Dalam Pembuatan UU, Pemerintah Jauh Lebih Siap Dibanding DPR

Posted on

HARIANTERBIT.CO– Walau kuasa legislasi di Indonesia di tangan DPR RI tetapi kenyataannya dalam setiap pembuatan undang-undang kekuasaan tersebut lebih besar berada di tangan eksekutif (pemerintah-red).

Akibatnya, kata Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam Forum Legislasi bersama pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio di Press Room Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/8), pembahasan sebuah UU sering berlarut-larut karena terlambatnya atau ketidak siapan pemerintah dalam pembahasan bersama DPR RI.

Padahal, lanjut politisi senior sekaligus deklarator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemerintah seharusnya jauh lebih siap dan lengkap dari pada DPR RI dalam setiap pembahasan undang-undang. “Pemerintah mempunyai banyak tenaga baik itu dari kementerian terkait maupun pakar,” jelas wakil rakyat dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.

Ke depan, Fahri meminta pemerintah harus lebih serius lagi dalam pembahasan UU bersama dengan DPR. Artinya, DPR tidak harus berlama-lama menunggu. “Kadang kala pembahasan di DPR atau di fraksi sudah siap tetapi karena tersangkut di pemerintah, UU itu belum bisa diparipurnakan. Ini tentu saja mengganggu karena UU itu tidak bisa selesai pada waktu yang diharapkan,” kata dia.

Fahri mencontohkan pembahasan RUU tentang Kitah Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang sampai saat ini belum juga selesai. Padahal, RUU itu sudah dibahas sejak lama dan sudah berganti beberapa periode DPR RI. Demikian pula halnya dengan Undang Undang Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI. “Pembahasannya mencapai sembilan bulan.”

Besarnya kekuasaan pemerintah dalam legislasi juga terlihat dari banyaknya usulan Prolegnas yang diajukan pemerintah dibandingkan DPR RI. Draf undang-undang yang diusulkan pemerintah lebih matang, lebih mapan karena otak yang membahas dari semua kementerian.

“Semua pakar dan akademisi dimiliki pemerintah. Sedangkan kalau DPR peneliti ekonomi hanya 70 orang, peneliti hukum 40, peneliti yang baru, Badan Keahlian Dewan baru 12, perancang UU hanya 7 orang.”

Kalau pemerintah itu ada tradisi BPHN yang memang dibangun selama ini sebagai mesin pembuat undang-undang, di situ ada profesor, doktor dan ada orang eselon satu dan dua yang digaji mahal untuk itu.

“Tradisi pembuatan undang-undang sudah berjalan, mereka punya link dengan kampus lebih kuat. Sebab tidak jarang dekan-dekan itu adalah dirjen-dirjen atau kepal badan yang diletakan di dalam tubuh eksekutif, sehingga efektivitas nya di dalam usulan undang-undang itu jauh lebih hebat. Lebih penting lagi terkadang masa persiapan itu, termasuk masa studi, mereka lebih banyak mendapatkan dukungan, baik dari APBN maupun non APBN,” kata Fahri.

Bahkan, kata Fahri, kalau pada dasarnya pemerintah menganggap urgent bisa bikin Perppu kayak Ormas. Kurang lebih dari satu atau dua minggu pemerintah bisa keluar perppu dan sudah diimplementasikan menjadi undang-undang.

“Jadi itu bisa cepat. Artinya eksekutif itu kinerja legislasinya jauh lebih efektif ketimbang legislatif. Apalagi kalau kita berbicara jumlah, karena eksekutif memiliki mekanisme membuat undang-undang mandiri tanpa DPR melalui Perppu sementara DPR tidak bisa,” demikian Fahri Hamzah. (art)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *