Oleh: M Rikza Chamami
Wakil Sekretaris GP Ansor Jawa Tengah
WAFATNYA lima anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam tugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cabang Salemba di dekat Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Depok, Jawa Barat sungguh memprihatinkan. Kawanan narapidana teroris (napiter) bertindak brutal merampas senjata, membunuh dan melawan aparat yang sedang bertugas. Alih-alih sadar dengan perbuatan salahnya di negeri ini, justru napiter membuat panggung ‘latihan perang’ di area Mako Brimob.
Aksi itu bagi teroris mungkin disebut sebagai jihad melawan pemerintah yang dianggap thoghut. Atau bahkan ini menjadi sandi baru dunia, bahwa Indonesia masih memiliki potensi kuat dijadikan sarang teroris, setelah kawasan negara Asia lainnya sepi dengan isu terorisme.
Di tahun politik 2018 hingga 2019 memang kondisi negara sedang hangat suhu politiknya. Maka dalam suasana apa pun, aparat harus tetap siaga menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kerusuhan di Lapas Cabang Salemba ini pun perlu menjadi alarm bahaya bagi bangsa Indonesia.
Ruh jihad dengan jalan perang membunuh musuh masih lekat di pikiran para teroris itu. Sebab doktrinasi itu tidak begitu mudah lepas hanya dengan kurungan penjara dan putusan pengadilan. Pembinaan yang bersifat persuasif dan komunikatif pun tidak cukup berhasil dilakukan untuk menyadarkan mereka kembali cinta Indonesia dan meninggalkan ideologi radikalnya.
Tanaman bahwa jihad itu perang tidak bisa dihapus. Maka memahami logika ada model jihad akbar dan jihad ashghar sebagaimana kata Rasulullah sekembali pulang dari Perang Badar tidak bisa diterima dengan baik oleh mereka.
Oleh Al Hujwiri (1911) makna ajakan Nabi SAW tentang jihad akbar berupa jihad al-nafs, melawan diri sendiri (instrik diri sendiri dan godaan syirik) menjadi sangat penting dipahamkan sebagai dasar mistisisme dan sufisme Islam.
Penyalahmaknaan jihad oleh teroris inilah yang membuat perilaku jihadnya berubah menjadi jahat. Kenapa? Sebab ajakan perang oleh para teroris ini ada pada wilayah negara Indonesia yang damai dan berdaulat.
Lalu bagaimana dengan kesadisan narapidana teroris berani melawan anggota polisi? Itulah yang tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Sebab yang ada dalam hatinya adalah perlawanan. Siapa pun akan dilawan. Di sini butuh ketegasan aparat dalam menghadapi suasana yang genting.
Lima nyawa polisi telah dihabisi dengan sadis. Sudah saatnya polisi menindak tegas seluruh napiter yang terbukti menjadi provokator kerusuhan itu. Sudah tidak ada waktu dalam memberikan upaya jera para perusuh negeri berdaulat ini.
Harga diri bangsa ini perlu sekali dipertahankan. Upaya pengalihan isu hak asasi manusia (HAM), saya kira sudah tidak sehat. Sebab ketegasan aparat akan menjadi tumpul jika selalu dibayang-bayangi dengan HAM.
Menjaga dan menjunjung tinggi HAM itu tetap menjadi kehormatan. Namun ketegasan hukum sesuai prosedur tata perundangan itu lebih utama dan mulai di hadapan bangsa Indonesia.
Marwah besar kepolisian sebagai simbol aparat negara jangan sampai diinjak-injak hanya dengan 156 orang komplotan pelaku teror. Sekali lagi, negara harus hadir memukul mundur kekuatan teroris di negeri ini.
Terkait masih sadisnya teroris di negeri ini — meminjam istilah Frank Whaling– masih ada fenomena diskontinuitas teologis. Bahwa ada orang yang berpandangan bahwa jihad adalah pesan Tuhan, berbeda dengan paham orang lainnya. Sebab mental pemahaman demikian tidak lepas dari transendensi manusia.
Oleh sebab itulah, Nahdlatul Ulama selalu melatih santri-santri dalam memahami Al-Quran dan hadis dengan ilmu agama yang sangat beragam. Dari ilmu bahasa, ilmu alat hingga ilmu sosiologi. Sebab dengan cara itu, kesucian sabda Allah dan dawuh Rasulullah tidak disalahpahami untuk gampang membunuh orang lain.
KH A Wahab Chabullah pada 5 Juli 1939 mempunyai pesan yang positif dalam membangun Indonesia saat beliau di Magelang Jawa Tengah: “Kemuliaan Islam itu dapat dicapai meskipun tidak dengan senjata lahir, tetapi dengan senjata kekuatan iman. Tidak ada senjata yang lebih tajam dan lebih sempurna lagi selain persatuan”.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bersatu berantas terorisme hingga akar-akarnya. Sebab terorisme sudah mencoreng nama baik Islam dan membuat kisruh negeri ini.
Peran stakeholder yang telah diamanati untuk melakukan penanggulangan dan pemberantasan teroris harus bekerja secara maksimal. Jangan sampai ada lagi peristiwa senada atau lebih besar dari yang sudah ada di Mako Brimob. (*)