kosong tanpa diketahui siapa pihak pertama dan pihak keduanya, mereka berpura-pura menjadi pemilik tanah hanya dengan diiming-imingi uang Rp700 ribu. Di kemudian hari, mereka baru mengetahui tanah tersebut adalah tanah sitaan kejaksaan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998.
Bahkan ternyata sebagian tanah warga Desa Singasari ikut digelapkan dan beralih kepemilikan atas nama Rahmat Yasin (RY), Ade Yasin alias Ade Munawaroh dan kroni-kroninya, kemudian dijual kepada Siti Hutami Endang Adiningsing atau dikenal Mamiek Soeharto yang juga merupakan putri bungsu dari Presiden ke-2 RI.
Di Ambang Jerat Hukum
Kini, nasib para joki di ambang jerat hukum, karena mereka ikut berperan dalam pemalsuan dokumen jual-beli tanah. Kendati demikian, mereka juga sekaligus adalah korban, karena dipaksa dan tidak tahu menahu perihal tanda tangan tersebut akan berimplikasi hukum.
Mereka para joki di antaranya, Momo, Hendi, Janin, dan Naim, ketika ditemui mengakui menandatangani AJB tersebut sekitar tahun 2012. Menurut mereka, ada puluhan warga diminta tanda tangan, per warga satu AJB dan kemudian diberikan uang Rp700 ribu.
“Dulu nggah dibilang-bilang, cuman suruh tanda tangan, saya tanya tanda tangan apa nih. Mereka bilang jangan dibahas,” kata Janin.
“Ketika ditanya, apa nanti ada kasus nggak awal akhirnya. Mereka bilang, udah nggak ada apa-apa, ini mah buat masyarakat. Jangan baca lama-lama udah tanda tangan,” ungkap Janin mengutip permintaan mereka.
Menurut Janin, ada sekitar 20-an warga yang diminta meneken AJB palsu tersebut secara bertahap. “Awalnya saya juga nggak mau tanda tangan. Dulu malem-malem diminta tanda tangannya. Dulu saya disuruh pak RT DD di (Kampung) Kebon Kelapa, di rumahnya,” ujarnya.
Momo, joki lainnya, mengaku meneken AJB itu di tempat berbeda. “Saya dulu tanda tangan di tempat Pak CK di Cihujan, dan yang nyuruhnya Pak RH. Saya dulu tahu kalau itu AJB, kronologisnya, pertama; kata mereka awalnya tanah ini sudah pembebasan PT (perusahaan), kedua; SPK-nya sudah kedaluwarsa. Kemudian tanah ini sudah diruislag, dan tidak akan ada permasalahan apa pun. Kemudian dia minta KTP suami-istri untuk AJB ke saya. Pas ditandatangani, ternyata AJB kosong. Tidak ada nomor SPPT, tidak ada pihak pertama dan pihak keduanya. Dulu itu ada 24 orang yang tanda tangan,” papar Momo.
Mereka mengaku tidak punya tanah yang diperjualbelikan. “Nggak tahu, kita nggak tahu itu tanah yang mana, lokasinya yang mana kita nggak tahu. Dulu teh bulan puasa mau lebaran, mana musim hujan. Udah mah butuh duit lagi nggak ada kerjaan, kuli lagi nggak ada, tani lagi nggak ada. Kebeneran diminta datang ke rumah RT DD. Katanya bakal dikasih duit Rp700 ribu,” beber Momo lagi.
Naim, joki lainnya menambahkan, tanah yang hendak diruislag akan dihibahkan ke Pemda Bogor. “Ini juga katanya suruhan atasan, ada kaitannya sama F1. Ya, kita namanya disuruh atasan masyarakat ya nurut, kita juga memang kenal, haji lagi. Dikira nggak bakal ada masalah, betulan ini tanah hibah apa bukan, ya masyarakat nggak ngerti,” katanya.
Warga mengaku curiga setelah lama dari kejadian itu banyak orang yang datang dan mengaku pemilik tanah di kampung mereka.
Dace, salah satu pemilik tanah yang diserobot oleh RY, Ade Yasin, dan kroninya menceritakan bahwa kronologis kejadian ini berawal dari sekitar tahun 2013-2014. Ketika itu Dace dan warga lainnya hendak menjual tanah miliknya, tanah adat yang sudah dikelola turun temurun dan diwariskan kepada mereka.
“Ketika hendak mengurus surat-surat tanah untuk diperjualbelikan, ternyata tidak bisa. Kami kaget, tidak bisa menjual tanah, karena sudah atas nama orang lain. Di antaranya sudah atas nama RY dan kroninya, serta diklaim atas nama Siti Hutami Endang Adiningsing atau Mamiek Soeharto,” kata Dace.
Warga pun mencoba menelusuri kejadian tersebut. Hasilnya, kasus ini berawal dari Rudi Wahab selaku kuasa lahan PT Bank Putra Surya Perkasa (PSP) yang ingin mendirikan yayasan dan pondok pesantren diduga memberikan kompensasi tanah seluas sekitar 100 hektare atas perizinan tersebut.
“Permasalahannya adalah, RY dan para kroninya ingin menjual tanah tersebut kepada Mamiek Soeharto atas kompensasi dari Rudi Wahab. Untuk menghindari kecurigaan adanya hibah yang sangat besar yaitu 100 hektare, RY dan para kroninya mengakali seakan-akan itu adalah tanah warga yang sudah dijualbelikan kepada mereka. Maka dibuatlah para joki dan AJB palsu. Dari AJB palsu itulah kemudian terbit sertifikat tanah atas nama Rahmat Yasin, Ade Yasin, Lesmana, Zaenal Mutaqin, Rudi Ferdian, Diana, dan lainnya,” ungkap Dance.
“Parahnya bukan hanya tanah PT PSP yang digelapkan, tanah warga pun tidak luput diserobot oleh RY dan kroni-kroninya karena Mamiek ingin beli tanah satu hamparan,” tambah Dace.
Sejak 2014, Dace dan pemilik tanah lainnya berjuang untuk mempertahankan tanah mereka hingga hari ini. “Dulu sempat ingin dibayar murah Rp40 ribu/meter, ya sangat murahlah. Sementara kami menggantungkan hidup di tanah kami yang sudah diwariskan secara turun temurun. Kami tidak rela tanah kami dirampas. Hari ini harga tanah sudah Rp500 ribu,” tegas Dace.
Puluhan warga dan petani di Desa Singasari yang kini dilanda ketakutan bahkan stres memikirkan masa depannya, kini mereka ramai-ramai meminta bantuan perlindungan hukum kepada seorang pengacara bernama Supasmo.
Kasus penyerobotan lahan milik rakyat dan penjualan aset negara ini mendapat sorotan tokoh pemerhati masalah sosial M Idris Hady. “Aparat hukum harus segera memproses pihak-pihak yang terlibat dan wajib menuntaskannya. Ini adalah perampokan berencana dan sangat keji,” ucap Idri dengan nada geram dalam siaran persnya yang diterima HARIANTERBIT.co, Jumat (15/6). (*/ade/rel)