HARIANTERBIT.CO – Setelah sebelumnya pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (RINDU) memimpin elektabilitas, kini pasangan Deddy Mizwar –Dedi Mulyadi (Dua DM) mulai menyalip tipis dengan 43,2%. Sementara, pasangan RINDU menurun ke posisi kedua dengan 39,3%. Meskipun, dalam simulasi elektabiltas personal, Ridwan Kamil (RK) masih unggul tipis (40,8%) dari Deddy Mizwar (38,9%).
Demikian temuan terbaru hasil survei Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny Ja) terkait dengan preferensi pemilih dalam Pilkada Jawa Barat Juni 2018 mendatang yang disampaikan kepada pers di Bandung Jabar, Minggu (15/4). Survei dilakukan pada 21-29 Maret 2018 dengan menggunakan metode standard: multi stage random sampling, dimana seluruh pemilih Jawa Barat dipilih secara random. Jumlah responden 440, dengan margin of error sebesar 4.8%.
Sementara ditemui terpisah, Toto Izul Fatah, Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesi Deny Ja memgatakan dengan merujuk pada data survei sebelumnya, perubahan peta kekuatan pasangan para kandidat tersebut, antara karena ada faktor peranan calon wakil gubernur yang bisa menyumbang kenaikan, dan bisa juga menyumbang penurunan.
‘Dalam kontek pasangan Dua DM, terlihat sekali peranan Dedi Mulyadi (Demul) sebagai wakil yang mendongkrak Deddy Mizwar (Demiz). Sehingga, Demiz yang elektabiltas personalnya 38,9% kalah tipis dari RK yang 40,8% terdongkrak menjadi 43,2% setelah berpasangan dengan Demul,” kata Toto Izul Fatah.
Dalam simulasi empat calon wakil gubernur, kata Toto, Dedi Mulyadi memang mengungguli jauh tiga calon lainnya dengan 38,0%. Inilah salah satu faktor yang mendongkrak pasangan Dua DM. Sementara Uu Ruzhanul Ulum (16,8%), Syaikhu (18,9%) dan Anton Charliyan (3,6%).
Terjadi sebaliknya dengan pasangan RINDU, dimana RK unggul secara personal, tapi saat dipasangkan dengan UU malah menurun karena elektabilitas wakil rendah. Meskipun ada faktor –faktor lain yang ikut menyumbang penurunan tersebut. Yang pasti, jika tidak ada pergerakan yang luar biasa dari pasangan RINDU, bukan mustahil ini akan menjadi sinyal lampu kuning yang bisa menyeretnya pelan-pelan kalah dalam pertarungan. Apalagi jika merujuk pada trend yang terus menurun. Tak mudah kandidat yang punya tren turun untuk rebound.
Sebaliknya, jika pasangan Dua DM ini berhasil meningkatkan pengenalan dan kesukaannya melalui aneka program yang massif dan menyentuh aspirasi warga Jabar, bukan mustahil bisa lolos sebagai pemenangnya. Apalagi, selain karena tren pasangan ini yang terus naik, juga karena Dedi masih punya potensi menaikkan tingkat pengenalannya yang masih sekitar 55% an. Sementara, tingkat kesukaannya cukup tinggi dengan 73,1%. Keunggulan Demul juga karena dia punya pemilih militan (strong supporter) yang cukup tinggi 26,6%, dibandingkan dengan Uu (12,5%), Syaikhu (4,3%) dan Anton (1,8%). Biasanya, mereka inilah kategori pemilih yang tak akan pernah berubah sampai pemilihan hari-H.
Harapan pasangan Dua DM memang ada pada Demul karena Demiz sudah sampai pada tingkat pengenalan yang mentok, yaitu 94,8%. Meskipun kesukaannya juga cukup tinggi dengan 81,8%. Kurang lebih sama dengan tingkat kesukaan RK yang 82% dari 77,0% yang mengenalnya.
Dua pasangan lainnya, Sudrajat –Syaikhu (ASYIK) hampir sama dengan Dua DM, dimana faktor wakil ikut menyumbang kenaikan elektabilitas saat dipasangkan. Dalam simulasi personal, Sudrajat harus puas dengan 4,2%. Tapi, saat dipasangkan dengan Syaikhu naik menjadi 8,2%. Pasangan yang keempat, Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan (HASANAH) dengan elektabilitas 4,1% tampaknya belum bisa saling menyumbang karena elektabilitas masing-masing masih sangat rendah.
Dua DM atau RINDU?
Merujuk pada data keunggulan dan kelemahan masing-masing diatas, dengan waktu yang tersisasi kurang lebih dua bulan, peluang lebih terbuka untuk dua pasangan, Dua DM dan RINDU. Rasanya sulit bagi dua pasangan lainnya, ASYIK dan HASANAH untuk memenangkan pertarungan ini, jika tak ada tsunami politik dan money politic yang massif terjadi pada Dua DM dan RINDU. Itu pun jika terjadi tsunami politik terhadap salah satu saja, misalnya, terhadap RINDU karena ada kasus tertentu yang massif diketahui dan dipercaya publik, limpahan suara tidak otomatis migrasi ke ASYIK dan HASANAH, tapi ke Dua DM. Karena dalam simulasi pilihan calon alternantif, pemilih pasangan RINDU sekitar 61,1% mengaku akan beralih ke Dua DM. Begitu juga sebaliknya, pilihan alternatif pemilih Dua DM, sekitar 46,7% mengaku akan memilih RINDU. Sekali lagi, itu jika terjadi tsunami politik.
“Peluang terbuka Dua DM dan RINDU ini tergambar dari persaingan yang merata di hampir semua segmen demografis, baik gender, suku, agama, pendidikan, tingkat penghasilan, zona pemilih maupun pemilih partai. Dalam sebaran dukungan semua segmen ini, pasangan Dua DM dan RINDU saling mengungguli dan mengalahkan,” ujar Toto.
Misalnya, katanya, pada segmen pemilih berpendidikan pernah kuliah dan diatasnya, RK unggul 45,7%, Dua DM hanya 25,7%. Meskipun base nya kecil hanya 8,0%. Tapi, pada segmen lulusan SD atau dibawahnya (grassroot), Dua DM unggul jauh dengan 51,4% mengalahkan RINDU yang hanya 28,4%. Dan base populasinya cukup tinggi, 47,2%.
Yang menarik, dan ini selalu terjadi, dukungan partai politik terhadap calon tidak pernah berbanding lurus dengan dukungan pemilih partai tersebut terhadap calon. Lihat saja, pemilih PDIP pada Pileg 2014 lalu, lebih banyak memilih pasangan Dua DM dan RINDU ketimbang HASANAH. Begitu juga pemilih Gerindra dan PKS yang tidak solid karena mereka lebih banyak memilih Dua DM dan RINDU ketimbang pasangan ASYIK yang diusung dua partai tersebut.
Temuan lain dari survei ini adalah tentang prilaku pemilih dalam membuat pertimbangan saat memilih. Setidaknya, ada empat aspek dominan yang menonjol untuk dijadikan pertimbangan. Pertama, aspek kepribadian calon (jujur, bijaksana, ramah dll) dipilih dengan 96%. Kedua, aspek bersih dari kasus korupsi (94%). Ketiga, pengalaman dalam pemerintahan (89%). Keempat, aspek program atau isu yang ditawarkan (88%.
Namun, ada faktor lain yang harus menjadi perhatian serius para calon. Mayoritas publik Jawa Barat (81,4%) mengaku tak bersedia dipimpin calon gubernur yang beristri lebih dari satu (poligami). Faktor lainnya seperti latar belakang suku, ulama, pengusaha, mayoritas publik di jabar tidak terlalu mempersoalkannya. Misalnya, terhadap calon yang bukan asli suku sunda, 67% publik mengaku bersedia.
Hal lain yang juga perlu disikapi serius para calon, termasuk harus menjadi concern para elit politik di Jabar, bahwa tren prilaku pemilih dalam hal money politik tidak berubah, masih cukup tinggi sampai sekarang. Yaitu, jika digabungkan antara yang mengaku sangat setuju (5,3%) dan cukup setuju (38,2%) jika ada calon yang membagikan/memberikan uang agar memilih calon tersebut, total berjumlah 43,4%. Hampir separo publik jawa barat setuju money politik.
Survei LSI Network Denny juga ini mengungkap temuan-temuan lain terkait dengan pengetahuan publik dalam pelaksanaan pilkada. Mayoritas publik (90,4%) mengaku belum tahu kapan tanggal dan bulan pelaksanaan Pilkada Jabar. Dan mayoritas publik (79,5%) menyebutkan salah jumlah dan nama pasangan calon yang mendaftar ke KPU. Namun, pada pertanyaan apakah sudah terdaftar atau belum sebagai pemilih, mayoritas publik (91,4%) mengaku sudah terdaftar.
Isu mutakhir lain yang juga dipotret adalah mengenai kasus penyerangan terhadap sejumlah tokoh agama dan PKI dan Jawa Barat. Ada sekitar 56,1% publik mengaku pernah mendengar kasus penyerangan terhadap tokoh agama.
Saat ditanya lagi, apakah mereka yakin ada kaitan dengan politik atau Pilkada?, sekitar 48,2% mengatakan Ya. Begitu juga mengenai isu PKI. Sekitar 53,4% publik Jawa barat mengaku pernah mendengar isu tersebut. Dan saat ditanya, apakah mereka percaya jika PKI akan bangkit kembali di Indonesia, jika digabungkan antara yang sangat percaya (6,8%) dan cukup percaya (46,0%) menjadi sekitar 53% percaya.