HARIANTERBIT.CO – Ketua Departemen Advokasi, Hukum dan Litbang Dewan Pimpinan Nasional Komite Rakyat Nasional (DPN Kornas) Moh Jumri SIP mengatakan bahwa Wilmar Group dengan menggunakan PT Asiatic Persada sebagai anak perusahaannya menyerobot lahan masyarakat Suku Anak Dalam seluas 3550 hektare yang telah berlansung 31 tahun di Provinsi Jambi Kabupaten Batang Hari Kecamatan Bajubang di Desa Bungku.
“Tidak hanya itu perusahaan tersebut juga kerap kali memberikan upah rendah dan status kerja kontrak. Percuma ada kesempatan kerja jika mereka tak memiliki kepastian kerja. Kesejahteraan hanya menjadi omong kosong. Selain itu, keputusan-keputusan pemerintah tidak pernah dihiraukan oleh Wilmar Group, aneh juga, sekuat apakah Wilmar Group ini, sampai mereka berani tidak menghiraukan keputusan-keputusan pemerintah,” kata Jumri, Senin (22/5).

Bahkan celakanya, lanjut Jumri, konflik tersebut telah banyak menelan korban jiwa, materil dan nonmateril, kami bingung dengan pemerintah, padahal PT Asiatic Persada hanya Corporate yang meminta izin kepada pemerintah, ironisnya pemerintah terkesan takut untuk memberikan tindakan tegas yang nyata, persoalan itu bukan sebatas administratif saja, melainkan harus diberikan sanksi tegas dari negara, di mana negara dapat bersifat memaksa.
“Contoh pada 2016 yang lalu Ferry M Baldan semasih menjabat sebagai menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di dalam isi suratnya cukup tegas, bahwa BPN Wilayah Provinsi Jambi harus segera menyelesaikan dan mengembalikan hak-hak masyarakat Suku Anak Dalam di Kabupaten Batang Hari,” terang Jumri yang juga aktif di Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN).
Namun hingga hari ini, BPN Provinsi Jambi tidak ada kejelasan sama sekali, bahkan masalah ini hampir menjadi sebuah mimpi buruk di siang bolong, selesai tidur dan terbangun hilanglah mimpi buruk itu. Lagi-lagi kami tekankan kepada pemerintah, khususnya pemerintah pusat harus mengambil langkah tegas yang setegas-tegasnya, dan tidak lagi sebatas sanksi administratif saja, diperlukan langkah seperti penegasan kepada PT Freeport Indonesia.
“Kami rasa persoalan perkebunan bukan hanya terjadi di Provinsi Jambi, tetapi banyak di seluruh Indonesia masalah itu terjadi, maka dari itu pemerintah tidak boleh takut menghadapi perusahaan swasta yang bandel dan melanggar aturan. Ini kan negara kita, kita yang punya aturan, oleh karenanya mereka pihak perusahaan harus taat dengan aturan, sama halnya Kementerian ESDM mengeluarkan keputusan menteri tentang PT FI harus mengikuti aturan yang diterapkan pemerintah, namun PT FI membangkang, bahkan menggoyang,” ungkapnya.
“Kami mengapresiasi langkah-langkah pemerintah dalam membuat sebuah aturan untuk memberantas pungutan liar, hanya bukan sebatas persoalan itu saja, melainkan ini adalah persoalan hidup orang banyak yang salah satunya terjadi kepada Suku Anak Dalam. Bila pemerintah pusat tidak juga tegas, maka jangan heran nanti akan semakin banyak PT Asiatic-PT Asiatic lainnya yang akan melawan pemerintah,” pungkasnya. (*/dade/rel)