HARIANTERBIT.CO – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bersama Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti meluncurkan Gerakan Stabilisasi Pangan hari ini di Gudang Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten di Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (17/5).
Gerakan ini merupakan upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan dengan menyebar pasokan ke sejumlah pasar di seluruh Indonesia. Komoditi yang akan dijual dalam gerakan ini adalah beras (kualitas medium dan premium), gula, minyak goreng, daging beku, bawang merah dan bawang putih serta komoditi lokal lainnya.
Bulog sebagai penyedia stok pemerintah telah menyiapkan stok cukup untuk kebutuhan Gerakan Stabilitasi Pangan dengan total stok beras 2 juta ton lebih, gula 320.000 ton, daging beku 37.000 ton, minyak goreng 207.000 liter, bawang merah 60 ton, bawang putih 62 ton. Khusus untuk bawang merah dan bawang putih, pemerintah akan terus menambah stok melalui penyerapan dari produksi dalam negeri maupun impor.
Pada kesempatan tersebut Enggar juga menegaskan, koordinasi yang dilakukan dengan Bulog tidak hanya dilakukan saat menjelang Ramadan saja. Enggar juga mengingatkan fungsi Bulog tidak hanya ketika harga naik, tapi juga ketika harga turun terlalu jauh yang sekiranya dapat merugikan petani atau pelaku usaha kecil lainnya di sektor pangan. “Saya berharap gerakan ini, stok maupun harga bahan pokok di pasar bisa stabil menjelang dan selama Ramadan dan Idul Fitri,” ujar Enggar, Rabu (17/5).
Enggar kembali menegaskan, pemerintah akan terus memantau dan menindak tegas para mafia pangan yang masih ingin mempermainkan harga komoditas di pasar. “Pagi ini 184 ton penimbunan bawang putih digerebek langsung oleh Mentan bersama dengan Wakapolri untuk menangkap itu (penimbunan),” ujarnya.
Enggar mengingatkan, agar jangan ada lagi yang berani melakukan hal serupa karena dapat mengganggu stabilitas harga bahan pokok. Pemerintah akan mengambil langkah hukum dan sanksi berat seperti pencabutan izin dagang dan segel.

Mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam menjaga stabilitas harga ini, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menilai upaya ini sebagai langkah yang positif. “Jika pemerintah punya aturan, memang harus ditegakkan,” tegas Nina kepada wartawan.
Di sisi lain, pengamat ekonomi dari IPB, Hermanto Siregar menilai, penetapan HET yang direspons negatif oleh para produsen dan pabrik gula, mestinya bukan jadi soal. Ia menilai, para produsen dan para pengusaha pabrik gula ini yang seharusnya melakukan evaluasi kerja.
Penetapan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada gula, menurut Hermanto, bisa membuat masyarakat lebih mudah dalam mengakses gula. Dari sisi produsen dan pabrik, perlu adanya evaluasi mengenai efisiensi kerja. Sebab selama ini memang perlu ada peningkatan bagi efektivitas dan efisiensi pada pabrik gula.
“Saya kira, pemerintah harus mempertahankan kebijakan HET ini. Bagaimana industri kita mau punya daya saing kalau dengan HET saja mengeluh. Artinya kalau negara lain bisa dengan biaya produksi yang lebih murah, kita mestinya berupaya ke arah itu bukan malah meminta HET-nya dinaikin,” ujar Hermanto.
Ia menilai, kebijakan HET mestinya menjadi tantangan bagi industri gula agar bisa melakukan efisensi pabrik. Efisiensi tersebut tak hanya dilakukan pada pabrik gula tetapi juga kepada para usaha tani tebu. “Karena, kalau tidak ada upaya peningkatan efisiensi di dua aspek baik di budi daya maupun perusahaan gulanya. Maka biaya persatuannya tetap tinggi, jadi mereka pasti minta HET dikurangi,” ujar Hermanto.
Hermanto menerangkan, efisiensi secara keseluruhan bagi komoditi gula itu kombinasi antara usaha petani tebu dan pabrik gulanya. Jadi, produktivitas ataupun rendemen gula kita bisa ditingkatkan lagi. “Efisiensi yang meningkat itu, rendemen gula itu bisa dinaikkan lagi. Masih ada lah space dan ruangan untuk melakukan hal tersebut,” katanya.
Hermanto menjelaskan, jika penghasil tebu memiliki produktivitas yang tinggi maka para industri juga memiliki produktivitas yang tinggi juga. “Jadi misalnya, umpamanya, bisa menghasilkan tebu dengan produktivtas yang tinggi. Maka, si petani mendapatkan bayaran yang bagus. Sedangkan si pabrik kalau rendemennya tinggi jadi gula, maka produktivitasnya tinggi,” tambah Hermanto.
Ia juga menilai, saat ini PT PN selaku BUMN gula juga masih memproduksi gula dengan redemen yang rendah. Hal ini karena faktor efisiensi mesin giling dan overheat pabrik, maka perlu ada perbaikan di kedua sektor. “Bukan hanya produktivitas petani saja, pabrik gulanya juga. PT PN itu banyak yang rendemennya rendah itu. Jadi mungkin efisiensi mesing giling, overheat pabrik juga. Jadi, dua-duanya harus diatasi,” ujar Hermanto. (arya)