HARIANTERBIT.CO – Bagi-bagi sertifikat tanah kepada rakyat yang dilakukan Presiden Joko Widodo hampir setiap kunjungan kerja ke daerah dan diberitakan banyak media beberapa waktu belakangan bukanlah sesuatu yang baru.
Hal tersebut tidak lebih sebagai pencitraan. Banyak yang menyebut, bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan Presiden Jokowi tidak lebih dalam usaha dia mendongkrak elektabilitas untuk menghadapi Pemilihan Presiden 2019 dimana persaingannya jauh lebih ketat dibanding Pilpres 2019.
Pada satu pihak, Jokowi beserta para pendukungnya dengan alasan program pro rakyat belum tuntas dijalankan, sedangkan pada pihak lain elektabilitasnya sebagai petahana masih jauh dari posisi aman.
Masalah tersebut diamini politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq. Pada masa Orde Baru, kata anggota Komisi IV DPR RI tersebut kepada HARIANTERBIT.co, Selasa (10/4), Presiden Soeharto sudah membagikan prona atau pemutihan tanah masyarakat.
Yang membuat berbeda apa yang dilakukan era Soeharto dengan apa yang langkah Jokowi saat ini, kata Mahfudz, kalau dulu dilakukan tanpa harus diketahui pers atau dimuat di banyak media, tetapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. “Sekarang begitu gencar media memberitakan bahwa pemerintah membagi-bagikan sertifikat tanah gratis kepada rakyat.”
Jadi, lanjut laki-laki kelahiran Jakarta, 25 September 1966 tersebut, reformasi agraria yang dijanjikan Jokowi jangan disederhanakan hanya dengan cara bagi-bagi sertifikat tanah kepada rakyat.
“Membuat sertifikat tanah rakyat itu sudah menjadi kewajiban dari pemerintah. Bahkan sudah semestinya tanah-tanah rakyat belum bersertifikat dibuatkan sertifikatnya tanpa rakyat harus mengeluarkan biaya,” jelas dia.
Sedangkan reformasi agraria itu bukanlah membuatkan sertifikat tanah rakyat secara gratis, melainkan memberikan tanah-tanah yang dikuasai negara atau tanah terlantar kepada rakyat yang membutuhkan sehingga lahan tersebut dapat dimanfaatkan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan mereka.
Wakil rakyat di bidang pertanian dan kehutanan tersebut malah miris melihat atau mendengar di negara yang begitu luas ini ada petani yang tak memiliki lahan, kecuali menggarap sawah orang. Sementara itu ada kelompok orang yang menguasai lahan yang begitu luas.
“Itu kan tak adil. Lahan dikuasai negara, terlantar itu yang perlu dibagi-bagikan kepada rakyat. Jadi, itu yang dimaksudkan reformasi agraria, bukan bagi-bagi sertifikat,” kata Mahfud.
Mantan Ketua Komisi I DPR RI ini sangat menyayangkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali diberbagai daerah belakangan ini. Dalam kunjungan kerja ke berbagai daerah, Mahfudz melihat banyak lahan pertanian atau sawah produktif beralih fungsi menjadi perumahan atau pabrik.
Dikatakan, tidak ada gunanya pemerintah menggaung-gaungkan swasembada pangan kalau hal ini tidak dibenahi karena jumlah lahan sawah produktif terus menysut tetapi tidak ada usaha membuka sawah baru.
“Jadi, Swasembada pangan yang didengung-dengungkan Jokowi hanya menjadi mimpi kalau tak ada agenda reformasi agraria yang jelas. Tidak bakal ada kedaulatan bidang pangan, swasembada atau semacamnya. Kita tetap menjadi negara pengimpor kebutuhan pokok,” demikian Mahfudz Siddiq. (art)